Museum Jamu Semarang: Simpanan Kekayaan Obat Indonesia


Oleh: Rosallyn T.

Jamu, kata-kata itu mungkin sudah jarang terdengar di telinga kita. Tergusur dengan kehebatan paracetamol, amphetamine dan lainnya yang tersedia di apotek. Padahal jamu adalah obat tradisional asli Indonesia. Ramuannya terbuat dari bahan-bahan alami yang menyehatkan. Saking tradisionalnya, jamu identik dengan ”embok” gendong tua. Beberapa orang mengasosiasikannya dengan warung obat kuat yang menjual alat plus-plus. :)

Namun stigma itu berubah begitu saya mendatangi museum jamu. Tempat ini merupakan salah satu heritage Semarang. Banyak wisatawan domestik maupun mancanegara digiring untuk mengunjunginya. Meskipun pelayanannya tidak terlampau profesional tapi cukup menghibur pengunjungnya.

Pertama-tama rombongan diajak untuk memasuki lobby. Kesan yang saya tangkap adalah aroma bunga, rempah bercampur baur khas jamu. Sambutan hangat meja resepsionis melengkung dengan mbak penjaga tersenyum manis menyilahkan mengambil brosur. Para pengunjung bergantian mengambil semua kertas kecil yang ada. Isinya sejarah museum, jenis-jenis jamu, yang di sayangkan tidak dicetak dalam bahasa Inggris atau bahasa lainnya. Hanya bahasa Indonesia, tapi saya bersyukur minimal tidak tertulis dalam bahasa kawi (jawa kuno).

Penjelajahan selanjutnya ke ruang utama museum. Kita menaiki anak tangga berbahan dasar kayu yang cukup tinggi. Warna Kuning menjadi pilihan untuk pencahayaan. Lampu gantung ditambah cahaya dari luar jendela yang mengintip pelan-pelan membuat tampak artistik. Sehingga benda-benda di ruangan secara tidak sengaja terlihat eksotis.

Namun tetap kesan dingin dari rumah lama tidak bisa hilang begitu saja. Foto pendiri museum ini terpampang besar-besar. Beliau adalah seorang nyonya kelahiran Sidoarjo kemudian di boyong oleh suaminya ke Semarang. Orang-orang kerap memangilnya Meneer, karena terpengaruh ejaan Belanda. Padahal nama Meneer itu sebenarnya ”Menir” beras mungil di Jawa. Sebab sang nyonya ini pada waktu kecilnya hanya mau makan beras menir.

Namun ketika menjalani kehidupan rumah tangga beliau kemudian sakit. Di obati ke mana-mana tidak sembuh-sembuh juga. Dia mencoba mengingat-ingat cara membuat jamu yang pernah di ajar orangtuanya. Dan ternyata manjur.


Kabar kesembuhannya menyebar dari mulut ke mulut. Dari rumah ke rumah, banyak orang mulai berdatangan. Akhirnya jamu buatan nyonya Meneer ini terkenal. Mereka mulai mengkomersilkannya dengan membuat dalam kemasan. Agar tidak mudah dipalsukan, dipasang potret Sang Nyonya sedang tersenyum persis seperti yang tergantung di museum.

Selain foto bersejarah itu ada berbagai bungkusan jamu dari masa ke masa. Patung-patung dengan ukuran manusia sebenarnya membuat jamu tradisional. Sajian rempah-rempah yang dilengkapi nama latin sebagai bahan dasar pembuatan jamu.

Sesi selanjutnya kami diajak melihat pembuatan jamu dengan mata kepala sendiri. Kalau beruntung terkadang ada atraksi orang kerdil namun hari itu saya tidak sempat mengabadikannya. Untuk suguhannya tidak usah heran, tentu saja jamu kunyit asam yang segar.

Beberapa dari pengunjung termasuk saya membawa buah tangan dari museum yang dibangun 18 Januari 1984. Diantaranya adalah bedak dingin, lulur mangir, obat jerawat. Tenang-tenang, karena sekarang sudah modern, jamu-jamu ini ada yang di kemas memakai pil dan kapsul. Tidak perlu lagi ingin muntah dengan seduhannya.

Percaya atau tidak setelah saya mencoba produk-produk tradisional itu, malas rasanya melirik produk kecantikan modern. Dari sisi harga tentu saja lebih murah, dan khasiatnya juga mantap. Namun jika membeli barang-barang ini, kudu pergi ke tempat yang benar, karena rawan pemalsuan.

Bagi yang mau mencoba tidak ada salahnya, saya sarankan lulur mangirnya. Yang ketika digosokan ke badan lebih mantap daripada bodyscrub di pasaran. Oh ya ada satu rahasia yang bisa diterapkan buat anda dan pasangan. Coba cari jamu sari rapet, kali ajah bisa membuat benar-benar ”rapat”. Dan hasilnya mmmm bisa share di sini.

Bagaimana, sudah siap untuk ”Njamu”?

@Rosallyn T., SepociKopi, 2010
abcs