Semalam di Kuala Lumpur

Oleh: Kate

“Bu, ini itiniary perjalanannya.”

Perhatianku terpecah oleh suara sekretarisku. Aku menerima kertas yang disodorkannya. Bibirku melengkung ke bawah. Tega sekali orang yang merancang jadwal perjalananku! Tiga hari di Beijing, langsung terbang ke Kuala Lumpur. Meeting estafet, dari sore sampai malam, dilanjutkan pagi sampai sore. Mantap. Kapan aku bisa jalan-jalan?

Lucu ya, pekerjaanku terkadang membawaku terbang ke negara-negara asing yang membutuhkan beberapa belas jam perjalanan, tapi aku belum pernah sama sekali mengunjungi negara tetangga, Malaysia. Sayangnya kesempatan mengunjungi Malaysia pada perjalanan kali ini digunakan untuk rapat.

Uh, sebel. Tiba-tiba teleponku berdering.

“Halo?”

“Kate, I am impressed with your presentation. I think you deserve an extra night in Kuala Lumpur.”

Boo, bener nggak sih, aku nggak mimpi? Sejak kapan perusahaan berbaik hati memberikan cuti liburan untuk karyawannya? Hmmm... Santa Claus ternyata mendengarkan permohonanku ya.

***

Jadi begini yang terjadi. Meeting udah kelar dari jam tiga siang. Seharusnya pesawatku akan menggelinding di runway pada pukul delapan malam waktu Kuala Lumpur, tapi kenyataannya sekarang aku sedang menggelinding sendirian di Jalan Bukit Bintang, cuci mata sambil menyusuri deretan mal-mal. Aku nginap di hotel bintang lima yang sangat nyaman, The Westin Kuala Lumpur. Aku belum pernah melihat menu breakfast selengkap hotel ini!

Aku memutuskan untuk berhenti di kedai es krim Haagen Dazs. Aku pesan es krim rasa kacang almond lalu duduk di bangku yang dekat dengan jendela menghadap trotoar. Langit belum gelap, di sini matahari tenggelam pada jam tujuh malam. Orang-orang bergerak dengan cepat. Ras, warna kulit, warna rambut, dan bahasa campur baur terdengar. Ada cewek butch jam enam, bersama tiga sahabat andronya. Radar lesbianku langsung bergerak. Kuperhatikan gerak gerik mereka dengan penuh perhatian. Mereka berjalan santai, menghilang di tengah keramaian.

Kuintip brosur yang kugenggam sampai lecek di tanganku. Kira-kira abis ini ke mana ya? Jalan-jalan ke Suria KLCC, Starhill Galery, Lot 10, atau ke Berjaya Times Square? Aku pengin lihat KLCC yang katanya dulu pernah diancam akan ditabrak dengan pesawat terbang oleh teroris. Maklum, KLCC adalah gedung kembar tertinggi di dunia. Aku memutuskan pergi ke sana, sambil berdoa semoga malam ini nggak ada teroris yang punya rencana merobohkan KLCC dengan apa pun.

Aku naik monorail, menembus mal Berjaya Times Square. Sejenak aku tergoda untuk turun dan menghilang di mal ini, tapi tidak jadi. Tidak lama kekasih mengirim SMS dari Jakarta. Apa kabar, lagi ngapain, saya kangen, sapanya. Pintu monorail tertutup ketika aku selesai mengetik balasan SMS-ku.

KLCC berdiri dengan megah dihujani oleh sinar warna-warni. Aku mendongak, menatap gedung raksasa angkuh itu. Aku melangkah masuk, disapa oleh dingin penyejuk ruangan. Di samping gedung itu, ada taman yang sangat luas. Banyak yang duduk-duduk di pinggir kolam tanpa terganggu oleh pengemis atau penjaja asongan. Aku mencari tempat duduk dan menikmati matahari tenggelam. Mataku nggak berhenti bergerak, mengamati sepasang perempuan yang duduk berdekatan. Tidak menarik perhatian, tapi aku dapat dengan mudah menebak bahwa mereka adalah sepasang kekasih.

Aku naik ke lantai paling atas, masuk ke PetroSains, semacam museum sains buat anak-anak. Banyak sekali anak-anak berkeliaran. Aku memutuskan untuk masuk dan melihat-lihat. Ternyata emang nggak nyesel deh masuk ke PetroSains.

Dari sana, aku memutuskan untuk pergi ke China Town. Kupanggil taksi butut berwarna merah dan putih. Halah, taksi Jakarta lebih bagus. Sopirnya, seorang India berkulit sangat gelap bertanya dengan sopan ke mana tujuanku. Aku bilang China Town, tempat yang enak untuk makan malam. China Town ternyata seperti China Town yang tersebar di negara-negara lain: kotor, ramai, dan penuh dengan orang-orang Cina. Sepanjang China Town, banyak sekali gedung-gedung tua bersejarah, yaitu gedung kantor polisi The Old High Street, kantor pos, The Old China Cafe, gedung Kwon Siew Association, kuil Sri Maha Mariamman, gedung Lee Rubber, dan gedung Chan See Shu Yuen Association. Gedung itu masih berdiri tegak dan terawat apik.

Duduk sendirian, aku memilih restoran Cina yang terlihat bersih dan ramai. Aku kangen dengan kekasihku. Dia sedang apa ya? Sudah jam 9 malam waktu Kuala Lumpur, jam 8 waktu Jakarta. Pasti kekasihku masih berada di kantornya, berkutat dengan tumpukan file dan ocehan bos. Aku meneleponnya, memintanya menemaniku menghabiskan makan malamku. Sambil mengobrol, mataku jelalatan. Kira-kira ada nggak ya pasangan lesbian lagi atau genk lesbian sedang menikmati malam di China Town, seperti aku sekarang? Duh, kangen juga dengan teman-teman lesbianku di Jakarta.

Setelah perut kenyang, aku memutuskan untuk menyisiri Bukit Bintang sekali lagi, berjalan-jalan dengan santai. Akhirnya aku kembali ke hotel pada pukul sebelas malam, lelah dan sangat kesepian.

Pesawatku berangkat ke Jakarta pukul satu esoknya, sehingga sepanjang pagi kuhabiskan dengan shopping di Sentral Market yang menjual berbagai aneka souvenir menarik dan unik dari Malaysia. Kulirik jam tangan. Kalau ada waktu tambahan, aku ingin sekali mampir di National Gallery untuk menghirup udara culture. Tapi karena tidak memungkinkan, terpaksa aku kembali ke hotel untuk check out, mencari taksi bandara. Sejam berikutnya aku terkantuk-kantuk di taksi dalam perjalanan menuju Kuala Lumpur International Airport (KLIA). Tiba di Jakarta, langsung cabut menuju kantor, menghadap bos, dan tenggelam di mejaku oleh timbunan pekerjaan sampai pukul sepuluh malam. Kekasih menelepon, berjanji menjemputku di kantor. Aku mengiyakan sambil menguap lebar. Hhh, perjalananan bisnis kali ini nggak ada jetlag sama sekali, tapi kerinduanku pada kekasih selalu bisa mengalahkan jetlag separah apa pun.

@Kate, Sepocikopi, 2007

gambar dari www.wikipedia.org

Tentang Kate: lahir pada bulan purnama. Memiliki rambut panjang dan lebat yang nggak rela dipotong, menunggu kesempatan ditemui oleh pencari model untuk iklan sampo dan conditioner. Sampai sekarang dia masih menunggu dengan sabar...

