tag:blogger.com,1999:blog-7547397046753905242024-03-13T12:50:13.485-07:00Community and Travelingcamilanhttp://www.blogger.com/profile/01962868451001642335noreply@blogger.comBlogger26125tag:blogger.com,1999:blog-754739704675390524.post-48454462864781389382011-02-01T17:52:00.000-08:002011-02-01T18:40:51.541-08:00Surga Kepulauan Raja Ampat<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/_fyhrxYN6pZo/TUjCmS2K1hI/AAAAAAAADMo/2yDvekMg8Bc/s1600/Sorido%2BBay-1.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 300px; height: 190px;" src="http://2.bp.blogspot.com/_fyhrxYN6pZo/TUjCmS2K1hI/AAAAAAAADMo/2yDvekMg8Bc/s400/Sorido%2BBay-1.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5568914902393476626" /></a>Oleh: Carmen<br /><br />Aku pernah bilang belum ya, kalau tempat liburan paling berkesan buatku dan partner adalah tempat-tempat menakjubkan di tanah air sendiri?<br /><br />Sebagai yang sudah cukup lama “kabur” dari negeri sendiri dan membangun kehidupan di tempat lain lewat perjuangan dari bawaaahhh banget, justru yang membuat kami selalu kepincut adalah kampung halaman tercinta Indonesia. Terlebih lagi setelah liburan baru-baru ini yang kami lalui di… Raja Ampat!<br /><br />Surga dunia ini diperkenalkan oleh temanku yang kebetulan orang Papua (dengan ciri-ciri jomblo, lesbian, kulit gelap tapi cantiiikk dan langsing. Dia minta disebut di sini hehe. Thanks, dear!). Letaknya 90-120 menit perjalanan memakai kapal dari Sorong, propinsi Papua Barat.<br /><br />Untuk transportasi menuju Sorong, bisa naik pesawat dari Makassar (bagi yang dari Jakarta/Surabaya/sekitarnya) atau Manado (bagi yang dari Singapore/Filipina/sekitarnya). Tapi kalau mau jalan-jalan dulu keliling Papua juga bisa. Sebelum berlibur ke Raja Ampat, kami kebetulan kerja sosial dulu Natalan di rimba pegunungan tengah Papua. Dari situ kami ke Timika (propinsi Papua), menuju Manokwari (ibukota propinsi Papua Barat), baru setelah itu ke Sorong. Umumnya transportasi di dua propinsi yang super besar ini adalah lewat udara.<br /><br />Sesampai di Sorong, kami menginap semalam, baru besok paginya ke Raja Ampat. Ada beberapa pilihan hotel. Yang kami inapi adalah the Luxio (lihat website di bawah). Aku sendiri tidak menyangka bahwa di sini ada juga kamar suite yang bagus seperti adanya kolam renang pribadi; dan memiliki fasilitas modern, seperti jaringan internet yang cepat. Sangat nyaman bagi yang lelah bepergian jauh!<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/_fyhrxYN6pZo/TUjCm3FAuVI/AAAAAAAADMw/Q-amDKrJeUg/s1600/Sorido%2BBay-2.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 400px; height: 289px;" src="http://2.bp.blogspot.com/_fyhrxYN6pZo/TUjCm3FAuVI/AAAAAAAADMw/Q-amDKrJeUg/s400/Sorido%2BBay-2.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5568914912119404882" /></a>Pagi-pagi, kami berangkat bersama-sama menaiki kapal temanku, sekitar 90 menit menuju Kepulauan Raja Ampat. Karena perjalanan santai, kami memutuskan untuk memancing dahulu di laut dalam. Airnya biru gelap tapi jerniiiihhhhh sekali, teman! Sejauh mata memandang yang terlihat adalah pemandangan laut minus kebisingan, seperti di dunia lain.<br /><br />Menjelang siang, kami tiba di Sorido Bay Resort, sebuah resor di pulau kecil yang menakjubkan. Merapat ke pulau, kita bisa melihat karang-karang dan ikan-ikan yang tampak jelas saking jernih lautnya. Terus terang waktu melihat pertama kali aku langsung pengen terjun berenang.<br /><br />Setelah merapat, dengan berjalan kaki 30 meter di jembatan kayu, kami disambut dengan sajian minuman dingin buah-buahan tropis. Segar! Setelah itu kami serombongan diantar ke bungalo masing-masing. Hanya ada 12 bungalo di resor ini, dengan fasilitas yang cukup (ada sinyal hape dan internet). Aku dan partner menempati satu bungalo sendiri yang berukuran cukup luas, dengan pantai pasir putih pribadi dan pemandangan laut lepas (lihat foto). Romantis ya? (super pamer hihihi).