Ode Semangkuk Wedang Ronde di Kota Solo

Oleh: Robyn


Aku baru tahu malam di Kota Solo bisa romantis. Saat hujan, air membasuh jalan-jalan kecil yang membelah deretan rumah tua sederhana berarsitektur Eropa, seperti yang sering terlihat di kartu pos. Becak adalah raja di antara segelintir orang dan kendaraan bermotor yang berlintasan. Orang asing manapun bisa leluasa menjelajah berbagai macam pojok angkringan sepuasnya lalu, seperti aku, mengklaim bahwa kota ini adalah miliknya.

Ini adalah kali kedua aku berplesir ke kota sarat sejarah dan budaya ini. Tak seperti persinggahan sebelumnya yang ramai bersama seluruh keluarga besar, kali ini aku hanya bersama Bibiy, kekasihku. Rencana liburan kami pun tak muluk, hanya mengunjungi adikku seraya berwisata kuliner di kota yang juga pusat aneka hidangan tradisional.

Persentuhan dengan malam dan aneka angkringan berawal dari seorang tukang becak di depan Hotel Novotel tempat kami menginap. Si tukang becak, yang kemudian kami beri nama Pak Mis (komunikasi) karena sering mengantar kami ke tempat yang tak sesuai pesanan, berputar-putar tak tentu arah saat kami ingin diantar ke warung soto kwali khas kota ini di hari kedatangan kami.

Ia mengantar kami ke warung wedang dan warung nasi gudeg lesehan dekat Keraton Surakarta, sebelum akhirnya memberhentikan kami di depan warung soto Pak Broto di salah satu emperan Jalan Slamet Riyadi. Padahal Pak Broto sama sekali tidak menghidangkan soto kwali.

Aku memang control freak yang mudah kesal pada rencana yang tak terealisasi. Aku mulai mengomel ke Bibiy tentang agenda wisata kulinerku yang rusak gara-gara Pak Mis bertingkah ‘terlalu kreatif’. Belum lagi mood jadi kacau karena aku sudah telanjur kehilangan kesabaran.

“Tuh, tuh. Bibiy gak suka ah kamu gitu. Ini kan liburan, dinikmatin aja, jangan terlalu dipikirin, gitu,” begitu tegur Bibiy.

Ia memang sudah hafal betul dengan tabiatku yang satu ini. Berbeda dengan aku yang punya sekring emosi yang gampang putus, Bibiy berpembawaan santai dan ceria. Ia selalu punya cara untuk mendinginkan kepalaku dalam situasi apa pun.

Memang di luar jadwal wisata kuliner yang meleset dari rencana malam tersebut indah. Hujan memeluk dengan lembut, menyisakan aspal jalan yang basah dan berkilau tertimpa cahaya lampu. Tentu kecewa jika berharap toko-toko ramai buka malam hari di kota kecil ini. Namun aneka jajanan terserak di berbagai sudut kota, menebarkan wangi-wangian hidangan yang senantiasa merayu siapa saja yang lewat.

Aku bisa dengan mudah jatuh cinta dengan Soto Pak Broto yang berkuah kaldu bening bercampur tumbukan bawang putih, walau gagal menemukan soto kwali. Atau terbuai pada semangkuk wedang ronde yang disajikan di rumah makan kecil di pinggir keraton setelah Pak Mis lagi-lagi desersi dari permintaan kami untuk mengantar ke salah satu warung wedang temaram pinggir jalan.


Ini adalah pertama kalinya aku mengecap butiran bola sagu kukus berisi tumbukan kacang yang berkubang dalam air jahe hangat itu. Aku merasa beruntung bisa menikmatinya di rumah makan itu, karena ronde buatan mereka lembut tumbukan kacangnya dan pas rasa manisnya.

