Teman Baru di Tengah London

Oleh: Mae

"Mind the gap, mind the gap!" berulang-ulang suara berisik itu berkumandang di seantero stasiun tube. Iya, iya, ini sudah mind the gap, cerewet, kataku dalam hati sambil meloncati peron. Jantungku berdetak lebih keras, pastinya bukan karena menaiki anak tangga stasiun. Embusan angin bulan Februari membuat orang merapatkan mantel mereka, namun tubuhku malah berkeringat.

Ini pertama kalinya dalam hidupku aku datang ke perkumpulan lesbian, maklum pekerjaanku yang public-oriented membuatku sangat takut ketahuan soal yang satu ini. Lalu kenapa aku memutuskan untuk berani unjuk tampang di social group ini? Karena aku bukan di Jakarta, kecil kemungkinan bertemu orang yang mengenaliku. Di sini, aku hanya international student.

Sesampainya di luar stasiun, kubiarkan mataku berkelana meresapi suasana hiruk-pikuk tengah kota London nan angkuh, dengan manusia-manusia yang tampak selalu sibuk. Berbekal peta London A-Z pinjaman dari teman, aku mulai berjalan mencari lokasi coffee shop tempat pertemuan. Mataku dengan cepat berpindah-pindah dari peta di tanganku ke deretan bangunan-bangunan tua khas Inggris yang cantik, sambil memastikan langkah kakiku tidak menumbuk para Londoner ini. Dalam waktu lima menit dan dua belokan, papan nama coffee shop itu sudah terpampang tepat berada di seberangku.

Buru-buru aku menyeberangi jalan dan berhenti tepat di samping pintu pintu coffee shop itu, sebelum melangkah masuk. Kuatur napasku, kukeringkan keringatku. Duh astaga, kenapa jadi deg-degan sih? Aku pun berusaha menenangkan diri.

Di Jakarta, aku tidak punya banyak teman lesbian. Mereka yang aku kenal hanyalah kekasihku, mantanku, dan mantannya kekasihku. Yah hanya mereka. Sejujurnya aku ingin seperti di serial The L Word, sering duduk bersama teman-teman yang juga mencintai perempuan, saling berbagi cerita dan saling setia mendengarkan. Namun rasa takut selalu menginjak lumat keinginanku itu.

Rasa canggung dan ragu memberati langkahku untuk langsung masuk ke coffee shop. Aku mengambil HP dari dalam tas, menekan nomor si koordinator perkumpulan yang via e-mailnya telah mempersilakan aku bergabung dalam social meet-up bulanan mereka ini. Duh, tidak diangkat. Mungkin mereka sedang asyik mengobrol sehingga tidak sadar HP-nya berbunyi.

Selintas muncul keinginanku untuk berbalik dan pulang tanpa menemui mereka. Namun pikiran tersebut kumentahkan, mengingat jarak yang telah kutempuh dan penantiaan berhari-hari untuk bertemu sekelompok calon teman baru yang kudapatkan via google search ini.

Kueratkan simpul syal yang melilit leherku. Kutarik napas panjang, dan sekali lagi kutarik dalam-dalam. Siapkah aku? Sekarangkah saatnya? Dalam hati aku menguatkan diriku sendiri; kalau aku tidak nyaman, aku akan membuat alasan untuk meninggalkan tempat pertemuan lebih cepat. Aku bisa menghilang kapan pun aku mau, mereka tidak tahu siapa aku. Oke? Oke!


Dengan langkah yang sedikit lebih ringan, kubuka pintu coffee shop itu, kusapukan pandanganku pada semua tamu yang ada. Tidak sulit menemukan mereka, sekitar 10 wanita berwarna duduk di pojok sambil mengobrol seru. Perlahan kuhampiri dan kusapa mereka mereka, "Hello." Belum sempat kutanyakan apakah mereka benar adalah kelompok yang aku maksud, seorang dari mereka dengan senyum penuh kehangatan bertanya, "Are you Mae?"

Yep, aku berada di gerombolan yang benar. Rupanya dialah Sang Koordinator. Aku pun duduk di salah satu tempat yang masih tersedia, dan gelombang rasa hangat segera menyisipi tubuhku. Bukan hanya karena sesapan secangkir teh susu hangat ala orang Inggris ini, tapi juga karena keramahan mereka pada "orang baru" seperti aku ini.

Dengan cepat obrolan berputar, dimulai dari menyebalkannya cuaca London kemudian menggelinding ke berbagai hal, obrolan ringan dan "berat" silih berganti. Mulai dari pengalaman dikejar anjing, hingga isu feminis seantero dunia. Mulai dari pengalaman kecopetan HP, hingga kebijakan Tony Blair (saat itu). Belasan wanita mencair dalam satu obrolan, melumerkan sekat kewarganegaraan, warna kulit dan usia. Kadang tawa menggema ke seluruh penjuru coffee shop yang mungil itu, kadang kening berkenyit menandakan keprihatinan pada suatu isu. Lupa sudah aku akan keraguan dan kecanggungan yang sebelumnya membebaniku.