Perempuan Lintas Medan - Sumatra

Oleh: Arie Gere

Gbr1. Bandara Polonia, Photo by Arie, November 01, 2007

“Bang, aku pinjam keretanya yah?”
“Mau ke mana?”
“Mau ke pajak ngantar Mamak.”
“Lewat mana?”
“Yah lewat pasar biasa ajalah bang, biar gak macet kali.”
“Hati hati kau, banyak orang tenggen di situ.”
“Siplah bang, tenang aja, kan aku anak mudanya ;).”

Sepenggal percakapan di atas mungkin akan mengerutkan dahi Anda beberapa saat untuk memahami maksud kalimat-kalimatnya. Itu Bahasa Medan, bukan bahasa Batak, Melayu apalagi bahasa Jawa.

Medan adalah ibu kota Provinsi Sumtera Utara dengan mayoritas penduduk bersuku Batak dan Melayu yang menduduki posisi sebagai salah satu kota besar di Indonesia, terkenal dengan makanan khas Bika Ambon, Durian, dan Terong Belanda-nya. Beberapa tahun ini bertambah lagi satu makanan khas kota Medan, yaitu Bolu Meranti, meskipun sebenarnya bukan maksud saya mempromosikan bolu yang satu ini, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa Bolu tersebut sudah menjadi oleh-oleh khas kota Medan. Hampir setiap pengunjung kota Medan akan bertambah berat badannya bila meninggalkan kota ini. Bayangkan saja, makanan yang beraneka ragam sangat menggoda lidah untuk dicicipi.

Jika berangkat dari Bandara Sukarno-Hatta, tidak sampai dua jam Anda akan tiba di Bandara Polonia yang dikelilingi dengan perumahan baik elit maupun standar yang sebenarnya sangat mengganggu navigasi penerbangan, tetapi malah menguntungkan ditinjau dari sisi pihak pengunjung. Pengunjung kota Medan dapat langsung ke pusat kota hanya dalam waktu 10 menit. Tinggal naik taksi atau dengan becak mesin (baca:becak bermotor) sudah pasti tiba di tujuan.

Meski demikian, kenikmatan yang dirasakan pengunjung ini sepertinya akan segera hilang karena lokasi bandara yang sangat mengganggu tersebut akan dipindahkan ke daerah lain Sumatra Utara.

Batak sebagai salah satu suku terbesar di kota Medan memiliki mahakarya budaya yang sangat istimewa. Mulai dari bahasa batak yang beraneka ragam, tarian tor-tor yang gerakannya berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, sampai-sampai makanan khasnya pun ada bermacam-macam jenisnya. Bahasa batak dari Tapanuli Utara akan terdengar tegas dan keras bila dibandingkan dengan bahasa batak dari Tapanuli Selatan (Mandailing) yang terkesan sedikit mendayu-dayu.

Nah, kalau ditinjau dari agama, masyarakat daerah Utara mayoritas beragama Kristen sedangkan daerah Selatan mayoritas Muslim. Berbicara makanan khas, Ikan Mas Arsik akan sering dijumpai pada acara-acara adat Batak baik yang dari Utara ataupun dari selatan. Masyarakat Utara menyenangi makanan yang bernama Sangsang (baca: Saksang) yaitu daging babi yang dicincang dan dimasak dengan aneka bumbu.

Namun bila kita jalan-jalan ke daerah Selatan, makanan tersebut tidak akan dijumpai lagi. Orang Selatan terkenal dengan makanan khas nya Ikan Sale, Pakat dan Holat. Ikan Sale merupakan ikan lele yang diasapi hingga berwarna hitam pekat dan biasanya digulai. Pakat adalah isi dari rotan muda yang dimakan seperti lalap. Terakhir, holat, yaitu makanan berkuah seperti sop yang berisi ikan dan serbuk kayu.. Terdengar anehkah??

Saya adalah orang Batak, dan saya bangga menjadi orang Batak meskipun ditinjau dari segi bahasa masih sangat minim untuk dikatakan sebagai orang batak. Besar dan tumbuh di kota Medan membuat saya pribadi kesulitan memahami bahasa nenek moyang tercinta. Orang Batak akan sangat bangga bila mempunyai anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan.




Gbr2. Perempuan terbang melayang Photo by Arie, November 01, 2007


Sebagai penerus marga dalam suku Batak, anak laki-laki mendapat posisi terhormat dalam keluarga.. Laki-laki sebagai penerus marga mempunyai banyak hak istimewa dan didahulukan kepentingannya daripada anak perempuan. Misalnya saja, kaum laki-laki akan mendapat kehormatan untuk makan terlebih dahulu dalam suatu acara adat, lengkap dengan semua panganan yang dihidang dengan lezat dan menarik. Sementara kaum wanita, hanya akan makan bila laki-laki sudah selesai makan, atau paling tidak akan makan bersama-sama wanita lainnya di dapur.

Jadi, salah satu kesuksesan menurut keluarga Batak adalah mempunyai anak laki-laki.

Bahkan konon dulu, bila seorang wanita yang dinikahi tidak dapat memberikan seorang anak laki-laki, jadilah wanita itu siap-siap untuk diceraikan atau dimadu.

Kodrat terlahir sebagai perempuan Batak secara tidak sadar membuat mental saya menjadi keras dan selalu ingin bersaing dengan kaum laki-laki. Ingin membuktikan bahwa anak perempuan juga tidak kalah istimewanya dengan anak laki-laki. Tuhan menciptakan semua manusia itu sama, dibedakan hanya dari tingkat keimanannya.

Beberapa kali hati saya menangis melihat kaum perempuan di daerah kampung saya, (kampung saya terletak di salah satu desa terpencil di daerah Tapanuli Selatan), di mana kaum perempuannya harus bekerja penuh ekstra dibandingkan dengan laki-lakinya. Ibu-ibu berjalan kaki sambil menggendong anak yang masih kecil ditangan kanan, sedangkan tangan kiri penuh dengan seember pakaian untuk dicuci, belum lagi di atas kepala diletakkan ember yang sebelumnya di alas dengan kain kepala seperti blangkon yang berfungsi menjaga agar ember di atas kepala tersebut tidak jatuh. Di belakang si Ibu, berjalan anak-anaknya yang lain sambil membawa pakaian lainnya untuk dicuci. Sementara si Bapak, asyik main kartu domino ataupun Joker sambil minum Tuak (Minuman Beralkohol) di Sopo Godang (tempat bekumpul para pria dikampung saya yang sebenarnya berfungsi untuk tempat bermusyawarah).

Gbr2. Sopo Godang Kampungku, Photo by Arie, 25 Oktober 2007

Itu adalah kejadian hampir 10 tahun yang lalu yang saya saksikan dengan mata sendiri, namun masih teriris pedih hati ini bila mengingatnya betapa tega perlakuan si Bapak pada saat itu. Mungkin cuma saya yang merasa pedih, sedangkan si Ibu justru memperlihatkan wajah tersenyum ketika tahu saya memerhatikannya sedikit lama. Ibu muda yang saya pikir ketika itu berumur 40 tahun, ternyata masih berumur 25 tahun… Sayang sekali, penampilan dan wajahnya jauh lebih tua dari usia sebenarnya. Ibu ini sepertinya tidak keberatan menjalani hidup yang dipilihnya sekarang, merasa bahwa itu adalah kodrat perempuan, merasa memang sudah seharusnya perempuan seperti itu.

Kini, sedikit demi sedikit anggapan kolot itu sudah mulai berubah.

Televisi, radio, media cetak dan telepon memang sarana komunikasi yang sangat efektif untuk mengubah pola pikir sebuah masyarakat. Wanita di kampung saya sudah mulai berpikir lebih maju di bandingkan tahun-tahun sebelumnya saya pulang ke kampung mengunjungi Opung (Kakek dan Nenek) yang memang lebih suka tinggal di daerah pedesaan daripada mengirup hiruk pikuknya udara kota.

