Balikpapan, City of Oil

Oleh: Sagita Rius


Pantai Lamaru photo oleh Sagita


"Sag, jadi nggak ngajak aku makan undang bakar? Besok aku free nih. Lusa aku kembali ke Jakarta". Ini SMS dari salah satu sahabat heteroku.

Eka namanya. Ia datang ke Balikpapan dengan menumpang pesawat Garuda (perjalanan dari Jakarta menempuh waktu kurang lebih satu jam 45 menit), untuk mengurus akte pendirian kantor cabang perusahaannya yang bergerak di bidang konstruksi bangunan.

"Besok aku jemput kamu jam 8, jangan sarapan dulu ya." Itu balasan SMS-ku. Jam delapan lebih sedikit aku sudah berada di lobby hotel Le Grandeur (d/h Hotel Dusit). Selain Le Grandeur ada beberapa hotel di Balikpapan dari kelas melati sampai bintang lima. Contohnya Bahtera Hotel, Novotel, Gran Senyiur, Comfort Sagita Hotel, dan lain-lain.

Aku membawa Eka sarapan soto banjar langgananku di samping kantor DPRD Balikpapan. Kami bercakap-cakap dalam bahasa Banjar (meskipun aku bukan orang Banjar, ibuku peranakan Manado/Chinese, ayahku Kutai/Tenggarong). Itu karena aku lahir, menamatkan SD, SMP dan SMA di Samarinda, sehingga bahasa Banjar dan Kutai menjadi bahasa sehari-hari. Khususnya bila bertemu dengan orang Banjar dan Kutai juga. Aku memesan semangkuk soto banjar dgn satu telur kampung dan nasi setengah, sedangkan Eka memesan soto banjar dengan ketupat.

Setelah perut kami agak panas, mulut dower kepedasan ditambah keringat yang mengucur deras, kami lanjut berkeliling kota. Jam sembilan, matahari sudah demikian menyengatnya. Di Balikpapan, apalagi musim kemarau, sengatan matahari bisa membuat ubun-ubun serasa berdenyut. Sinarnya yang kejam bisa membuat kulit seputih apa pun menjadi legam, apalagi kalau nekat nggak memakai pakaian ala ninja, khususnya pengendara motor.

Secara keseluruhan, kotaku ini berkembang amat pesat. Lalu lintasnya padat dengan kendaraan pribadi (baik dari daerah-daerah lain di Kalimantan Timur, maupun kendaraan dari luar Kalimantan Timur; ini terlihat dari pelat nomornya, paling banyak pelat B, L dan DD). Sekarang pun, sedang dibangun tiga apartemen mewah menyaingi kompleks perumahan yang ada. Dua pusat pembelanjaan lainnya juga dalam tahap penyelesaian.


Pantai Manggar, photo oleh Sagita


Secara penghidupan, Balikpapan termasuk kota dengan biaya hidup tinggi alias serba mahal. Pemkot Balikpapan lebih sibuk ngejar target pemasukkan daerah daripada membenahi pariwisatanya. Pantai Manggar dan Lamaru lebih asyik dilihat pada malam hari. Jangan dinikmati pada saat terang. Ih, sungguh malu-maluin! Padahal kalau dikelola dan dibenahi baik dan benar, Pantai Manggar dan Lamaru ini pasti tak kalah indahnya dengan Pantai Kuta.

Secara kependudukan, Balikpapan dihuni berbagai suku di tanah air dan berbagai bangsa (pekerja asing/expatriate).

Biarpun kota Balikpapan disebut sebagai kota minyak, belum tentu minyaknya gemah ripah loh jinawi. Di saat krisis minyak mendera di beberapa kota lain di Indonesia, Balikpapan pun nggak lepas dari krisis yang sama. Di segala sudut kota Balikpapan terlihat antrean panjang ibu-ibu dengan jerigen minyak tanahnya. Ini baru krisis minyak tanah, ada lagi yang lebih parah, yaitu krisis listrik (satu minggu bisa tiga kali mati antara empat jam sampai sembilan jam). Di koran lokal sudah ada jadwal pemadaman listrik selama satu bulan ke depan.

Aku mulai menelusuri Balikpapan dari arah barat yang dikelilingi pantai di sebelah kiri, lapangan Merdeka dan perumahan Pertamina di sebelah kanan. Sampai di jalan Minyak, Eka ingin berhenti sejenak untuk melihat hamparan kilang-kilang minyak. Balikpapan, lebih sebagai kota industri pertambangan, tak heran banyak perusahaan PSC (Production Sharing Contractor), pertambangan migas dan batu bara seperti Total E&P Indonesie, Chevron (d/h Unocal), Vico, Medco, KPC, Arutmin, BHP membuka operation office. Termasuk juga perusahaan support seperti Schlumberger, BHP, Billington, Thiess, HH Utama, Trakindo, dan lain-lain.

