Meulaboh, Kota yang Tangguh

Oleh: Arie Gere

Akhirnya sampai juga…
Masih dengan napas terengah-engah menghirup aroma pesing sialan ketika keluar dari pesawat kecil bermuatan dua puluhan orang itu, aku turun dengan ransel dan segenggam oleh-oleh khas kotaku menuju kota baru, kota Meulaboh yang akan kudiami selama tiga minggu. Meulaboh, Aceh Barat, saksi bisu tsunami.

Ah, kekasih hatiku nun jauh di sana… Sedang apa dia? Seketika itu juga kunyalakan ponsel dan tak lama terdengar ucapan syukurnya karena perjalanan 50 menit yang kulalui di atas benda kecil yang melayang ini tak terhadang kondisi apa pun.

Aku segera mengambil koper kecilku dan menaikkannya ke atas Ford Ranger yang aku yakin pasti donasi dari orang-orang bule pendonor itu. Tim kami berjumlah tiga orang, dua perempuan dan satu laki-laki. Aku dan perempuan itu jelas satu kamar dan ah... malasnya sekamar dengan perempuan ini, cerewet, jutek, uh... tape deh...

"Apa? Ranjangnya satu?” Spontan perempuan ini berteriak.
"Mas, kami pindah ke lantai dua aja, yang ranjangnya pisah," katanya.
Sudah kuduga, perempuan ini sering sekali membuat orang terkejut dengan suaranya yang mendadak dangdut mendadak ngerock, yang dB nya jauh lebih kencang dari suara orang batak sendiri.

Aku berpikir, apa karena dia yang telah mengetahui kondisi diriku sebenarnya sehingga dia wanti-wanti tidak mau seranjang denganku. Entahlah... Dan entah bagaimana juga perempuan ini akhirnya mengetahui orientasi seksualku yang ketika itu tidak dapat terelakkan lagi untuk diungkapkan. Mungkin nalar penciumannya yang teramat kuat, keingintahuannnya yang besar, keberaniannya yang kuacungkan jempol dan berbagai usaha penginterogasiannya setiap hari yang akhirnya membuatku loyo... kuncup.. Dan, terucaplah pengakuan itu... Yes, I am.

Kuingat, ocehan perempuan ini beberapa minggu yang lalu.
”Orang-orang kantor pada tahu kok,” katanya lirih.
”Yah, kamu kasih tahu sih, panteslah mereka tahu,” ucapku dengan nada tak terkejut lagi. Pengalaman kebablasan seperti ini pernah kualami ketika waktu di kampus dulu, ketika sahabat yang kupercaya sekalipun ternyata tak mampu menyimpan rahasia itu. Mulut berbicara, dinding mendengar, dan angin yang menyampaikan. Hah, sudah kuduga.

”Nggak, Ri, secerewet apa pun aku ke kamu, sejutek apa pun aku ke orang, tapi aku bukan tukang gosip.” Hatiku berkata, mudah-mudahan omongannya benar. Tapi aku benar-benar tidak perduli, ingatanku melayang pada kejadian sekitar satu tahun lalu, membekas seperti tancap pecahan botol yang kemudian ditarik paksa dan meninggalkan perdarahan tragis mengancam nyawa. Mantan pacar berengsek yang membeberkan semuanya kepada keluargaku.

”Mereka tahu karena suara di telepon kamu tuh tiap hari terdengar suara cewek,” sambungnya lagi. Yah kuakui aku emang rada budek, volume telepon genggamku terpaksa disetel maksimal. Kalau tidak, suara telepon hanya terdengar samar-samar di telingaku.

Ketika identitas diri sudah tercium oleh lingkunganku, aku berjanji tidak akan berubah. Dianggap siapa pun diriku di rumah, dianggap apa pun aku di kantor, itulah diriku. Bukan mereka yang mengubah diriku, bukan mereka yang mampu mengontrol emosi dan semangatku, bukan mereka. Karena aku bangkit untuk membuktikan pada diriku sendiri, dan bukan pada dunia, bahwa aku benar-benar ada. Aku tidak akan menjelma menjadi pegonggong yang keluyuran di malam hari, tidur di siang hari, merampok di kala senja, dan melolong di tengah lelapnya mimpi manusia. Aku adalah sang ujung tombak yang tetap akan berperang meski kakiku patah. Akan kuobati lukaku, akan kusambung agar kembali ke utuh, bila perlu kuganti semuanya dengan sparepart baru.

