Café del Mar

Oleh: Cassey



Kalo Anda penggemar musik chillout seperti Buddha-Bar dan Café del Mar, Anda harus mencoba Café del Mar di Pulau Sentosa, Singapura. Aku tidak mengunjungi pulau ini sejak 10 tahun lalu karena atraksi yang ditampilkan tidak banyak berubah. Tetapi, seperti kita ketahui Singapura terus berbenah diri karena kapasitas wilayah yang sangat minim, dan mereka sadar pentingnya memperbaharui potensi yang ada menjadi lebih baik dan menarik. Alhasil, wajah Pulau Sentosa benar-benar berubah seperti yang aku lihat minggu lalu. Salah satunya adalah dengan keberadaan café ini.

Dengan segala macam fasilitas transportasi yang nyaman mulai dari bus, MRT, kereta gantung, sampai mobil pribadi, dan taksi, pulau ini sangat mudah dikunjungi. Apabila Anda tidak ingin bersusah payah dengan kendaraan umum, naiklah taxi yang hanya bertarif sekitar 10 dolar dan tiket masuk 2 dolar per orang.

Kembali ke Café del Mar di Pantai Siloso, Anda dapat menikmati suasana pantai yang meriah dan santai dengan berbagai pilihan makanan ala fine dining. Apabila anda gemar berendam sambil menikmati suasana senja, ada kolam renang yang diperuntukkan untuk tamu dengan kamar ganti. Sambil berenang Anda bisa menikmati minuman dingin dari pool bar. Tempat dining disediakan di dalam ruang ber-AC dan di depan kolam renang bertenda putih. Tentunya tidak ada yang ingin kehilangan sunset dan wanita-wanita seksi berbalut bikini yang berseliweran dengan memilih ruangan ber-AC, kan?


Setelah memanjakan perut, aku sarankan untuk pindah ke sofa-sofa plastik di tempat terbuka, atau di pondok-pondok romantis yang berada di sekeliling kolam renang. Berbincang-bincang dengan teman bisnis, keluarga atau kekasih sambil menikmati minuman dingin ditambah angin pantai bisa membuat kita terlena. Musik chillout ala Café del Mar diputar nonstop oleh DJ yang menempati lantai atas pool bar dengan lighting yang lembut membuat suasana malam tidak terlupakan.

Suasana meriah dan menyenangkan pada saat aku berkunjung ke sana hari Minggu malam. Seorang gadis Asia berambut panjang lurus dengan gaun selutut dan bahu terbuka asyik bergoyang-goyang sendiri diiringi musik tanpa peduli gerimis. Entah ingin menarik perhatian orang, terlalu banyak minum atau sedang menikmati waktunya. Akhirnya setelah yakin dia tidak teler aku berkesimpulan, inilah dia wanita yang tahu menikmati hidupnya. Dia berdansa tanpa memedulikan cuaca maupun tatapan orang karena dia tahu sumber kegembiraan berasal dari dalam dirinya. Seketika aku mengagumi kegembiraan yang juga dia tularkan kepadaku.

Sebelum Anda berkunjung ke sana , aku sarankan untuk memesan tempat terlebih dahulu. Café yang buka setiap hari mulai hari Senin – Kamis dari jam 11 siang sampai jam 1 subuh, dan 24 jam pada akhir Minggu dan hari libur selalu dipadati pengunjung. Belum lagi pesta-pesta pribadi. Dan apabila Anda sudah puas menikmati semangkuk salad dan Marisco Paella ditambah bergelas-gelas frozen Margarita, mata yang mengantuk tentu tidak bisa diajak berdiri lama-lama di tempat antrean taksi. Aku sarankan anda menelepon taksi lokal agar dapat segera dijemput. Meskipun ada tambahan biaya beberapa dolar, waktu yang berharga sebaiknya dapat digunakan untuk beristirahat. Jangan mengandalkan taksi mewah yang ada di sana. Bisa-bisa tarifnya yang "mewah" merusak suasana hati Anda.

Mengunjungi café ini membuat aku membandingkan café pantai Kudeta di Bali. Harus kuakui Kudeta mempunyai kelebihan dan juga kekurangan yang tidak bisa kita diabaikan. Namun, dua-duanya menjanjikan pengalaman berkesan pada saat bepergian. Pengalaman inilah yang membuat kita menghargai setiap karya alam dan memeliharanya.

Zai Jian Café de Mar.

Catatan Cassey Minggu malam 22 Juli 2007.
@Cassey, SepociKopi, 2007
photo from internet

Streets of Melbourne

Oleh: Jaqoui


all photos by Jaqoui

Pertama kali aku datang ke Melbourne sebagai turis, terpukau melihat kondisi kotanya serta jalan-jalannya yang berbeda dengan di Jakarta. Wow, aku lihat perempatan di city pada hari kerja, orang-orang berbaju penguin alias suit berwarna gelap yang berbaris menunggu lampu hijau (hihi, aku menyebutnya the green man). Waktu lampu hijau menyala, mereka berbondong-bondong menyeberangi jalan. Nggak nyangka juga beberapa tahun kemudian aku jadi bagian dari the green man ini.