<br /><br />Karena pengunjung tidak terlalu banyak, kami dengan cepat menjadi akrab dengan pengunjung lainnya. Kali itu semuanya adalah wisatawan manca negara, kecuali rombonganku. Semua pengunjung berkumpul dan ngobrol setiap makan pagi, siang, dan malam yang disediakan oleh resor berupa buffet. Makanannya variatif dan enak-enak, kebanyakan masakan autentik Indonesia. Yang super spesial buatku adalah sambal dabu-dabu-nya yang pedas. Yum! Maklum, buatku makanan adalah salah satu faktor paling menentukan dalam menilai kualitas liburan.<br /><br />Intinya kami semua ada di sana untuk menikmati rekreasi bawah laut Raja Ampat. Bagi yang tidak bisa <span style="font-style:italic;">diving</span> sepertiku, tidak perlu khawatir, karena <span style="font-style:italic;">snorkelling</span> saja juga sangat memuaskan! Bayangkan, <span style="font-style:italic;">snorkelling</span> mengelilingi karang-karang bagian luar resor juga bisa, tidak perlu naik perahu lagi. Yang luar biasa adalah ikan-ikannya. Beneran banyaaaakkk banget ikan warna-warni. Karang-karangnya juga warna-warni, banyak bintang laut, dan beberapa kali aku bertemu penyu. Suatu kali waktu <span style="font-style:italic;">snorkelling<span style="font-style:italic;"></span></span> dekat resor, aku bertemu penyu yang waktu didekati dan dipegang, dia tidak pergi. Kasihan ternyata satu kaki depan si penyu itu buntung. Rada sulit menghampiri si penyu untuk kedua kali (menyelam cuma pakai peralatan <span style="font-style:italic;">snorkelling</span> itu rada ribet lho!), jadi terakhirnya waktu dia pergi, aku cuma melambaikan tanganku. Itulah petualanganku bersama penyu kaki buntung!<br /><br />Untuk yang suka <span style="font-style:italic;">diving</span>, seperti partnerku yang gila menyelam, katanya seperti ke surga. Alam bawah lautnya memang termasuk liar saking tidak pernah “tersentuh”-nya (kata partner, <span style="font-style:italic;">reef hooks</span> itu dipakai terus lho waktu ada arus), jadi bagi <span style="font-style:italic;">inexperienced divers</span>, mungkin perlu ada teman ahli yang menemani. Yang jelas, waktu selesai menyelam pertama, partnerku berkali-kali bilang, “Ikannya banyak. Parah. Ikannya banyak. Parah,” seperti kaset rusak. Setelah itu, menyelam buat dia seperti minum obat—3 kali sehari: pagi, siang, malam. Katanya dia paling <span style="font-style:italic;">excited</span> waktu berenang sama ikan-ikan manta—sejenis ikan pari yang panjangnya 5 meter. Ketemu hiu kumis yang tidak menggigit, lihat <span style="font-style:italic;">giant clam</span>, ketemu hiu-hiu kecil, dan ikan-ikan berbagai jenis yang berenang beriringan seperti warna-warni pelangi.<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://3.bp.blogspot.com/_fyhrxYN6pZo/TUjCnAToxII/AAAAAAAADM4/C0SP4v6s7v0/s1600/Raja%2BAmpat%2BDive%2BLodge.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 400px; height: 283px;" src="http://3.bp.blogspot.com/_fyhrxYN6pZo/TUjCnAToxII/AAAAAAAADM4/C0SP4v6s7v0/s400/Raja%2BAmpat%2BDive%2BLodge.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5568914914596668546" /></a>Bagaimana dengan para <span style="font-style:italic;">non-divers<span style="font-style:italic;"></span></span> seperti aku? Oh, kami juga mengalami masa-masa menyenangkan dengan ber-<span style="font-style:italic;">snorkelling</span>. Itu pun saja tidak habis-habis indahnya sampai kecapekan berenang. Kalau sudah mulai capek, biasanya kami meminta izin sama para <span style="font-style:italic;">guide</span> yang kebanyakan orang Papua yang baik-baik, untuk pindah kapal pakai kapal teman, dan bertepi sebentar ke pantai putih terdekat. Kami berjemur, menyiapkan makanan ringan untuk para kekasih yang lagi menyelam, foto-foto, baca buku, dan lain-lain.