Setelah puas menghirup aroma minyak dari kilang yang terbawa angin, kami melanjutkan perjalanan ke arah pasar Kebun Sayur karena Eka mau membeli cindera mata khas Kalimantan. Pasar Kebun Sayur selain tempat berdagang kerajinan khas Kalimantan (Dayak), juga sebagai wadah bertransaksi jual beli emas dan berlian Banjar. Sepanjang jalan, Eka tertarik dan membeli beberapa kalung, gelang, anjat (tas punggung khas Dayak) dan lampit (sejenis tikar terbuat dari anyaman rotan yg amat halus). Aku bertindak sebagai tukang tawar dan tentunya mempergunakan bahasa Banjar. Karena lorong pasar yang sempit, berapa kali kami berpapasan dengan turis asing, baik yang berpakaian rapi maupun berpakaian ala kadarnya.

Tak terasa perutku berbunyi nyaring. Aku memaksa Eka untuk menyudahi nafsu belanjanya dan secepat topan badai, aku menuju ke Restoran Teluk Bayur.

Dilihat dari tempatnya sih bukan restoran mewah, cenderung ke warung tapi ehmmmm... udang bakarnya paling maknyus. Eka berkali-kali menambah nasi, sambil mengutuki aku habis-habisan karena merusak program dietnya. Menurut Eka, bila berjalan denganku serasa tante-tante yang lagi mengajak keponakannya mencari buku chicklit. Setelah makan, keadaan kami sama seperti setelah makan soto; keringatan dan kepanasan. Malah bertambah dengan bau asap bakaran yang menyelimuti kami, bahkan aroma Eternity-ku pun hilang pamornya.

Entah apakah karena kekenyangan, energi Eka untuk belanja pulih lagi. Dia minta tolong untuk sekali lagi menemani dirinya mencari makanan khas Kalimantan seperti amplang dan lempok duren (dodol duren).

Aku mampir di toko di depan pasar Kelandasan. Di sini lumayan lengkap; ada amplang ikan tenggiri atau ikan pipih. Aku pun menitip dua kotak cokelat Jack n Jills dan Appolo produk Malaysia untuk dua anak Eka. Kenyang, semua titipan handai taulan terpenuhi, aku mengantar Eka ke Le Grandeur. Sebelumnya Eka sudah wanti-wanti agar dirinya tidak diajak ke mal atau pantai (secara dia lebih menyukai pegunungan). Gantian aku mengingatkannya untuk mengawal aku untuk menghadari acara pesta ulangtahun sahabatku, Ellen nanti malam.

Jam delapan malam, kami sudah berada di restoran Dragon Palace (Hotel Blue Sky). Di restoran ini terkenal dengan masakan mejangan cabe keriting yg dimakan dengan roti mantau goreng. Lagi-lagi Eka mendelikku seakan-akan mengumpatku, "Sialan lo, Sag. Hancur nih badan gue!"

Seperti biasa, setelah makan malam, setelah cekakak cekikik, setelah pemberian kado, setelah mengumpulkan duit saweran kado, setelah cipika cipiki ala nyonya-nyonya borju, para sahabatku melanjutkan kegembiraan ke lantai dansa Colour Beat yg masih satu lokasi di Hotel Blue Sky. Pentas penuh dengan manusia, malam minggu sih. Tampak olehku beberapa lesbian muda (aku tidak kenal, hanya menandai karena kotaku kecil. Kami biasa bertemu di mana saja, kapan saja, dan tentunya, tahu sama tahu), yang asyik dengan pasangannya masing-masing.

Tempat-tempat hang out di Balikpapan termasuk lumayan banyak pilihan, seperti Colour Beat di Hotel Blue Sky, Borneo Pub di Hotel Le Grandeur, Red Square di Hotel Comfort Sagita, Connection di Bandar Balikpapan. Kurang dari jam duabelas, layaknya Cinderella, aku dan Eka kabur pulang.

Keesokkan harinya, sekitar jam sepuluh, aku menjemput Eka. Sebelum ke Bandara Sepinggan, kami mengambil pesanan kepiting asam manis Kenari. Kepiting Kenari ini dikirim langsung dalam keadaan hidup khusus dari Tarakan. Ukurannya sangat besar dan isinya penuh, nggak kosong.

Jam 12.15 pesawat Garuda yang membawa Eka meninggalkan landasan Bandara Sepinggan Balikpapan. Sepeninggal sahabat baikku ini, pelan-pelan kurasakan kembali perih yang menyayat hati saat mengenang masa kuliah---masa transisi krisisku, sebagai lesbian muda.

@Sagita Rius, SepociKopi, 2008

Tentang Sagita Rius:
Ibu dengan satu putri. Merasa wajib membaca untuk melembutkan hati dan mengoptimalkan fungsi otak. Setengah melankolis setengah sanguine. Jago berteori, sering kalah di realitas. Tidak gentar adu mulut, ciut bila adu otak. Lebih suka adu nyali dengan sopir angkot dan pengendara motor. Berupaya keras mewujudkan keinginan ananda yaitu menjadi bunda yang lebih feminim.


abcs