Apa pun pilihan hidup, semua harus kujalani dengan kesungguhan dan keihlasan. Bahwa aku ada, dan bahwa dia ada. Setitik air jatuh ke pipi dan segera ku hapus mengingat perjalanan panjang ini masih 3 minggu lagi. Aku berdiri tegak, di samping tugu Teuku Umar, memandang jauh ke Samudera Hindia dan menyadari betapa indahnya dunia ini, betapa luasnya anugerah Tuhan. Seketika itu juga aku teringat akan betapa maha dahsyatnya keajaiban Tsunami kala itu dan betapa kecilnya manusia di hadapan Sang Ilahi seperti debu terbang yang tak menentu arahnya.


Gbr 1. Rawa yang terbentuk dari sisa air laut akibat tsunami
Photo by Arie Gere – Meulaboh

”Gempa seperti itu belum pernah terjadi. Kekuatannya mahadahsyat, dan setelahnya air laut surut, hingga semua orang berlarian ke pantai, mengambil ikan-ikan di laut. Lima belas menit kemudian datang air laut setinggi pohon kelapa dan melahap semuanya.Tiga kali air laut mengempas dan melahap semua yang dilaluinya."

Aku bergidik membayangkan air laut setinggi itu menghabiskan ratusan ribu nyawa dalam sekejap, dan sekali entakan saja bisa mencampakkan PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel) milik PLN yang berbobot 200 ton di Banda Aceh terhempas sejauh 3 kilometer dari posisi awalnya. Ah, perih memang mengingat kembali 26 Desember itu.

”Keluarga Bapak?” tanyaku.
”Hanya Bapak yang selamat, pulang melaut tiba-tiba sudah habis semuanya.”
“Apa? Saat itu Bapak sedang di laut?” Aku terkejut bukan main, ingin bertanya lagi, ”Kok bisa selamat?” tapi rasanya sungguh tak sopan.

Tiba-tiba aku teringat gelombang tsunami bergejolak di dalam laut, bukan di permukaannya, hingga barulah sampai di bibir pantai air laut melahap semuanya. Sedangkan yang saat itu berada di laut, sebahagian besar selamat dan tidak merasakan gelombang bahaya mahadahsyat gentayangan lewat di bawah perahunya.

”Terima kasih banyak, Pak” ucapku pamit sambil menggenggam erat tangannya, semoga nyaman dengan rumah barunya. Kuamati sekali lagi rumah orang tua itu, semua tampak sama dengan rumah tetangga-tetangga sekitarnya. Dalam hati aku bersyukur karena kota yang pernah mati karena tsunami ini kembali hidup dengan datangnya donor dari berbagai negara, membangun semua infrastruktur, rumah sakit, jalan raya, dan tentu saja rumah tinggal. Peradaban sudah mulai dibangun, mental masyarakat sedikit demi sedikit mulai berubah. Bagi sebahagian besar masyarakat Aceh pedalaman, dulu, toilet di dalam rumah sungguh tidak beradab. Mereka pikir seperti tinggal di kandang kerbau, yang makan dan buang air di tempat yang sama. Akan tetapi, rumah sumbangan donor bule-bule itu tidak mungkin dibangun berpisah dengan toiletnya karena tidak ada arsitek modern yang mendesain rumah seperti itu. Dulu pun, rumah semi permanen sudah tergolong bagus di daerah ini, tapi sekarang hampir semuanya sudah permanen.

Mungkin aku saja yang berpikiran picik dan jahat atau semua orang punya pikiran seperti aku, kalau saja tsunami tidak terjadi, mungkin jalan raya yang lebar ini tidak akan pernah ada, atau rumah hunian permanen yang diberikan cuma-cuma hanya dengan menunjukkan surat keterangan dari kepala desa bahwa sang pemilik berhak atas tanah dan bangunan yang pernah hancur di atasnya mungkin tidak akan pernah sanggup dibangun oleh pemiliknya sendiri. Ternyata di dalam kesempitan pun, ada saja kesempatan-kesempatan busuk yang dimanfaatkan oleh orang-orang tamak.

Ah sudahlah, hidup harus dilanjutkan. Bila mereka saja kuat menghadapi getirnya gempa dan tsunami, ditambah lagi dengan konflik politik dengan Pemerintah, masa aku harus menyerah dengan hidup ini. Semua masalahku, semua deritaku, ternyata sangat tidak sebanding dengan penderitaan orang-orang tangguh ini, yang masih kuat bertahan hidup dengan kehilangan segala sesuatu yang pernah dimilikinya. Harta, rumah, anak, istri, orang-orang yang dicintai lenyap seketika dan hanya menyisakan sejuta kenangan dan air mata yang tak pernah habis-habisnya jika diingat.

Dan aku, tidak pernah menyesal menjadi perempuan, tidak pernah menyerah mencintai perempuan karena hidup bukanlah untuk disia-siakan, bukan untuk berpangku tangan apalagi untuk disesalkan.

@Arie Gere, SepociKopi, 2008
abcs