<br /><br />Kami juga mendarat di pantai pasir putih yang muncul dari laut saat air surut. Itu lho, indahnya pantai seperti yang di film Narnia.<br /><br />Nah masalahnya adalah para penyelam ini juga sampai malam-malam pun mereka pasti akan berenang. Tergantung keahlian kita, bagaimana membujuk pasangan supaya tidak berenang melulu. Lagi pula, untuk menyelam perlu kondisi fisik yang sangat fit, jadi istirahat dan asupan makanan juga penting! Apalagi kalau judulnya honeymoon, tidak baik berenang malam-malam dan kecapekan (heh heh). Apalagi kalau tiap pagi, kita disuguhi pemandangan matahari terbit di depan mata.<br /><br />Kami juga mengelilingi beberapa resor lain. Yang kurekomendasikan juga adalah Kri Eco Resort (lebih murah tapi lebih autentik Papua, karena kita bisa tidur di rumah kayu di atas laut—bisa langsung nyebur, dan suara laut dan ikan-ikan berenang bisa kelihatan di sela-sela kayu lantai kamarmu. Wow!) dan Raja Ampat Dive Lodge (resor baru, gaya Bali yang keren banget—lihat foto).<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://3.bp.blogspot.com/_fyhrxYN6pZo/TUjCnQuLrsI/AAAAAAAADNA/i6xgtkdNRTg/s1600/Kri%2BEco%2BResort.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 400px; height: 289px;" src="http://3.bp.blogspot.com/_fyhrxYN6pZo/TUjCnQuLrsI/AAAAAAAADNA/i6xgtkdNRTg/s400/Kri%2BEco%2BResort.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5568914919002975938" /></a>Tips dan trik: Tidak ragu untuk memperlengkapi diri dengan pengetahuan tentang Raja Ampat adalah hal yang penting. Survei semuanya secara sistematis, karena akan berada di tempat yang tergolong cukup terisolasi dari dunia luar. Jangan lupa juga bawa bikini, peralatan snorkelling dan diving, obat-obatan pribadi, krim lotion spf 50 sekalian yang <span style="font-style:italic;">waterproof</span>, alat-alat perawatan muka, dan jangan lupa juga bawa conditioner termantap yang kamu punya! Karena di resor-resor seperti ini, airnya masih ada asin-asinnya, jadi bisa menyebabkan rambut kering. Agar tidak rusak rambutnya, pakai conditioner banyak-banyak. Setiap pergi berenang, jangan lupa bawa air minum juga. Kok aku merasa seperti nenek-nenek cerewet. Ah biarin, niatnya kan baik ?<br /><br />Lagi-lagi, untuk rencana perjalanan, sebaiknya disiapkan sebaik-baiknya. Kalau punya teman orang Papua sepertiku, perjalanan bisa dipersiapkan sendiri. Namun bila tidak, ada baiknya mencari <span style="font-style:italic;">tour guide</span> yang berpengalaman, atau bisa lewat resor-nya (lihat website di bawah).<br /><br />Sepulang dari sana, aku kaget saat partnerku dengan rambut panjangnya yang mengkilap (berkat conditioner-ku!) tanpa hujan tanpa angin bertanya kepadaku, “Sayang, kamu pingin balik tinggal di Indonesia, nggak?” Aku tertawa, dan cuma menjawab, “Siapa takut.”<br /><br />Tidak ada yang bisa menghalangi mimpi dan niat baik perempuan lesbian—ada mimpi, kita kejar! Dan yang mengejutkan, Tuhan selalu membawa kami berdua ke tempat-tempat yang indah di bumi. Bagaimana denganmu? *wink<br /><br />@Carmen, SepociKopi, 2011<br /><br />Detail tentang Raja Ampat<br />http://en.wikipedia.org/wiki/Raja_Ampat_Islands<br /><br />Resorts & Tour Guides di Raja Ampat:<br />http://www.iriandiving.com/Main-page.html<br />atau<br />http://www.komodoalordive.com/RajaAmpatDiveLodge.htm<br /><br />Hotel di Sorong: www.theluxio.comAnonymousnoreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-754739704675390524.post-62241452125605686662010-11-01T17:35:00.000-07:002010-11-01T17:38:29.944-07:00Romantisme Pulau Dewata<img src="http://sepocikopi.com/wp-content/uploads/2010/11/widja.jpg" alt="widja" align="left" width="266" height="147" />Oleh: Carmen<br /><br />Stress menumpuk, jenuh dengan kehidupan sehari-hari, dan ingin berduaan dengan pacar di sebuah dunia lain? Aku dan partner berlibur ke Pulau Dewata di tanah air.