Dalam adat Batak, ada istilah Pariban. Pariban adalah anak laki-laki dari saudara perempuan bapak (sepupu, anak Tante) bagi perempuan, dan anak perempuan dari saudara laki-laki ibu (sepupu, anak Tulang (baca:Om) bagi laki-laki. Jadi konsepnya saling menyilang seperti itu. Pariban sangat disarankan untuk dinikahi meskipun sebenarnya tidak ada paksaan, tetapi merupakan perjodohan terselubung dalam keluarga yang dimulai ketika anak masih dalam kandungan.

Saya teringat dengan masa kecil saya ketika diolok-olok oleh sepupu-sepupu lain ketika Pariban ingin bermain dengan saya. Rasanya janggal, dia seperti abang kandung bagi saya, mana mungkin dinikahi? Tetapi ternyata konsep kolot seperti itu masih berputar-putar di otak keluarga besar saya. Pariban yang sangat saya hormati selayaknya abang, dipaksa dengan halus menikahi saya ketika kami berdua dinilai sudah matang untuk berumah tangga. Seperti ada konspirasi terselubung antara Ibu saya dengan Ibunya.

Di luar dugaan, Pariban tersebut menyampaikan rasa bersalahnya dan rasa minta maafnya kepada saya melalui sebuah e-mail karena dia berencana menikahi perempuan lain yang dicintainya. Berjatuhan air mata saya, bukan sedih bukan kecewa, saya bahagia karena ia menemukan cintanya. Dengan semangat menggebu-gebu, saya utarakan hal ini pada partner dan menyuruhnya langsung membaca e-mail tersebut.

Seandainya saya dan Pariban dipersatukan oleh Tuhan, apakah sanggup saya menjalani kepura-puraan dalam berumahtangga karena sebenarnya sudah ada 2 jenis pertentangan yang muncul di jiwa ini, pertama karena saya punya ikatan darah yang sangat dekat dengan Beliau, dan yang kedua dan terpenting adalah saya tidak mencintainya, saya mencintai perempuan lain. Perempuan yang membuat saya telah menemukan arti kehidupan sebenarnya, arti cinta kepada Tuhan, arti cinta kepada keluarga dan arti cinta kepada sesama. Perempuan yang gerak-geriknya selalu menawan di mata hati saya, dialah perempuanku.

Saya hanyalah perempuan biasa yang sangat mencintai perempuanku.

Keterangan :
- Kereta = sepeda motor
- Pajak = pasar
- Pasar = jalan raya, aspal hitam
- Kali = sangat, terlalu, banget
- Tenggen = mabuk
- Anak muda = jagoan

TENTANG ARIE GERE:
Seorang perempuan dikelilingi dengan angka-angka yang menawan, benci berada jauh dari rumah namun tugas dan tanggung jawab membuatnya terpaksa meninggalkan rumah. Sangat mencintai Medan, hobi makan minum apa saja asal halal, selalu berkeliling kota naik sepeda motor, dan tidak tahan dingin apalagi AC. Fans berat sama Haruka Tenoh (Sailor Uranus) dalam Sailormoon, bersuara sedikit bass namun sangat suka menyanyi sambil mencet-mencet tuts butut kebanggaannya, karena baginya, No Music, No Life. Kalau no woman???? Seperti hidup yang mati suri…

@Arie, SepociKopi, November 2007




Balada Sitti Nurbaya di Kota Padang Tercinta

Oleh: Naomi


Photo by Naomi


Namaku Naomi. Aku dilahirkan di kota kecil bagian barat Pulau Sumatra. Kota yang sangat keras dalam memberlakukan dan menjunjung tinggi nilai-nilai adat istiadat serta agama. Kota yang berazaskan adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah (perilaku manusia dikontrol oleh norma-norma yang berlaku. Sementara norma-norma tersebut dijalankan menurut acuan Alqur’an). Kota yang terkenal dengan legenda Malin Kundang, cerita Sitti Nurbaya, keunikan tari piringnya dan masakan tradisional yang terkenal sampai ke mancanegara; Rendang serta Dendeng Balado. Itulah kotaku tercinta. Tanah Ranah Minang. Padang.

Dahulu aku sama sekali tidak pernah mau peduli dan mengerti adat istiadat yang mengikat kami. Namun sekarang seiring bertambahnya usia, aku mulai jengah dibuatnya. Segala tindak tandukku selalu saja diawasi adat. Tidak boleh begini, tidak boleh begitu. Anak perempuan tidak boleh bertandang ke luar rumah, apalagi ke rumah lelaki. Tidak boleh pulang malam (ahh… mending pulang pagi!). Tidak boleh tertawa ngakak, harus patuh kepada orang tua, suami serta mamak (saudara laki-laki dari pihak ibu yang dituakan) dan perempuan harus pintar memasak, mengurus suami dan rumah tangga.
Heeh… benar-benar seperti zaman Sitti Nurbaya aja, capek deeeh…!



Hak azasiku sebagai perempuan kembali tertindas oleh hukum, norma dan peraturan adat yang berlaku. Ketika akhirnya mereka mengetahui perbedaan orientasi seksualku, mereka memasungku! Perbedaanku dianggap sebagai penyakit yang ditularkan oleh kekasih dan dianggap sebagai aib dalam keluarga. Mereka menutup-nutupinya, merasa malu dengan keadaanku.

Berbagai pasukan orang pintar dipanggil. Mulai dari dukun, Kyai dan entah apa lagi mulai didatangkan mereka untuk menyembuhkanku. Ada yang bilang aku terkena guna-guna, dan mengobatiku dengan jampi-jampinya serta menyuruhku mandi dengan air kembang yang telah dimantrai. Ada yang memberi pengajian. Bahkan semua kegiatanku pun dimata-matai. Halah-halah… tidak tahu kah mereka, bahwa semua tindakan mereka itu malah menyakitiku? Tidak saja batinku yang terluka, namun fisikku juga menderita.

Suatu ketika, di saat semua rasa semakin memuncak, aku mencoba untuk berontak. Terjadilah adu argumen yang hebat di dalam keluarga besarku. Aku ingin memertahankan hak dalam menentukan pilihan hidupku, aku ingin menikmati kebebasan dan kemerdekaanku. Aku ingin menghirup udara segar! Aku ingin perbedaanku dihargai. Aku tidak ingin dilecehkan, disakiti, dan disiksa dengan dukun, kyai dan orang-orang konyol suruhan mereka. Namun apa yang terjadi? Ayahanda tercinta jatuh tergeletak, tak berdaya menahan sesak di dada. Serangan jantung, itu kata mereka. Dan aku pun terpana.

Mereka memojokkanku. Mengambil kesempatan untuk menghancurkanku. Memanfaatkan rasa bersalahku terhadap ayahanda sebagai senjata untuk menikamku. Aku dipaksa menikah, untuk menyelamatkan kesehatan ayahanda tercinta. Atau, apakah untuk menyelamatkan muka dan kehormatan keluarga?

Jodohku telah mereka carikan, tanggal pernikahanku pun telah mereka tentukan. Mereka bahkan tidak memberitahukanku siapakah gerangan laki-laki yang akan dijodohkan denganku. Apakah dia tua, kurus kerempeng dan jahat seperti Datuk Maringgih yang dulu pernah ditayangkan di stasiun televisi itu? Atau bagaikan pangeran? Kesatria berkuda seperti yang ada di dalam dongeng-dongeng pengantar tidur? Aku sama sekali tidak tahu. Namun aku menyanggupinya, meski jiwa dan raga ini tersiksa.


