Nanning: Indonesian Town in China

Oleh: Grey Sebastian

Sebelum aku balik ke Jakarta, selama dua minggu aku menghabiskan liburanku di kota Nanning, ibukota provinsi Guangxi, China. Di salah satu pinggiran kota Nanning inilah sebagian keluargaku tinggal, setelah pembuangan orang Indonesia “keturunan” China yang terjadi sekitar tahun 1965.

Sebenarnya kalau bukan karena janji yang sudah diucapkan keluargaku sejak beberapa tahun yang lalu untuk datang mengunjungi keluarga yang di China, aku sama sekali tidak akan terpikir untuk datang ke kota ini. Karena meskipun Nanning adalah ibukota provinsi Guangxi, tapi Nanning tetaplah sebuah kota kecil yang jarang diketahui orang. Bahkan orang-orang China yang bukan berasal dari daerah Guangxi, juga jarang mendengar nama kota ini. Selain itu, di kota ini tidak ada tempat wisata yang populer.

Seminggu setelah Imlek, tepatnya tanggal 1 Februari 2009 kemarin adalah hari bersejarah untuk pamanku di Nanning. Hari itu pamanku resmi menikahi gadis yang sudah dipacarinya selama beberapa tahun. Karena kebetulan aku sedang bersekolah di China, sejak jauh-jauh hari aku sudah diingatkan untuk wajib hadir di acara pernikahan mereka. Aku mewakili keluarga besarku di Indonesia yang sudah pasti tidak mungkin hadir karena ongkosnya mahal.

Oh ya, berhubung Beijing bagaikan kota tanpa penduduk menjelang perayaan Imlek, sejak tanggal 21 Januari aku sudah tiba di Nanning. Jadi sekalian merayakan Imlek di sana. Mulanya, sehari setelah Imlek sampai dengan hari pernikahan pamanku, aku ingin berangkat ke Hong Kong selama lima hari. Sungguh malas menginap di rumah orang lama-lama. Tapi Tuhan berkehendak lain! Aku kehabisan tiket ke Hong Kong sehingga otomatis selama dua minggu aku menjadi penduduk sementara kota Nanning.

Selama dua minggu, hampir setiap hari aku diajak berliling kota, berwisata kuliner, dan diperkenalkan kepada warga sekitar. Aku baru menyadari kalau Nanning adalah Indonesian Town di China. Konon, kota ini adalah kota penampungan bagi para Hua Qiao (sebutan untuk orang keturunan China) yang mengalami pembuangan dari Indonesia sekitar tahun 1965.

Hampir semua para tetua di kota ini bisa berbahasa Indonesia, meskipun bukan bahasa Indonesia yang baku. Tapi logat Jawa, Cirebon, Cilamaya, Sunda masih sangat kental. Angkatan para pemuda mengerti bahasa Indonesia secara pasif. Hampir di setiap sudut kota banyak toko kue yang menjual Yin ni Dan gao (kue-kue Indonesia).

Selera masakan juga ternyata mirip dengan rasa Indonesia. Ada bakso yang nikmatnya mirip Bakso Afung di Jakarta, hanya kuahnya lebih kental. Ada Chao Fen yang 100% sama dengan Cong Fan, makanan khas daerah Medan. La jiang (saus pedas) rasanya mirip sambal bawang putih Lampung. Duh enaknya, sebab aku selalu bawa sambal sendiri setiap kali makan di mana-mana. Tidak pernah ada sambal di kota-kota lain di China seperti sambal di Nanning.

Saat malam imlek, pada sebuah acara TV aku menonton lagu-lagu Bengawan Solo dan Nona Manis. Mereka mengenakan kebaya. Kata pamanku, acara seperti itu diadakan setiap tahun, termasuk perlombaan tari-tarian khas Indonesia yang diselenggarakan tiap minggu. Ratusan orang mengikuti kelompok menari di balai desa. Tentu saja lagu yang mengiringi tarian mereka adalah lagu-lagu Indonesia jadul. Tarian mereka mirip tarian Jaipong. Sementara itu, sastra Indonesia termasuk pelajaran yang banyak peminatnya di kampus-kampus di kota Nanning.

Di akhir pesta pernikahan pamanku, aku juga baru tahu kalau setiap akhir pesta harus ada acara joget bersama. Itu tradisi! Jogetnya tentu saja menggunakan lagu-lagu Indonesia, khususnya lagu dangdut.

Pokoknya aku salut banget deh! Segala sesuatu yang berbau Indonesia sangat dihargai di Nanning. Karena di Jakarta, orang-orangnya sendiri tidak menghargai kebudayaan khas Indonesia. Dan karena aku datang dari Indonesia, mereka memperlakukanku bagai tamu agung lho :P

Salam dari Nanning buat Indonesia!

@Grey Sebastian, SepociKopi, 2009
abcs