<br /><br />Beberapa bulan terakhir aku dan partnerku merasa tertarik saat membaca beberapa artikel di SepociKopi tentang penulis yang berbulan madu buka-bukaan di salah satu kota di Jawa Barat dan juga artikel tentang rasa takut karena dikira lesbian.<br /><br />Setelah mengalami <em>long-distance relationship</em> beberapa bulan dengan partner, kami merasa tertantang dan memutuskan untuk liburan juga. Tema kali ini adalah liburan yang "rada buka-bukaan", standar orang yang tidak <em>coming out</em> kepada dunia seperti kami berdua.<br /><br />Partnerku mengusulkan untuk menginap di tempat yang belum pernah kami injak di Bali. Maka atas usul temanku, kami memutuskan untuk menginap di <a href="http://www.blogger.com/www.desaseni.com">Desa Seni,</a> sebuah <em>village resort</em> eksklusif di daerah Canggu (arah Barat Kuta). Pengaturan penginapan kami lalui lewat internet di <em>website</em>-nya (lihat di bawah). Dan selama komunikasi lewat email, pihak resor menawarkan paket-paket <em>tour</em> tema romantis untukku dan partner.<br /><br /><img src="http://sepocikopi.com/wp-content/uploads/2010/11/hippie_van.jpg" alt="hippie van" align="left" width="225" height="198" />Di bandara, kami dijemput oleh pihak <em>resor</em> menggunakan semacam <em>hippie van</em> yang berwarna biru muda mencolok.<br /><br />Perjalanan dari bandara Ngurah Rai ke Canggu memakan waktu sekitar 25 menit. Untuk mencapai ke Desa Seni, mobil harus melalui jalan-jalan kecil dan sempit selama 10 menit. Rasanya, sepanjang jalan kita dibawa ke dunia lain dari Bali yang masih asri. Di kanan kiri jalan, banyak tanaman padi kekuning-kuningan, tanda hampir panen.<br /><br />Plang resornya sederhana di pinggir jalan kecil, dan pada saat van memasuki pekarangan, payung tradisional warna-warni menyambut kami. Kesan pertama adalah, tempat ini unik sekali! Unik tapi gaya. Ternyata Desa Seni adalah sebuah "desa" yang terdiri dari 10 rumah antik dari kayu. Rumah-rumahnya didatangkan dari rumah hunian tua asli dari pulau-pulau di Indonesia, kebanyakan dari Jawa. Misalnya, ada rumah yang sudah ada sejak awal tahun 1900, namun sudah di-<em>refurbished</em> dan didesain ulang.<br /><br /><img src="http://sepocikopi.com/wp-content/uploads/2010/11/shiva1.jpg" alt="shiva1" align="left" width="326" height="168" />Kami mem-<em>booking</em> "rumah" yang paling kecil dan paling murah di sana. Dan hasilnya, <em>we loved it</em>!<br /><br />Rumah yang tua itu biasanya berkesan suram dan gelap. Namun rumah kami malah terang karena permainan warna dari interiornya. Di dalam rumah juga ada peralatan modern seperti AC, TV, telepon, sambungan internet, dan lainnya.<br /><br /><img src="http://sepocikopi.com/wp-content/uploads/2010/11/yogabanner1.jpg" alt="yogabanner1" align="left" width="323" height="149" />Desa Seni juga dilengkapi kolam renang, rumah spa, dan rumah yoga. Pelayanan spa-nya memuaskan, kami berkali-kali kesana untuk sekedar pijat, ear candling dan <em>manicure-pedicure</em>. Khusus untuk penghuni, ada gratis pelajaran yoga setiap hari.<br /><br />Makanan yang tersedia kebanyakan organik; dari bumbu-bumbu dan sayuran yang ditanam sendiri disana. Misalnya, kami mencicipi sawi <em>spring roll</em> (<em>spring roll,</em> tapi kulitnya sayur sawi) yang sehat, dan makanan lain yang umum seperti soto ayam rasanya sangat segar dan enak.