***

Sore itu, tepatnya hari rabu tanggal 12 September 2007. Menjelang adzan maghrib bergema, ketika umat manusia tengah disibukkan dengan kegiatan menanti datangnya Ramadhan. Bumi berguncang hebat. Dunia seakan kiamat. Barang-barang berjatuhan, listrik pun padam. Kusambar kesatria kecilku dan lari menyelamatkan diri keluar rumah.

Panik melanda warga kota, begitu pun juga dengan diriku. Keluarga besarku tercerai berai. Lafadz Illahi tak henti-hentinya mengalir dari mulutku sambil mendekap erat si kecil yang belum mengerti apa-apa. Bengkulu diguncang gempa tektonik berkekuatan 7,9 SR. Hampir seluruh pulau Sumatra dan sebagian pulau Jawa merasakan getarannya. Tuhan, selamatkanlah kami semua…

Selang beberapa menit kemudian, gempa mereda. Namun Padang sudah seperti kota mati. Ancaman tsunami. Mereka yang takut mati segera pontang-panting lari menyelamatkan diri menuju dataran yang lebih tinggi. Tapi kami sekeluarga tetap bertahan di rumah, berkumpul kembali bersama keluarga yang tadinya tercerai-berai. Hatiku merasa lebih lega. Apa pun yang terjadi, walaupun nantinya kami tidak selamat, setidaknya kami bisa menghadapi cobaan ini bersama-sama.

Keesokan paginya, ketika warga masih terlelap dalam tidur mereka selepas imsyakh dan sholat subuh, untuk kedua kalinya, bumi terguncang lagi. Kali ini guncangannya lebih kuat dan lebih lama daripada kemarin. Bangunan-bangunan mulai roboh, rata dengan tanah. Sementara rumahku mengalami keretakan. Bumi terbelah, tanah merekah, dan menyemburlah air comberan yang berbau busuk dari dalam perut bumi bagaikan sumur artesis setinggi satu meter. Warga pun kembali lari berhamburan. Painan, bagian selatan dari wilayah Sumatra Barat kembali dikoyak gempa berkekuatan 7,6 SR.

Tiga puluh menit kemudian… “Lariii… Air naiiik!” teriak warga histeris. Memang benar, air memang naik. Melesat secepat angin menuju ke arah Timur. Aku menyaksikan hal itu sendiri dengan keluargaku dari lantai tiga di atas rumahku. Ibunda terlihat shock, ia menangis. Namun mulutnya masih terus istighfar, sambil mengajak kedua keponakanku untuk turut mengucapkan kalimat-kalimat Illahi seperti yang beliau lakukan. Tetapi Allah masih sayang kepada hambaNya. Secepat air itu naik, secepat itu pula air kembali surut.

Bayangan tsunami kecil masih saja menghantui ibunda, apalagi ditambah dengan isu-isu yang tak bertanggung jawab serta gempa susulan yang terus menerus terjadi. Ibunda mengkhawatirkan anak dan cucu-cucunya. Kekhawatiran ibunda membuat kami mengambil langkah untuk segera pindah ke tempat yang lebih tinggi. Maka, mulailah kami berburu rumah baru untuk dinaungi.

Gila! Harga rumah di pinggiran kota naik gila-gilaan secara serentak. Rumah yang dulunya dihargai enam puluh juta rupiah naik menjadi seratus lima puluh juta rupiah. Bahkan ada yang harganya mencapai tiga ratus lima puluh juta. Benar-benar sinting! Bagaikan menangguk di air keruh! Bagaimana dengan orang yang berasal dari keluarga yang tidak mampu? Apakah mereka akan memilih tinggal di perbukitan? Entahlah, aku sendiri juga bingung memikirkannya.

Satu rumah kelihatan cocok, dihargai seratus lima puluh juta. Rumah tinggal bertingkat, namun separo jadi. Tak masalah, hal itu bisa diselesaikan renovasinya di kemudian hari. Yang penting kami memiliki rumah pengungsian. Setelah bernegosiasi dalam percakapan telepon, maka berangkatlah kami ke lokasi yang dituju. Aku terheran-heran ketika melintasi lokasi perumahan tersebut. Kompleks perumahan dosen Unand Limau Manis. Waduh! Ini rumah komplek apa hutan, sih? Menyeramkan sekali! Di mana-mana terdapat hutan rimba, bahkan jalanan menuju lokasi pun masih belum diaspal. Bukankah ini komplek perumahan dosen yang terkenal dengan harimau putih jadi-jadiannya?

Cerita harimau siluman itu bukan cerita isapan jempol belaka, itu memang nyata adanya. Harimau putih siluman itu suka menampakkan dirinya sekitar jam sebelas malam ke atas. Banyak yang telah melihatnya. Maka dari itulah banyak para dosen dan warga yang enggan menempati perumahan tersebut. Aku bersikeras agar mereka mengurungkan niatnya untuk membeli rumah tersebut dan mencari rumah lainnya. Dengan sangat menyesal, perjanjian itu pun dibatalkan.

Terus dan terus mencari, akhirnya kami menemukan tanah kompleks yang masih kosong dan terletak di kawasan aman. Diputuskanlah untuk membeli tanah tersebut. Walaupun cuma tanah, tapi tak apalah. Toh, bangunannya bisa disusul kemudian. Sedikit lebih lega, dan mereka pun gembira. Sekarang kami hanya tinggal menunggu proses surat-surat resmi saja biar tanah tersebut bisa dibangun secepat mungkin.

***

Padang, kota tercinta. Namun aku ingin pergi karena aku merasa hampa. Mati atau tidak di sini, tak ada bedanya. Karena kebebasanku telah lama terenggut. Aku ingin merdeka.
Bila saatnya tiba, aku akan segera menyongsong hari kebebasanku. Rencana itu telah tersusun rapi di kepala. Aku ingin hidup bersama kekasih dan ksatria kecilku di seberang lautan. Maafkan aku karena aku telah lelah berperan ganda. Aku tak mau lagi menjadi Sitti Nurbaya.


Tentang Naomi
Perempuan Blasteran Hindustan & Minang. Luwes dalam bergaul. Menjunjung tinggi arti dari persahabatan serta kesetiaan. Sedikit iseng, namun banyak jailnya. Harry Potter adalah bacaan favorit. Cita-citanya sangat unik, yaitu ingin mempunyai satu istana di puncak gunung Olimpus, di mana tak seorang pun bisa mengusik kebahagiaan masa depan yang akan dilalui bersama orang-orang terkasih.

San Fransisco 101

Oleh: Wind




all photos by Wind


San Francisco, kota yang berdiri di atas perbukitan sehingga jalanan kota ini naik-turun. Apabila Anda mempunyai jiwa berpetualang, ingin menjelajahi kota tanpa ikut tour apa pun, hal itu sangat memungkinkan di San Francisco. Dari bandara SFO ke pusat kota San Francisco (turun di Powell Station), dapat ditempuh dalam waktu 45 menit dengan menumpang BART (kereta cepat bawah tanah) yang terdapat di bandara domestik SFO hanya dengan biaya $5.15. Persis di luar Powell Station ini, terdapat Tourist Information Center. Disini anda tinggal mengambil booklet yang berisikan tentang tempat tempat wisata dan hotel-hotel di San Francisco lengkap dengan peta di dalamnya.

Di sekeliling Powell Station terdapat banyak hotel dari yang berbintang sampai yang murah. Di sana juga terdapat hotel-hotel seperti Hilton dan Marriott dan pusat-pusat perbelanjaan. Setiap tempat wisata di San Francisco bisa dicapai dengan MUNI (bus), ongkosnya $1.50 untuk sekali naik, yang nantinya akin diberikan “transfer” (karcis) yang berlaku selama 90 menit. Cara lainnya anda bisa membeli “Visitor Passports” yang berlaku untuk sehari seharga $11, untuk 3 hari seharga $18, atau untuk 7 hari seharga $24. Atau membeli “Weekly Pass” yang berlaku untuk seminggu dari Senin ke Minggu seharga $15. Perbedaan dari Visitor Passport 7 hari dengan Weekly Pass adalah Visitor Passport tanggal penggunaannya tergantung pembeli dan karcis ini bisa digunakan untuk naik Cable Car, sedangkan Weekly Pass, karcis ini hanya berlaku dari hari Senin ke Minggu pada saat dibeli dan tidak dapat digunakan untuk naik Cable Car.