Tak terasa, siang melesat menghampiri sore sudah. Satu per satu teman-teman baruku ini pamit meninggalkan coffee shop, sambil menyatakan harapannya akan kehadiranku lagi pada pertemuan di bulan mendatang. Keramaian tadi kini hanya menyisakan aku dan Sang Koordinator. Obrolan pun terus berlanjut, namun kini bergeser menjadi obrolan yang lebih pribadi.

Dia menanyakan apakah aku baik-baik saja, rupanya dia peduli dengan isi e-mailku yang mungkin tanpa sengaja mengesankan betapa aku merasa sangat kesepian. Memang aku merasa sangat kesepian. Sendiri di negeri asing yang berjarak 18-jam-penerbangan, omelan keluarga tersayang dan kecerewetan kekasih tercinta menjadi suatu kemewahan yang kukangeni.

Pada teman satu kampus dan flat aku bisa mengadukan rasa rinduku terhadap keluarga, karena kutahu mereka pun merasakan hal yang sama. Namun siapa yang dapat mengerti kerinduan pada kekasihku, yang telah bertahun-tahun menggandeng tanganku menaiki bukit dan menuruni lembah kehidupan di bawah jubah invisible-nya Harry Potter?

Rupanya Sang Koordinator sudah beristri. Yah istri, bukan "istri". Istri tanpa tanda petik. Hukum civil partnership di Inggris melegalkan pasangan resmi gay dan lesbian untuk memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti pasangan hetero yang menikah. Jadi pasangan menikah tidak saja suami-istri, tapi juga istri-istri atau suami-suami.

Pikiranku melesat pada kekasihku, kapan kami bisa saling memanggil "Istriku tercinta"? Maukah kau tinggal di sini bersamaku, membangun mimpi kita berdua? Sepadankah kita meninggalkan keluarga dan teman kita di Tanah Air, untuk kebahagiaan kita sendiri di negeri orang? Entah berapa lama pikiranku terbang melayang, sebelum akhirnya dentingan sendok beradu dengan mulut cangkir membawaku kembali menginjak bumi.

Untuk menutupi lamunanku barusan, aku segera bertanya bagaimana dan mengapa kelompok ini ada. Sang Koordinator dengan semangat berceloteh menjelaskan. Rupanya kelompok ini sudah beberapa tahun berdiri, dan bukan saja merupakan social group, tapi juga political group. Kelompok ini memiliki misi selain ingin mendorong pemerintah Inggris untuk membuat kebijakan yang lebih baik bagi kesejahteraan lesbian, juga misi yang lebih penting adalah visibilitas lesbian yang relijius dan tidak promiskus.

Penjelasan terakhir inilah yang memang membuatku tertarik untuk bergabung dan "nekat" menghampiri mereka. Hasil browsing di internet kutemukan banyak sekali perkumpulan gay dan lesbian, namun semuanya so british: melulu clubbing dan alkohol. Senang rasanya akhirnya bisa menemukan kelompok yang punya gaya hidup sama dan memiliki visi yang jelas.

Sebelum kami berpisah, Sang Koordinator seperti memastikan, "See you next month?"
Sambil memakai sarung tanganku dan tersenyum, aku menjawab yakin, "Definitely!"

@Mae, Sepoci Kopi, Juli 2007
crossposting from http://sepocikopi.blogpsot.com

photo by Mae

Tentang Mae: Sedang belajar untuk lebih banyak bersyukur dan tersenyum. Baru menemukan bakat terpendamnya dalam bidang memasak. Suka berkeliling kota dengan mengayuh sepedanya. Penikmat bulan purnama, terutama bila bersama kekasih.

Spa Ala Keraton Yogya

Oleh: Ade Rain


Ngiler spa setelah baca perjalanan honeymoon seorang teman aku jadi teringat suasana spa di Yogyakarta. Hotel Sheraton Mustika yang kolam renangnya meniru arsitektur taman sari keratonan Yogya itu juga punya pelayanan spa yang luar biasa eksotis dan pemijat spa yang unik.

Jika biasanya di tempat-tempat spa kita dilayani dengan berbagai spa yang beragam menu pembersihan kulit hingga bagian paling intim, di Taman Sari Royal Heritage Spa juga menjual beragam spa yang tidak jauh berbeda, mulai body peeling, javanese facial, herbal treatments, spa baths dan banyak lagi, namun yang paling berkesan yakni pelayanan sumber daya manusia pelulurnya yang sangat bernuansa kerajaan Jawa.