<br /><br /><img src="http://sepocikopi.com/wp-content/uploads/2010/11/storybanner1.jpg" alt="storybanner1" align="left" width="450" height="175" />Pagi-pagi, kami ke pantai yang jaraknya kira-kira 10 menit dengan bersepeda santai. Sepeda disediakan gratis untuk penghuni. Pada waktu bersepeda, kami melewati jalan-jalan kecil yang kanan kirinya sawah-sawah; dan di pantai yang perawan, nyaris tidak ada grup disana (entah karena masih pagi jam 7 atau memang selalu sepi). Namun selalu ada satpam/penjaga dari resor yang <em>stand by</em> untuk menjamin keamanan dan kebutuhan penghuni.<br /><br />Yang terpenting adalah, selama nyaris seminggu tinggal, tidak ada yang berkomentar atau memandang berlebihan saat kami bergandengan tangan saat berjalan bersama, atau pada saat aku memeluk partner di pinggir kolam. Awalnya deg-degan melakukannya, tapi lama kelamaan jadi ketagihan (dengan catatan, tidak berlebihan).<br /><br />Di Bali, dengan <em>tour</em> dari resor, kami berjalan-jalan ke Ubud melihat-lihat galeri lukisan dan <em>shopping</em> tentunya; ke Uluwatu melihat monyet, pura, dan tari Kecak; menyusuri pantai Kuta saat matahari hampir terbenam; berbelanja kerajinan perak di Celuk yang buka 24 jam; hingga <em>shopping</em> sepanjang hari di Seminyak.<br /><br /><img src="http://sepocikopi.com/wp-content/uploads/2010/11/kura-kura.jpg" alt="kura-kura" align="left" width="225" height="169" />Untuk makan malam, makan di resto <em>seafood</em> di Jimbaran menjadi pilihan. Kami juga mencoba <em>fine dining</em> di Kura-Kura Restaurant, The Oberoi Hotel-Seminyak.<br /><br />Suasananya romantis dan terkesan <em>discreet</em> karena di udara terbuka (dengan atap alang-alang), serta di keheningan malam sayup-sayup ada suara ombak. Makanannya juga lebih dari ekspektansi kami. Untuk makanan utama, Matsuzaka beef steak-nya menurutku sangat <em>out of this world</em>! Partnerku memilih menu ikan Cod yang juga sangat enak. Menu <em>appetizers</em> dan <em>desserts-</em>nya juga enak-enak.<br /><br />Pilihan yang lebih <em>casual</em> namun tetap romantis adalah di Chandi restaurant di Seminyak yang menyediakan makanan organik yang enak-enak pula. Di Bali banyak makanan enak!!<br /><br /><img src="http://sepocikopi.com/wp-content/uploads/2010/11/ayana-spa-wine-treatment-2.jpg" alt="ayana-spa-wine-treatment-2" align="left" width="225" height="148" />Hari terakhir di Bali, sebelum kembali ke dunia nyata, aku mengajak partner untuk ke spa lagi. Kali ini pilihanku jatuh pada The Ayana Spa di Jimbaran, karena dapat penghargaan No.1 menurut Conde Nast Traveller Readers' Spa Awards 2010.<br /><br />Tidak kalah nekat seperti sebelumnya, aku mendaftarkan kami berdua untuk mengikuti "Blissful Love Treatment Spa Package". Gila, kelihatan tidak, kami lesbian dari judul paketnya? Entah karena parno atau bukan, kami pasrah karena dari awal ceritanya kepingin merasakan dunia <em>coming out</em> sedikit-sedikit.<br /><br />Ternyata kami tidak menyesal, karena <em>treatment</em>-nya sangat membuat rileks. Kami dibawa ke sebuah vila khusus untuk dua orang. Dimulai dari mencuci kaki dengan bunga, pelumuran handuk hangat, terapi boreh, mandi bunga dan herbal, serta pijat anti-stress, semua terasa memuaskan. Terakhir adalah terapi <em>facial</em> menggunakan bahan-bahan <em>natural</em>, seperti masker telur dan madu (benar-benar <em>raw</em> telur dan madu), toner berupa <em>lavender</em> dan jeruk, dan <em>scrub</em> yang menggunakan jagung dan yoghurt. Saat dilumuri bahan-bahan tersebut, aku menahan diri untuk tidak menjilat mukaku sendiri! Hehehe.<br /><br />Kesimpulan yang didapat dari pengalaman <em>coming out</em> kecil-kecilan ini adalah banyak sekali saat-saat menyenangkan, namun ada pula saat-saat deg-degan dan menegangkan. Ada hal-hal yang terasa di luar kontrol kita. Contoh yang menegangkan, untuk penderita sesak napas sepertiku, awalnya agak membikin batuk-batuk dan napas kecil-kecil pada saat mandi berdua di <em>bath tub</em> pakai bunga-bunga mawar saat spa (deg-degan gimana kalau ketahuan); atau pada saat orang <em>tour</em> nya mulai tanya-tanya detil urusan pribadi. Senjata kami adalah, pasang senyum dan mengalihkan pembicaraan, atau jawab sekedarnya. Senjata terakhir adalah, menikmati momen yang ada. Secara garis besar, orang-orang Bali sangat ramah dan cukup terbuka.