Adapun tempat-tempat wisata yang bisa dikunjungi adalah Golden Gate Bridge, Coit Tower, Chinatown, Japantown, Lombard Street, Fisherman Wharfs, Golden Gate Park, Palace of Fine Arts. Cuaca di San Francisco tidak begitu jauh berbeda dengan cuaca di Asia. Anda tidak akan menemukan salju di sini. Jadi janganlah heran kalo di kota ini lebih banyak keliatan orang Asia daripada bule itu sendiri. Jangan takut nyasar di kota ini, karena orang-orang di kota ini cukup ramah, mereka akan memberikan informasi apabila anda mau bertanya. Komunitas orang Indonesia di kota ini juga lumayan banyak. Setiap tahun di bulan Agustus selalu diadakan Indonesian Day dalam rangka menyambut 17 Agustus.

Setiap pagi dengan ditemani kopi dan sepotong kue, aku membaca e-mail dan men-surfing internet sebelum berangkat kerja. Suatu rutinitas yang menjadi kegemaranku setahun belakangan ini. Coming out tidak pernah sekali pun terlintas di benakku, masih banyak yang harus dipikirkan selain diri sendiri, masih ada Mama yang harus dipikirkan, seorang wanita yang lebih memilih mengabdi pada keluarga dibanding mengikuti kata hatinya ketika beliau berada di persimpangan jalan puluhan tahun yang silam. Entahlah mungkin aku hanya seorang pengecut yang berlindung di balik alasan-alasan itu..., seorang pengecut yang terdampar di kota yang salah.

Tentang Wind:
Seorang yang terbiasa hidup sederhana dari kecil, humoris, bersahabat, tidak pintar basa-basi sehingga selalu dianggap kasar.

Teman Baru di Tengah London

Oleh: Mae

"Mind the gap, mind the gap!" berulang-ulang suara berisik itu berkumandang di seantero stasiun tube. Iya, iya, ini sudah mind the gap, cerewet, kataku dalam hati sambil meloncati peron. Jantungku berdetak lebih keras, pastinya bukan karena menaiki anak tangga stasiun. Embusan angin bulan Februari membuat orang merapatkan mantel mereka, namun tubuhku malah berkeringat.

Ini pertama kalinya dalam hidupku aku datang ke perkumpulan lesbian, maklum pekerjaanku yang public-oriented membuatku sangat takut ketahuan soal yang satu ini. Lalu kenapa aku memutuskan untuk berani unjuk tampang di social group ini? Karena aku bukan di Jakarta, kecil kemungkinan bertemu orang yang mengenaliku. Di sini, aku hanya international student.

Sesampainya di luar stasiun, kubiarkan mataku berkelana meresapi suasana hiruk-pikuk tengah kota London nan angkuh, dengan manusia-manusia yang tampak selalu sibuk. Berbekal peta London A-Z pinjaman dari teman, aku mulai berjalan mencari lokasi coffee shop tempat pertemuan. Mataku dengan cepat berpindah-pindah dari peta di tanganku ke deretan bangunan-bangunan tua khas Inggris yang cantik, sambil memastikan langkah kakiku tidak menumbuk para Londoner ini. Dalam waktu lima menit dan dua belokan, papan nama coffee shop itu sudah terpampang tepat berada di seberangku.

Buru-buru aku menyeberangi jalan dan berhenti tepat di samping pintu pintu coffee shop itu, sebelum melangkah masuk. Kuatur napasku, kukeringkan keringatku. Duh astaga, kenapa jadi deg-degan sih? Aku pun berusaha menenangkan diri.

Di Jakarta, aku tidak punya banyak teman lesbian. Mereka yang aku kenal hanyalah kekasihku, mantanku, dan mantannya kekasihku. Yah hanya mereka. Sejujurnya aku ingin seperti di serial The L Word, sering duduk bersama teman-teman yang juga mencintai perempuan, saling berbagi cerita dan saling setia mendengarkan. Namun rasa takut selalu menginjak lumat keinginanku itu.

Rasa canggung dan ragu memberati langkahku untuk langsung masuk ke coffee shop. Aku mengambil HP dari dalam tas, menekan nomor si koordinator perkumpulan yang via e-mailnya telah mempersilakan aku bergabung dalam social meet-up bulanan mereka ini. Duh, tidak diangkat. Mungkin mereka sedang asyik mengobrol sehingga tidak sadar HP-nya berbunyi.

Selintas muncul keinginanku untuk berbalik dan pulang tanpa menemui mereka. Namun pikiran tersebut kumentahkan, mengingat jarak yang telah kutempuh dan penantiaan berhari-hari untuk bertemu sekelompok calon teman baru yang kudapatkan via google search ini.

Kueratkan simpul syal yang melilit leherku. Kutarik napas panjang, dan sekali lagi kutarik dalam-dalam. Siapkah aku? Sekarangkah saatnya? Dalam hati aku menguatkan diriku sendiri; kalau aku tidak nyaman, aku akan membuat alasan untuk meninggalkan tempat pertemuan lebih cepat. Aku bisa menghilang kapan pun aku mau, mereka tidak tahu siapa aku. Oke? Oke!


Dengan langkah yang sedikit lebih ringan, kubuka pintu coffee shop itu, kusapukan pandanganku pada semua tamu yang ada. Tidak sulit menemukan mereka, sekitar 10 wanita berwarna duduk di pojok sambil mengobrol seru. Perlahan kuhampiri dan kusapa mereka mereka, "Hello." Belum sempat kutanyakan apakah mereka benar adalah kelompok yang aku maksud, seorang dari mereka dengan senyum penuh kehangatan bertanya, "Are you Mae?"

Yep, aku berada di gerombolan yang benar. Rupanya dialah Sang Koordinator. Aku pun duduk di salah satu tempat yang masih tersedia, dan gelombang rasa hangat segera menyisipi tubuhku. Bukan hanya karena sesapan secangkir teh susu hangat ala orang Inggris ini, tapi juga karena keramahan mereka pada "orang baru" seperti aku ini.

Dengan cepat obrolan berputar, dimulai dari menyebalkannya cuaca London kemudian menggelinding ke berbagai hal, obrolan ringan dan "berat" silih berganti. Mulai dari pengalaman dikejar anjing, hingga isu feminis seantero dunia. Mulai dari pengalaman kecopetan HP, hingga kebijakan Tony Blair (saat itu). Belasan wanita mencair dalam satu obrolan, melumerkan sekat kewarganegaraan, warna kulit dan usia. Kadang tawa menggema ke seluruh penjuru coffee shop yang mungil itu, kadang kening berkenyit menandakan keprihatinan pada suatu isu. Lupa sudah aku akan keraguan dan kecanggungan yang sebelumnya membebaniku.

Tak terasa, siang melesat menghampiri sore sudah. Satu per satu teman-teman baruku ini pamit meninggalkan coffee shop, sambil menyatakan harapannya akan kehadiranku lagi pada pertemuan di bulan mendatang. Keramaian tadi kini hanya menyisakan aku dan Sang Koordinator. Obrolan pun terus berlanjut, namun kini bergeser menjadi obrolan yang lebih pribadi.