Layanan spa ala keraton ini mulai terasa ketika kita bertemu dengan para pemijat yang sangat profesional. Tutur kata yang sopan dan perilaku bak dalem di kerajaan sudah ditunjukkan sejak pintu masuk hingga berbaring di altar spa. Setiap gerakan badan dan tubuh mereka bagai sedang melayani dewa, digerakkan dengan sangat lembut, sangat halus, sangat hati-hati dan penuh kosentrasi. Betapa sulit ketika mencoba menebak apa yang sedang mereka lakukan saat tidak menyentuh badan kita, tidak terdengar suara langkah, apalagi jejak suara saat memindahkan atau mengambil sesuatu barang, semua dilakukan dengan sangat anggun. Benar-benar pelayanan spa ala keraton Jawa yang sungguh eksotis.



Pada saat menyentuh kulit, pemijat spa biasanya akan memulai dengan sentuhan yang sangat-sangat lembut di kaki, kemudian mulai naik ke atas dengan tenaga yang sedikit demi sedikit bertambah, meski dengan tenaga pijatan yang lebih terasa di badan, mereka akan menjaga konsistansi memegang badan kita dengan sangat-sangat lembut, dan pada saat mengangkat kaki ataupun meletakkan kaki kita kembali berbaring di tempat spa mereka lakukan dengan perlahan-lahan seakan-akan takut kupu-kupu yang sedang hinggap dikulit kita terbang akibat kibasan angin.

Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut pemijat kecuali jika kita minta pijatannya diperlama di bagian tertentu, mereka melakukannya dengan amat hati-hati dan pelayanan yang mendekati sempurna. Sementara itu musik gending jawa yang lembut dan syahdu menjadi soundtrack adegan tidur-tidur ayam kita ketika merasakan kenikmatan setiap baluran. Saat keluar dari sana dengan tubuh segar dan harum, nuansa menjadi seorang ratu atau putri raja bisa terasa hingga berhari-hari. Treatment spa yang layak untuk dinikmati.

Jangan lupa setelah kembali ke kamar hotel (tentunya harus minta Mount Merapi View), geser semua gorden ke pinggir jendela, bercinta dengan kekasih dengan tubuh bersih cemerlang sambil melihat kemegahan Gunung Merapi yang sedang kalem dan agung rasanya sangat luar biasa syahdu... di sanalah tempat terbaik membuat anak dengan 'cara' yang istimewa.

@Ade Rain, SepociKopi, 2007
photo from: http://www.starwoodhotels.com/

Honeymoon di Hotel Malya, Bandung

Oleh: Lakhsmi
Setelah bertahun-tahun bertanya-tanya apa yang terjadi jika sepasang perempuan memesan paket liburan yang diberi judul honeymoon, akhirnya kami bertekat untuk benar-benar melakukannya. Melalui persiapan yang matang (permintaan cuti dan pengaturan urusan sekolah anak-anak) serta ingin melarikan diri dari ketegangan pekerjaan, bulan ini kami memutuskan untuk berlibur di Bandung. Kami memilih Hotel Malya, hotel yang terletak di lereng pegunungan indah.

Waktu aku mengumumkan rencana kami kepada sahabatku, Bella, dia berkata, “Wah, asyik sekali. Hotel Malya sangat romantis lho. Cucok deh buat kalian berdua!” Aku mesem-mesem menanggapi reaksi riuh sahabatku. Kalau Bella sangat bersemangat membayangkan aku akan pergi berdua ke hotel yang konon merupakan sarang bagi pasangan penganti baru, kami sendiri agak gugup membayangkan apa sambutan staff hotel jika melihat yang datang adalah sepasang perempuan.

Di depan petugas front office, partner menyenggol lenganku untuk mengingatkan agar aku meyakinkan petugas untuk menyiapkan kamar kami dengan ranjang besar ukuran king. Daripada menyesal nanti, mending membuka mulut sekarang.

“Errr...,” kataku sambil berdeham keras. “Tolong, Mbak, satu ranjang ukuran king.”

Petugas front office mengangguk ramah. “Ya, sudah disiapkan,” katanya.

Aku dan partner saling melirik. Ini bukan pertama kalinya kami pergi berlibur berdua di hotel mewah, tetapi tetap saja aku selalu merasa seluruh dunia sedang mengamati kami saat mulutku mengajukan kebutuhan akan kamar yang memiliki satu ranjang untuk berdua.