<br /><br />Saat-saat terakhir di bandara Ngurah Rai, partner melihatku yang bermuka sedih. Perjalanan yang menyenangkan itu harus berakhir. Namun ia memegang tanganku diam-diam sambil membisikiku, "Sayang, kita kerja keras lagi, biar bisa liburan lagi."<br /><br /><em>How i love her, Lord</em>.<br /><br />@Carmen, SepociKopi, 2010<br /><br /><a href="http://www.desaseni.com/">www.desaseni.com</a><br /><br /><a href="http://www.chandibali.com/">http://www.chandibali.com/</a><br /><br /><a href="http://www.ayanaresort.com/en/spa/">http://www.ayanaresort.com/en/spa/</a>SepociKopihttp://www.blogger.com/profile/09382951408629850089noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-754739704675390524.post-43451594903211242302010-05-20T07:54:00.000-07:002010-05-20T08:29:32.740-07:00Museum Jamu Semarang: Simpanan Kekayaan Obat Indonesia<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/_fyhrxYN6pZo/S_VTixL_2PI/AAAAAAAADBo/K6l0Iz6dKD8/s1600/MA011061.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 250px; height: 320px;" src="http://2.bp.blogspot.com/_fyhrxYN6pZo/S_VTixL_2PI/AAAAAAAADBo/K6l0Iz6dKD8/s320/MA011061.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5473372778923022578" border="0" /></a><br />Oleh: Rosallyn T.<br /><br />Jamu, kata-kata itu mungkin sudah jarang terdengar di telinga kita. Tergusur dengan kehebatan <span style="font-style: italic;">paracetamol, amphetamine </span>dan lainnya yang tersedia di apotek. Padahal jamu adalah obat tradisional asli Indonesia. Ramuannya terbuat dari bahan-bahan alami yang menyehatkan. Saking tradisionalnya, jamu identik dengan ”embok” gendong tua. Beberapa orang mengasosiasikannya dengan warung obat kuat yang menjual alat plus-plus. :)<br /><br />Namun stigma itu berubah begitu saya mendatangi museum jamu. Tempat ini merupakan salah satu<span style="font-style: italic;"> heritage </span>Semarang. Banyak wisatawan domestik maupun mancanegara digiring untuk mengunjunginya. Meskipun pelayanannya tidak terlampau profesional tapi cukup menghibur pengunjungnya.<br /><br />Pertama-tama rombongan diajak untuk memasuki lobby. Kesan yang saya tangkap adalah aroma bunga, rempah bercampur baur khas jamu. Sambutan hangat meja resepsionis melengkung dengan mbak penjaga tersenyum manis menyilahkan mengambil brosur. Para pengunjung bergantian mengambil semua kertas kecil yang ada. Isinya sejarah museum, jenis-jenis jamu, yang di sayangkan tidak dicetak dalam bahasa Inggris atau bahasa lainnya. Hanya bahasa Indonesia, tapi saya bersyukur minimal tidak tertulis dalam bahasa kawi (jawa kuno).<br /><br />Penjelajahan selanjutnya ke ruang utama museum. Kita menaiki anak tangga berbahan dasar kayu yang cukup tinggi. Warna Kuning menjadi pilihan untuk pencahayaan. Lampu gantung ditambah cahaya dari luar jendela yang mengintip pelan-pelan membuat tampak artistik. Sehingga benda-benda di ruangan secara tidak sengaja terlihat eksotis.<br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/_fyhrxYN6pZo/S_VRR6gDHVI/AAAAAAAADBA/IQf0OWFJ-qU/s1600/MA011043.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 245px; height: 320px;" src="http://2.bp.blogspot.com/_fyhrxYN6pZo/S_VRR6gDHVI/AAAAAAAADBA/IQf0OWFJ-qU/s320/MA011043.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5473370290342010194" border="0" /></a><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://1.bp.blogspot.com/_fyhrxYN6pZo/S_VRTLzZGsI/AAAAAAAADBg/62yGNUc6lqQ/s1600/MA011091.