Dia menanyakan apakah aku baik-baik saja, rupanya dia peduli dengan isi e-mailku yang mungkin tanpa sengaja mengesankan betapa aku merasa sangat kesepian. Memang aku merasa sangat kesepian. Sendiri di negeri asing yang berjarak 18-jam-penerbangan, omelan keluarga tersayang dan kecerewetan kekasih tercinta menjadi suatu kemewahan yang kukangeni.

Pada teman satu kampus dan flat aku bisa mengadukan rasa rinduku terhadap keluarga, karena kutahu mereka pun merasakan hal yang sama. Namun siapa yang dapat mengerti kerinduan pada kekasihku, yang telah bertahun-tahun menggandeng tanganku menaiki bukit dan menuruni lembah kehidupan di bawah jubah invisible-nya Harry Potter?

Rupanya Sang Koordinator sudah beristri. Yah istri, bukan "istri". Istri tanpa tanda petik. Hukum civil partnership di Inggris melegalkan pasangan resmi gay dan lesbian untuk memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti pasangan hetero yang menikah. Jadi pasangan menikah tidak saja suami-istri, tapi juga istri-istri atau suami-suami.

Pikiranku melesat pada kekasihku, kapan kami bisa saling memanggil "Istriku tercinta"? Maukah kau tinggal di sini bersamaku, membangun mimpi kita berdua? Sepadankah kita meninggalkan keluarga dan teman kita di Tanah Air, untuk kebahagiaan kita sendiri di negeri orang? Entah berapa lama pikiranku terbang melayang, sebelum akhirnya dentingan sendok beradu dengan mulut cangkir membawaku kembali menginjak bumi.

Untuk menutupi lamunanku barusan, aku segera bertanya bagaimana dan mengapa kelompok ini ada. Sang Koordinator dengan semangat berceloteh menjelaskan. Rupanya kelompok ini sudah beberapa tahun berdiri, dan bukan saja merupakan social group, tapi juga political group. Kelompok ini memiliki misi selain ingin mendorong pemerintah Inggris untuk membuat kebijakan yang lebih baik bagi kesejahteraan lesbian, juga misi yang lebih penting adalah visibilitas lesbian yang relijius dan tidak promiskus.

Penjelasan terakhir inilah yang memang membuatku tertarik untuk bergabung dan "nekat" menghampiri mereka. Hasil browsing di internet kutemukan banyak sekali perkumpulan gay dan lesbian, namun semuanya so british: melulu clubbing dan alkohol. Senang rasanya akhirnya bisa menemukan kelompok yang punya gaya hidup sama dan memiliki visi yang jelas.

Sebelum kami berpisah, Sang Koordinator seperti memastikan, "See you next month?"
Sambil memakai sarung tanganku dan tersenyum, aku menjawab yakin, "Definitely!"

@Mae, Sepoci Kopi, Juli 2007
crossposting from http://sepocikopi.blogpsot.com

photo by Mae

Tentang Mae: Sedang belajar untuk lebih banyak bersyukur dan tersenyum. Baru menemukan bakat terpendamnya dalam bidang memasak. Suka berkeliling kota dengan mengayuh sepedanya. Penikmat bulan purnama, terutama bila bersama kekasih.

Spa Ala Keraton Yogya

Oleh: Ade Rain


Ngiler spa setelah baca perjalanan honeymoon seorang teman aku jadi teringat suasana spa di Yogyakarta. Hotel Sheraton Mustika yang kolam renangnya meniru arsitektur taman sari keratonan Yogya itu juga punya pelayanan spa yang luar biasa eksotis dan pemijat spa yang unik.

Jika biasanya di tempat-tempat spa kita dilayani dengan berbagai spa yang beragam menu pembersihan kulit hingga bagian paling intim, di Taman Sari Royal Heritage Spa juga menjual beragam spa yang tidak jauh berbeda, mulai body peeling, javanese facial, herbal treatments, spa baths dan banyak lagi, namun yang paling berkesan yakni pelayanan sumber daya manusia pelulurnya yang sangat bernuansa kerajaan Jawa.

Layanan spa ala keraton ini mulai terasa ketika kita bertemu dengan para pemijat yang sangat profesional. Tutur kata yang sopan dan perilaku bak dalem di kerajaan sudah ditunjukkan sejak pintu masuk hingga berbaring di altar spa. Setiap gerakan badan dan tubuh mereka bagai sedang melayani dewa, digerakkan dengan sangat lembut, sangat halus, sangat hati-hati dan penuh kosentrasi. Betapa sulit ketika mencoba menebak apa yang sedang mereka lakukan saat tidak menyentuh badan kita, tidak terdengar suara langkah, apalagi jejak suara saat memindahkan atau mengambil sesuatu barang, semua dilakukan dengan sangat anggun. Benar-benar pelayanan spa ala keraton Jawa yang sungguh eksotis.



Pada saat menyentuh kulit, pemijat spa biasanya akan memulai dengan sentuhan yang sangat-sangat lembut di kaki, kemudian mulai naik ke atas dengan tenaga yang sedikit demi sedikit bertambah, meski dengan tenaga pijatan yang lebih terasa di badan, mereka akan menjaga konsistansi memegang badan kita dengan sangat-sangat lembut, dan pada saat mengangkat kaki ataupun meletakkan kaki kita kembali berbaring di tempat spa mereka lakukan dengan perlahan-lahan seakan-akan takut kupu-kupu yang sedang hinggap dikulit kita terbang akibat kibasan angin.

Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut pemijat kecuali jika kita minta pijatannya diperlama di bagian tertentu, mereka melakukannya dengan amat hati-hati dan pelayanan yang mendekati sempurna. Sementara itu musik gending jawa yang lembut dan syahdu menjadi soundtrack adegan tidur-tidur ayam kita ketika merasakan kenikmatan setiap baluran. Saat keluar dari sana dengan tubuh segar dan harum, nuansa menjadi seorang ratu atau putri raja bisa terasa hingga berhari-hari. Treatment spa yang layak untuk dinikmati.

Jangan lupa setelah kembali ke kamar hotel (tentunya harus minta Mount Merapi View), geser semua gorden ke pinggir jendela, bercinta dengan kekasih dengan tubuh bersih cemerlang sambil melihat kemegahan Gunung Merapi yang sedang kalem dan agung rasanya sangat luar biasa syahdu... di sanalah tempat terbaik membuat anak dengan 'cara' yang istimewa.

@Ade Rain, SepociKopi, 2007
photo from: http://www.starwoodhotels.com/

Honeymoon di Hotel Malya, Bandung

Oleh: Lakhsmi
Setelah bertahun-tahun bertanya-tanya apa yang terjadi jika sepasang perempuan memesan paket liburan yang diberi judul honeymoon, akhirnya kami bertekat untuk benar-benar melakukannya. Melalui persiapan yang matang (permintaan cuti dan pengaturan urusan sekolah anak-anak) serta ingin melarikan diri dari ketegangan pekerjaan, bulan ini kami memutuskan untuk berlibur di Bandung. Kami memilih Hotel Malya, hotel yang terletak di lereng pegunungan indah.

Waktu aku mengumumkan rencana kami kepada sahabatku, Bella, dia berkata, “Wah, asyik sekali. Hotel Malya sangat romantis lho. Cucok deh buat kalian berdua!” Aku mesem-mesem menanggapi reaksi riuh sahabatku. Kalau Bella sangat bersemangat membayangkan aku akan pergi berdua ke hotel yang konon merupakan sarang bagi pasangan penganti baru, kami sendiri agak gugup membayangkan apa sambutan staff hotel jika melihat yang datang adalah sepasang perempuan.