Kamar kami adalah kamar deluxe, memiliki balkon menghadap pegunungan dan hutan. Saat pintu balkon terbuka, aku terpaku menatap pemandangan yang spektakuler. Cuaca bersahabat dan udara sejuk. Dari tempatku berdiri, aku dapat melihat kolam renang berwarna biru jernih yang “tergantung” di atas kaki gunung. Waktu seakan-akan berhenti di sini; aku dan partner bermalas-malasan di kamar. Setiap kamar didesain sempurna, lantai kayu serta tembok berwarna pastel. Tidak heran hotel ini sangat direkomendasikan untuk pengantin baru atau siapapun yang menginginkan kenyamanan agar dapat saling memusatkan perhatian hanya kepada pasangannya.

Hotel Malya terletak pinggir jurang pegunungan. Uniknya, surga tempat melarikan diri dari kesibukan pekerjaan ini tidak menjulang ke atas, melainkan “turun” ke bawah. Seluruh kamarnya berada di bawah lobi, sehingga kalau aku mendongak dari balkon kamar, aku dapat melihat restoran yang berada dua lantai di atasku. Arsitektur yang menarik karena mengikuti kontur alam pegunungan.

Menginap di Hotel Malya tidak akan sempurna tanpa memanjakan tubuh dan jiwa di The Spa. Tekad yang telah kami bawa sejak dari Jakarta terwujud di sini. Aku menelepon spa, memesan paket honeymoon untuk kami berdua. Tegas dan jelas. Aku tersenyum-senyum membayangkan apa yang mereka pikirkan saat aku mengatakan bahwa yang akan menikmati spa paket honeymoon adalah sepasang perempuan.



Kami disambut hangat ketika tiba di spa lima menit lebih awal. Matahari telah tenggelam seluruhnya, sehingga perjalanan kami menuju kamar spa diiringi suara jangkrik dan sinar remang-remang dari lilin yang terletak di beberapa sudut ruang perawatan. Kami ditempatkan di ruangan Melati. Paket honeymoon diawali pembersihan kaki pada baskom batu berwarna hitam. Airnya telah ditaburi kelopak-kelopak mawar merah. Terapis kami menjelaskan berbagai aromatherapy oils untuk pemijatan tubuh serta aneka scrub agar kami dapat memilih sesuai kebutuhan dan selera. Untuk aromatherapy oil, partner memilih wangi cengkeh yang bermanfaat untuk menghilangkan pegal-pegal. Aku memilih lavender yang keharumannya dapat menenangkan jiwa.

Sungguh pelayanan yang profesional dan sempurna. Aku berbaring nyaman, menikmati pemijatan diiringi musik tradisional Sunda serta suara-suara alamiah yang berasal dari alam pegunungan. Seketika tubuh terasa rileks dan santai. Pemijatan berlangsung selama satu jam. Setelah itu, saatnya untuk scrub. Partner memilih wangi kopi dan aku memilih kombinasi jeruk dengan produk skin refining. Scrub adalah proses penggosokan kulit agar kulit mati dapat segera terkelupas, digantikan dengan kulit baru yang lebih jernih dan lembut.

Scrub ini memakan waktu selama sekitar empat puluh menit. Setelah selesai, terapis kami mengundang kami untuk berendam di bak bulat terbuat dari bebatuan alam. Pemandangannya dibatasi oleh kaca besar yang terbuka, menghadap ke pegunungan. Di sekelilingi bak diletakkan beberapa gelas lilin kecil yang pantulan sinarnya memberikan efek glowing. Air di bak terasa hangat di kulit, berbusa lembut, wangi, dan dipenuhi dengan kelopak-kelopak mawar. Kami duduk menikmati malam sambil berendam. Sungguh memanjakan. Sangat melenakan. Kami tidak mengenakan apa pun di tubuh, kecuali celana dalam kertas yang diberikan oleh terapis saat kami memulai program spa. Terapis kami menyediakan dua minuman hangat, yaitu teh jahe untuk partner dan teh kayu manis untukku.

Kami sungguh-sungguh mendapatkan pelayanan spa honeymoon yang luar biasa di Hotel Malya. Pelayanan spa tidak hanya membuat kulit kami bersinar dan lembut, tapi juga sungguh-sungguh menghilangkan stres, menyegarkan pikiran, memanjakan jiwa, serta membangkitkan seluruh indra tubuh. Waktu yang kami habiskan di Hotel Malya dan The Spa sangat istimewa. Satu malam yang memberikan kesempatan bagi aku dan partner untuk saling menikmati kebersamaan kami.

Bagi pasangan lesbian yang ingin menikmati spa dan kenyamanan pelayanan, aku sangat merekomendasikan Hotel Malya, Bandung. Jangan ragu untuk memesan paket spa honeymoon. Para terapis sangat ramah dan menghargai semua keputusanmu. Kami sungguh-sungguh puas dengan pelayanan mereka.

@Lakhsmi, SepociKopi, 2007


Foto dari www.malyabandung.com
abcs