Mungkin kalau dilihat dari atas, mereka tampak seperti semut yang keluar dari sarang utamanya---di sini sarangnya berarti stasiun kereta---lalu menyebar ke berbagai arah, dan ngumpul sebentar di perempatan, kemudian semut-semut itu masuk ke sarang-sarang kecil alias kantor-kantor mereka. Pada jam makan siang semut-semut keluar lagi, mencari makan, lalu sorenya menyerbu sarang utama untuk pulang. Transportasi publik jadi pilihan utama di sini karena harga parkir yang selangit. Itulah setiap hari yang terjadi di kota ini. Dua tahun setelah jadi turis, aku pun kembali ke Melbourne dan tinggal menjadi semut di kota yang dianggap sebagai 2nd most livable city in the world setelah Vancouver.

Hm, beberapa kali aku ditanya, “Kenapa aku memutuskan untuk tinggal di sini? Apakah karena aku “kabur” ke kota ini karena kelesbiananku?” Alasan utama adalah aku merasa mentok di Jakarta, karierku kok rasanya jalan di tempat. Karena aku sudah mutusin tidak akan menikah (dengan laki-laki) dan kepingin pensiun dengan nyaman nanti, kupikir mulai sekarang aku harus punya tabungan sebanyak-banyaknya (mumpung masih kuat). Sebagai orang yang menyukai tantangan, akhirnya dengan modal yang lebih karena modal nekat, sendirian aku memulai hidup jadi mahasiswa (lagi) di Melbourne, meninggalkan kerabat dan teman-teman di Indonesia.

Dua tahun pertama kerja sambil kuliah benar-benar menguras energi otak dan fisik. Berbagai pekerjaan di bidang hospitality mulai dari jadi waitress di food court hingga membersihkan toilet dan segala yang “nyangkut” di sana sudah kulakukan. Duh, jangan tanya deh aku nemu apa aja di sana... Hingga akhirnya aku kembali ke habitat asal sebagai pekerja kantoran, sebagaimana yang sudah kutekuni selama bertahun-tahun di Jakarta.

photo by Jaqoui

Hidup sehari-hari di Melbourne berarti harus siap dengan temperatur udara yang semau-maunya. Saat terparah, bisa sampai 45 derajat Celsius dan dalam tempo beberapa jam turun drastis bahkan mencapai 25 derajat Celsius diiringi angin kencang yang bisa membuat orang jadi layangan. Kasihan orang-orang yang masih di luar dengan baju mini tiba-tiba disambar angin, hujan dan dingin. Apalagi sekarang (bulan Juli) saat musim dingin menggigit yang bikin menggigil.

Jalan-jalan di kota ini menyenangkan, dibuat cukup lebar untuk pejalan kaki. Tidak banyak mal seperti di Jakarta, dan toko-toko tutup jam enam sore, kecuali Kamis dan Jumat yang tutup jam sembilan sementara Sabtu dan Minggu tutup jam lima sore. Aku suka sekali berjalan-jalan di deretan toko di sepanjang jalan, apalagi dengan deretan kafe di gang-gang di antara gedung-gedung. Bagus banget buat difoto.

Mungkin melihat orang-orang (bule) di sini yang kerap memakai suit, memberikan kesan angkuh, tapi kenyataannya tidak. Sopan santun dan kepedulian mereka cukup tinggi. Ladies first, sorry, excuse me, thank you adalah kata-kata yang lazim dalam kehidupan sehari-hari. Cobalah tersenyum pada orang yang duduk di hadapanmu di kereta, hampir semuanya akan balas tersenyum. Dan orang-orang memberi jalan pada orang lain yang terburu-buru. Nggak seperti kota asalku, Jakarta, di mana orang-orangnya hobi nyerobot dan malas antre :).

Kota Melbourne dan orang-orangnya menyenangkan. Tapi tetap saja ada yang kurang. Kehidupan sosial yang berbeda membuatku kehilangan rasa guyub yang erat sebagaimana persahabatan dengan teman-teman di Indonesia. Sebelum tinggal di sana temanku pernah bilang, “lo mesti punya pacar, kalo mau tinggal di sini.” Dan sekarang aku ngerti betul kata-kata itu. Segala keindahan dan kebaikan kota ini jadi tak ada artinya jika tidak ada orang yang bisa diajak berbagi. Well, maybe someday she will come and share these beautiful moments in this beautiful city.

@Jaqoui, SepociKopi, 2007

Tentang Jaqoui: Gemar keliling kota tanpa tujuan. Nongkrong di pinggir sungai menikmati kopi hangat sambil melihat orang-orang lewat, apalagi jika bisa bareng hang out bersama teman-teman dekat dan ngobrol ngalor-ngidul yang ngocol. Suka pula menikmati bulan purnama saat malam berbintang yang cerah.

abcs