Di depan petugas front office, partner menyenggol lenganku untuk mengingatkan agar aku meyakinkan petugas untuk menyiapkan kamar kami dengan ranjang besar ukuran king. Daripada menyesal nanti, mending membuka mulut sekarang.

“Errr...,” kataku sambil berdeham keras. “Tolong, Mbak, satu ranjang ukuran king.”

Petugas front office mengangguk ramah. “Ya, sudah disiapkan,” katanya.

Aku dan partner saling melirik. Ini bukan pertama kalinya kami pergi berlibur berdua di hotel mewah, tetapi tetap saja aku selalu merasa seluruh dunia sedang mengamati kami saat mulutku mengajukan kebutuhan akan kamar yang memiliki satu ranjang untuk berdua.

Kamar kami adalah kamar deluxe, memiliki balkon menghadap pegunungan dan hutan. Saat pintu balkon terbuka, aku terpaku menatap pemandangan yang spektakuler. Cuaca bersahabat dan udara sejuk. Dari tempatku berdiri, aku dapat melihat kolam renang berwarna biru jernih yang “tergantung” di atas kaki gunung. Waktu seakan-akan berhenti di sini; aku dan partner bermalas-malasan di kamar. Setiap kamar didesain sempurna, lantai kayu serta tembok berwarna pastel. Tidak heran hotel ini sangat direkomendasikan untuk pengantin baru atau siapapun yang menginginkan kenyamanan agar dapat saling memusatkan perhatian hanya kepada pasangannya.

Hotel Malya terletak pinggir jurang pegunungan. Uniknya, surga tempat melarikan diri dari kesibukan pekerjaan ini tidak menjulang ke atas, melainkan “turun” ke bawah. Seluruh kamarnya berada di bawah lobi, sehingga kalau aku mendongak dari balkon kamar, aku dapat melihat restoran yang berada dua lantai di atasku. Arsitektur yang menarik karena mengikuti kontur alam pegunungan.

Menginap di Hotel Malya tidak akan sempurna tanpa memanjakan tubuh dan jiwa di The Spa. Tekad yang telah kami bawa sejak dari Jakarta terwujud di sini. Aku menelepon spa, memesan paket honeymoon untuk kami berdua. Tegas dan jelas. Aku tersenyum-senyum membayangkan apa yang mereka pikirkan saat aku mengatakan bahwa yang akan menikmati spa paket honeymoon adalah sepasang perempuan.



Kami disambut hangat ketika tiba di spa lima menit lebih awal. Matahari telah tenggelam seluruhnya, sehingga perjalanan kami menuju kamar spa diiringi suara jangkrik dan sinar remang-remang dari lilin yang terletak di beberapa sudut ruang perawatan. Kami ditempatkan di ruangan Melati. Paket honeymoon diawali pembersihan kaki pada baskom batu berwarna hitam. Airnya telah ditaburi kelopak-kelopak mawar merah. Terapis kami menjelaskan berbagai aromatherapy oils untuk pemijatan tubuh serta aneka scrub agar kami dapat memilih sesuai kebutuhan dan selera. Untuk aromatherapy oil, partner memilih wangi cengkeh yang bermanfaat untuk menghilangkan pegal-pegal. Aku memilih lavender yang keharumannya dapat menenangkan jiwa.

Sungguh pelayanan yang profesional dan sempurna. Aku berbaring nyaman, menikmati pemijatan diiringi musik tradisional Sunda serta suara-suara alamiah yang berasal dari alam pegunungan. Seketika tubuh terasa rileks dan santai. Pemijatan berlangsung selama satu jam. Setelah itu, saatnya untuk scrub. Partner memilih wangi kopi dan aku memilih kombinasi jeruk dengan produk skin refining. Scrub adalah proses penggosokan kulit agar kulit mati dapat segera terkelupas, digantikan dengan kulit baru yang lebih jernih dan lembut.

Scrub ini memakan waktu selama sekitar empat puluh menit. Setelah selesai, terapis kami mengundang kami untuk berendam di bak bulat terbuat dari bebatuan alam. Pemandangannya dibatasi oleh kaca besar yang terbuka, menghadap ke pegunungan. Di sekelilingi bak diletakkan beberapa gelas lilin kecil yang pantulan sinarnya memberikan efek glowing. Air di bak terasa hangat di kulit, berbusa lembut, wangi, dan dipenuhi dengan kelopak-kelopak mawar. Kami duduk menikmati malam sambil berendam. Sungguh memanjakan. Sangat melenakan. Kami tidak mengenakan apa pun di tubuh, kecuali celana dalam kertas yang diberikan oleh terapis saat kami memulai program spa. Terapis kami menyediakan dua minuman hangat, yaitu teh jahe untuk partner dan teh kayu manis untukku.

Kami sungguh-sungguh mendapatkan pelayanan spa honeymoon yang luar biasa di Hotel Malya. Pelayanan spa tidak hanya membuat kulit kami bersinar dan lembut, tapi juga sungguh-sungguh menghilangkan stres, menyegarkan pikiran, memanjakan jiwa, serta membangkitkan seluruh indra tubuh. Waktu yang kami habiskan di Hotel Malya dan The Spa sangat istimewa. Satu malam yang memberikan kesempatan bagi aku dan partner untuk saling menikmati kebersamaan kami.

Bagi pasangan lesbian yang ingin menikmati spa dan kenyamanan pelayanan, aku sangat merekomendasikan Hotel Malya, Bandung. Jangan ragu untuk memesan paket spa honeymoon. Para terapis sangat ramah dan menghargai semua keputusanmu. Kami sungguh-sungguh puas dengan pelayanan mereka.

@Lakhsmi, SepociKopi, 2007


Foto dari www.malyabandung.com

Café del Mar

Oleh: Cassey



Kalo Anda penggemar musik chillout seperti Buddha-Bar dan Café del Mar, Anda harus mencoba Café del Mar di Pulau Sentosa, Singapura. Aku tidak mengunjungi pulau ini sejak 10 tahun lalu karena atraksi yang ditampilkan tidak banyak berubah. Tetapi, seperti kita ketahui Singapura terus berbenah diri karena kapasitas wilayah yang sangat minim, dan mereka sadar pentingnya memperbaharui potensi yang ada menjadi lebih baik dan menarik. Alhasil, wajah Pulau Sentosa benar-benar berubah seperti yang aku lihat minggu lalu. Salah satunya adalah dengan keberadaan café ini.

Dengan segala macam fasilitas transportasi yang nyaman mulai dari bus, MRT, kereta gantung, sampai mobil pribadi, dan taksi, pulau ini sangat mudah dikunjungi. Apabila Anda tidak ingin bersusah payah dengan kendaraan umum, naiklah taxi yang hanya bertarif sekitar 10 dolar dan tiket masuk 2 dolar per orang.

Kembali ke Café del Mar di Pantai Siloso, Anda dapat menikmati suasana pantai yang meriah dan santai dengan berbagai pilihan makanan ala fine dining. Apabila anda gemar berendam sambil menikmati suasana senja, ada kolam renang yang diperuntukkan untuk tamu dengan kamar ganti. Sambil berenang Anda bisa menikmati minuman dingin dari pool bar. Tempat dining disediakan di dalam ruang ber-AC dan di depan kolam renang bertenda putih. Tentunya tidak ada yang ingin kehilangan sunset dan wanita-wanita seksi berbalut bikini yang berseliweran dengan memilih ruangan ber-AC, kan?


Setelah memanjakan perut, aku sarankan untuk pindah ke sofa-sofa plastik di tempat terbuka, atau di pondok-pondok romantis yang berada di sekeliling kolam renang. Berbincang-bincang dengan teman bisnis, keluarga atau kekasih sambil menikmati minuman dingin ditambah angin pantai bisa membuat kita terlena. Musik chillout ala Café del Mar diputar nonstop oleh DJ yang menempati lantai atas pool bar dengan lighting yang lembut membuat suasana malam tidak terlupakan.