Berdesak-desakan di becak dan mengobrol ngalor-ngidul bersama Bibiy juga merupakan sesuatu yang tak terganti. Di Jakarta, malam kami habiskan sendiri-sendiri karena perbedaan ritme kerja. Saat Bibiy bersiap pulang ke rumahnya, aku masih berkutat di depan komputer di pojok ruang kerjaku. Sering aku baru bisa menelpon saat Bibiy sudah terlelap dalam balutan celana piama dan kaus singletnya.

Kami seolah ingin terus terjaga di kota ini, berplesir dengan becak, berjalan menyusuri trotoar, bergulat (dalam arti sebenarnya karena aku harus menghindari bibiy yang doyan menggigitku) di ranjang sebelum tidur, atau berdua menampaki tarian lampu kota di malam hari melalui jendela kamar hotel.

Becak dan malam segera saja menjadi pintu keriaan kami. Tak ada malam yang lewat tanpa mbecak keliling kota, menjajal jajanan pinggir jalan aneka rupa. Aku harus mengakui bahwa kota ini cukup menampung hobi makanku. Empat malam yang kami habiskan tidak cukup untuk mencecap seluruh aneka hidangan milik kota para raja dinasti Pakubuwono ini.

Malam selanjutnya kami mampir di warung nasi liwet Bu Sri Redjeki yang bersebelahan dengan warung susu segar Shi Jack di dekat Pasar Klewer, setelah Pak Mis (lagi-lagi) gagal membawa kami ke warung timlo. Ini pun menjadi pengalaman yang tak terlalu buruk karena nasi liwet yang tersaji berbeda dari nasi-nasi liwet yang pernah kucoba sebelumnya. Di alas daun pisang yang dibentuk seperti wadah kacang rebus, nasi pulen terhidang di atas sayur labu dan siraman sari santan kental berwara putih. Minuman susu jahe dari warung sebelah menggenapi hidangan dengan serasi.

Di antara semua angkringan yang kami singgahi, boleh dibilang pemenang hatiku dan bibiy adalah warung wedang Mbak Sri di dekat Pasar Barang Antik Triwindu. Mbak Sri adalah perempuan jawa berusia sekitar 40an, dengan dandanan manis bersahaja. Sangat asyik mengamati kepiawaiannya memadupadankan berbagai manisan buah, ronde, kacang dan air jahe menjadi aneka minuman hangat yang nikmat.

Kami baru singgah di sana malam pada malam kedua. Bibiy langsung jatuh cinta pada sekoteng hangat yang berisi potongan manisan buah belimbing, kolang kaling dan kacang putih. Aku sendiri menyeruput wedang kacang putih, yang berisi potongan ketan putih, kolang kaling dan kacang putih.

Tak lama setelah kami memesan, seorang wanita pesinden mampir untuk melantunkan tembang berbahasa jawa seraya memetik dawai kecapi. Perlahan bibirnya mengalunkan Caping Gunung karya Gesang, lagu lawas multiinterpretasi tentang janji yang tak ditepati.

Entah ada apa dengan kota ini. Semua terasa begitu nyaman dan syahdu, persis seperti rasa semangkuk wedang ronde. Enggan rasanya saat aku dan Bibiy harus mengepak barang untuk pulang. Enggan meninggalkan malam yang selalu romantis dibalut hujan rintik. Enggan meninggalkan segala bentuk kebersamaan aku dan Bibiy.

Bibiy tampak sedikit murung saat kereta yang kami tumpangi mulai bertolak meninggalkan stasiun Solo Balapan. Sepanjang perjalanan tak lepas ia memegangi tanganku seraya menatap ke luar jendela.

“Bibiy pengen naik becak lagi,” katanya lirih.

Aku pun membelai punggungnya dengan lembut. Rasa sedih yang sama menggelayut di hatiku yang belum siap menyongsong Jakarta, kota di mana kami harus pulang ke rumah yang berbeda.

foto dari:
http://www.wikipedia.org/
@Robyn, SepociKopi, 2008
abcs