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 250px; height: 320px;" src="http://1.bp.blogspot.com/_fyhrxYN6pZo/S_VRTLzZGsI/AAAAAAAADBg/62yGNUc6lqQ/s320/MA011091.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5473370312166415042" border="0" /></a><br />Namun tetap kesan dingin dari rumah lama tidak bisa hilang begitu saja. Foto pendiri museum ini terpampang besar-besar. Beliau adalah seorang nyonya kelahiran Sidoarjo kemudian di boyong oleh suaminya ke Semarang. Orang-orang kerap memangilnya Meneer, karena terpengaruh ejaan Belanda. Padahal nama Meneer itu sebenarnya ”Menir” beras mungil di Jawa. Sebab sang nyonya ini pada waktu kecilnya hanya mau makan beras menir.<br /><br />Namun ketika menjalani kehidupan rumah tangga beliau kemudian sakit. Di obati ke mana-mana tidak sembuh-sembuh juga. Dia mencoba mengingat-ingat cara membuat jamu yang pernah di ajar orangtuanya. Dan ternyata manjur.<br /><br /><div style="text-align: center;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://3.bp.blogspot.com/_fyhrxYN6pZo/S_VRSpYh-NI/AAAAAAAADBY/ahWrO--aINo/s1600/MA011067.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 320px; height: 250px;" src="http://3.bp.blogspot.com/_fyhrxYN6pZo/S_VRSpYh-NI/AAAAAAAADBY/ahWrO--aINo/s320/MA011067.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5473370302926944466" border="0" /></a><br /></div>Kabar kesembuhannya menyebar dari mulut ke mulut. Dari rumah ke rumah, banyak orang mulai berdatangan. Akhirnya jamu buatan nyonya Meneer ini terkenal. Mereka mulai mengkomersilkannya dengan membuat dalam kemasan. Agar tidak mudah dipalsukan, dipasang potret Sang Nyonya sedang tersenyum persis seperti yang tergantung di museum.<br /><br />Selain foto bersejarah itu ada berbagai bungkusan jamu dari masa ke masa. Patung-patung dengan ukuran manusia sebenarnya membuat jamu tradisional. Sajian rempah-rempah yang dilengkapi nama latin sebagai bahan dasar pembuatan jamu.<br /><br />Sesi selanjutnya kami diajak melihat pembuatan jamu dengan mata kepala sendiri. Kalau beruntung terkadang ada atraksi orang kerdil namun hari itu saya tidak sempat mengabadikannya. Untuk suguhannya tidak usah heran, tentu saja jamu kunyit asam yang segar.<br /><br />Beberapa dari pengunjung termasuk saya membawa buah tangan dari museum yang dibangun 18 Januari 1984. Diantaranya adalah bedak dingin, lulur mangir, obat jerawat. Tenang-tenang, karena sekarang sudah modern, jamu-jamu ini ada yang di kemas memakai pil dan kapsul. Tidak perlu lagi ingin muntah dengan seduhannya.<br /><div style="text-align: center;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://1.bp.blogspot.com/_fyhrxYN6pZo/S_VRSBKpQAI/AAAAAAAADBI/DuiE5KK8ub4/s1600/MA011050.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 320px; height: 250px;" src="http://1.bp.blogspot.com/_fyhrxYN6pZo/S_VRSBKpQAI/AAAAAAAADBI/DuiE5KK8ub4/s320/MA011050.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5473370292131282946" border="0" /></a><br /></div>Percaya atau tidak setelah saya mencoba produk-produk tradisional itu, malas rasanya melirik produk kecantikan modern. Dari sisi harga tentu saja lebih murah, dan khasiatnya juga mantap. Namun jika membeli barang-barang ini, kudu pergi ke tempat yang benar, karena rawan pemalsuan.<br /><br />Bagi yang mau mencoba tidak ada salahnya, saya sarankan lulur mangirnya. Yang ketika digosokan ke badan lebih mantap daripada <span style="font-style: italic;">bodyscrub</span> di pasaran. Oh ya ada satu rahasia yang bisa diterapkan buat anda dan pasangan. Coba cari jamu sari rapet, kali ajah bisa membuat benar-benar ”rapat”. Dan hasilnya mmmm bisa <span style="font-style: italic;">share </span>di sini.<br /><br />Bagaimana, sudah siap untuk ”Njamu”?