Suasana meriah dan menyenangkan pada saat aku berkunjung ke sana hari Minggu malam. Seorang gadis Asia berambut panjang lurus dengan gaun selutut dan bahu terbuka asyik bergoyang-goyang sendiri diiringi musik tanpa peduli gerimis. Entah ingin menarik perhatian orang, terlalu banyak minum atau sedang menikmati waktunya. Akhirnya setelah yakin dia tidak teler aku berkesimpulan, inilah dia wanita yang tahu menikmati hidupnya. Dia berdansa tanpa memedulikan cuaca maupun tatapan orang karena dia tahu sumber kegembiraan berasal dari dalam dirinya. Seketika aku mengagumi kegembiraan yang juga dia tularkan kepadaku.

Sebelum Anda berkunjung ke sana , aku sarankan untuk memesan tempat terlebih dahulu. Café yang buka setiap hari mulai hari Senin – Kamis dari jam 11 siang sampai jam 1 subuh, dan 24 jam pada akhir Minggu dan hari libur selalu dipadati pengunjung. Belum lagi pesta-pesta pribadi. Dan apabila Anda sudah puas menikmati semangkuk salad dan Marisco Paella ditambah bergelas-gelas frozen Margarita, mata yang mengantuk tentu tidak bisa diajak berdiri lama-lama di tempat antrean taksi. Aku sarankan anda menelepon taksi lokal agar dapat segera dijemput. Meskipun ada tambahan biaya beberapa dolar, waktu yang berharga sebaiknya dapat digunakan untuk beristirahat. Jangan mengandalkan taksi mewah yang ada di sana. Bisa-bisa tarifnya yang "mewah" merusak suasana hati Anda.

Mengunjungi café ini membuat aku membandingkan café pantai Kudeta di Bali. Harus kuakui Kudeta mempunyai kelebihan dan juga kekurangan yang tidak bisa kita diabaikan. Namun, dua-duanya menjanjikan pengalaman berkesan pada saat bepergian. Pengalaman inilah yang membuat kita menghargai setiap karya alam dan memeliharanya.

Zai Jian Café de Mar.

Catatan Cassey Minggu malam 22 Juli 2007.
@Cassey, SepociKopi, 2007
photo from internet

Streets of Melbourne

Oleh: Jaqoui


all photos by Jaqoui

Pertama kali aku datang ke Melbourne sebagai turis, terpukau melihat kondisi kotanya serta jalan-jalannya yang berbeda dengan di Jakarta. Wow, aku lihat perempatan di city pada hari kerja, orang-orang berbaju penguin alias suit berwarna gelap yang berbaris menunggu lampu hijau (hihi, aku menyebutnya the green man). Waktu lampu hijau menyala, mereka berbondong-bondong menyeberangi jalan. Nggak nyangka juga beberapa tahun kemudian aku jadi bagian dari the green man ini.

Mungkin kalau dilihat dari atas, mereka tampak seperti semut yang keluar dari sarang utamanya---di sini sarangnya berarti stasiun kereta---lalu menyebar ke berbagai arah, dan ngumpul sebentar di perempatan, kemudian semut-semut itu masuk ke sarang-sarang kecil alias kantor-kantor mereka. Pada jam makan siang semut-semut keluar lagi, mencari makan, lalu sorenya menyerbu sarang utama untuk pulang. Transportasi publik jadi pilihan utama di sini karena harga parkir yang selangit. Itulah setiap hari yang terjadi di kota ini. Dua tahun setelah jadi turis, aku pun kembali ke Melbourne dan tinggal menjadi semut di kota yang dianggap sebagai 2nd most livable city in the world setelah Vancouver.

Hm, beberapa kali aku ditanya, “Kenapa aku memutuskan untuk tinggal di sini? Apakah karena aku “kabur” ke kota ini karena kelesbiananku?” Alasan utama adalah aku merasa mentok di Jakarta, karierku kok rasanya jalan di tempat. Karena aku sudah mutusin tidak akan menikah (dengan laki-laki) dan kepingin pensiun dengan nyaman nanti, kupikir mulai sekarang aku harus punya tabungan sebanyak-banyaknya (mumpung masih kuat). Sebagai orang yang menyukai tantangan, akhirnya dengan modal yang lebih karena modal nekat, sendirian aku memulai hidup jadi mahasiswa (lagi) di Melbourne, meninggalkan kerabat dan teman-teman di Indonesia.

Dua tahun pertama kerja sambil kuliah benar-benar menguras energi otak dan fisik. Berbagai pekerjaan di bidang hospitality mulai dari jadi waitress di food court hingga membersihkan toilet dan segala yang “nyangkut” di sana sudah kulakukan. Duh, jangan tanya deh aku nemu apa aja di sana... Hingga akhirnya aku kembali ke habitat asal sebagai pekerja kantoran, sebagaimana yang sudah kutekuni selama bertahun-tahun di Jakarta.

photo by Jaqoui

Hidup sehari-hari di Melbourne berarti harus siap dengan temperatur udara yang semau-maunya. Saat terparah, bisa sampai 45 derajat Celsius dan dalam tempo beberapa jam turun drastis bahkan mencapai 25 derajat Celsius diiringi angin kencang yang bisa membuat orang jadi layangan. Kasihan orang-orang yang masih di luar dengan baju mini tiba-tiba disambar angin, hujan dan dingin. Apalagi sekarang (bulan Juli) saat musim dingin menggigit yang bikin menggigil.

Jalan-jalan di kota ini menyenangkan, dibuat cukup lebar untuk pejalan kaki. Tidak banyak mal seperti di Jakarta, dan toko-toko tutup jam enam sore, kecuali Kamis dan Jumat yang tutup jam sembilan sementara Sabtu dan Minggu tutup jam lima sore. Aku suka sekali berjalan-jalan di deretan toko di sepanjang jalan, apalagi dengan deretan kafe di gang-gang di antara gedung-gedung. Bagus banget buat difoto.

Mungkin melihat orang-orang (bule) di sini yang kerap memakai suit, memberikan kesan angkuh, tapi kenyataannya tidak. Sopan santun dan kepedulian mereka cukup tinggi. Ladies first, sorry, excuse me, thank you adalah kata-kata yang lazim dalam kehidupan sehari-hari. Cobalah tersenyum pada orang yang duduk di hadapanmu di kereta, hampir semuanya akan balas tersenyum. Dan orang-orang memberi jalan pada orang lain yang terburu-buru. Nggak seperti kota asalku, Jakarta, di mana orang-orangnya hobi nyerobot dan malas antre :).

Kota Melbourne dan orang-orangnya menyenangkan. Tapi tetap saja ada yang kurang. Kehidupan sosial yang berbeda membuatku kehilangan rasa guyub yang erat sebagaimana persahabatan dengan teman-teman di Indonesia. Sebelum tinggal di sana temanku pernah bilang, “lo mesti punya pacar, kalo mau tinggal di sini.” Dan sekarang aku ngerti betul kata-kata itu. Segala keindahan dan kebaikan kota ini jadi tak ada artinya jika tidak ada orang yang bisa diajak berbagi. Well, maybe someday she will come and share these beautiful moments in this beautiful city.

@Jaqoui, SepociKopi, 2007

Tentang Jaqoui: Gemar keliling kota tanpa tujuan. Nongkrong di pinggir sungai menikmati kopi hangat sambil melihat orang-orang lewat, apalagi jika bisa bareng hang out bersama teman-teman dekat dan ngobrol ngalor-ngidul yang ngocol. Suka pula menikmati bulan purnama saat malam berbintang yang cerah.

abcs