<br /><br />@Rosallyn T., SepociKopi, 2010Anonymousnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-754739704675390524.post-17991171158896914442010-04-23T06:03:00.000-07:002010-04-23T06:18:58.687-07:00Jalan-jalan di Bandung<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/_5cMJbl3JQfg/S9Gdz3_n4pI/AAAAAAAAB_Y/zZslPIZ1o1E/s1600/bandung1.JPG"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 200px; height: 155px;" src="http://2.bp.blogspot.com/_5cMJbl3JQfg/S9Gdz3_n4pI/AAAAAAAAB_Y/zZslPIZ1o1E/s200/bandung1.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5463321337506816658" border="0" /></a><br />Oleh: Dragon Fury<br /><br />Bicara masalah traveling, mungkin aku sudah sering mengunjungi kota-kota di Indonesia namun akan beda rasanya kalau kita berjalan-jalan bersama partner. Inilah kunjunganku pertama kali bersama partner ke Bandung, walaupun sebenarnya kami hampir setiap bulan ke Bandung tapi belum pernah bersama-sama.<br /><br />Liburan ke Bandung merupakan liburan penyegar bagi hubungan kami karena bulan kemarin aku keluar kota selama sebulan lebih untuk menyelesaikan bisnis keluarga. Akhirnya kami memulai perjalanan selama tiga hari di sana. Hari pertama sampai di Bandung, aku langsung mengajaknya ke Ciwalk. Di situ sebenarnya banyak kenangan dengan mantanku tapi itu masa lalu. Sekarang di pelukanku ada seseorang yang sayang padaku dan aku juga sedang belajar menyayanginya.<br /><br />Balik lagi ke Bandung. Bicara tentang Bandung takkan lepas dari bicara soal kuliner. Kami yang sudah menjelajah hampir setiap pelosok jakarta dan beberapa kali mampir ke Bogor untuk memcicipi kuliner sudah mulai bosan. Harga makanan di Bandung jauh lebih murah dan tentu saja lebih enak dengan proporsi yang lebih banyak.<br /><br />Tempat-tempat yang kami kunjungi dalam liburan singkat itu adalah:<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Kantin NHI:</span> berlokasi di daerah Setia Budi. Menawarkan berbagai menu surabi, colenak (tape dibakar), makanan Timur Tengah, nasi goreng, dan banyak makanan lainnya. Harga sangat terjangkau untuk mahasiswa dan porsi tentu saja cukup untuk perut yang keroncongan. Ini salah satu kantin yang wajib kukunjungi. Di kantin inilah aku biasa ngumpul bareng teman sekolahku dulu.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Warung Pasta:</span> berlokasi di Dago (deket Kartika Sari Dago). Menu berbagai jenis pasta dan pizza. Kenapa akhirnya ke sini karena partner pecinta fettucini sejati. Harga jelas murah dan sebanding dengan kualitas masakan. Harus nyoba: pizza coklat keju (harga 9rb) tapi dapat dibagi bersama lima orang, dijamin kenyang semua.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Braga:</span> di jalan Braga, aku menganjurkan untuk sarapan pagi. Di sana banyak menu yang menyediakan roti-roti khas Eropa. Nikmat ditemani segelas kopi, jadilah kita merasa seperti noni-noni Belanda. Ke sana belum mandi dan masih bau bantal karena aku dan partner terbiasa bangun siang, tapi demi menyicipi roti dan sarapan pagi di Braga, aku rela bangun dan keluar tanpa persiapan apa pun kecuali perut kosong.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Dago Pakar:</span> banyak restoran dan cafe-cafe yang lezat dan menarik. Aku mengunjungi Lesung. Mungkin pas sehabis hujan, pemandangannya tertutup oleh kabut. Tidak bisa melihat apa-apa selain yang di dalam cafe. Tersedia berbagai makanan mulai dari masakan Eropa, Cina, Jepang, dan masakan khas Bandung. Harga di atas rata-rata mahasiswa tapi terbayar dengan tempat dan suasananya. Di Dago Pakar juga ada the View, Jack House, Bukit Bintang, dan lain-lain.<br /><br />Yang tidak kesampaian adalah masuk k klub-klub lainnya dan ke Jack House hanya sekadar sekedar menyicipi <span style="font-style: italic;">wine </span>. Tapi partner melarang keras karena dia tidak suka melihat aku minum di depan matanya. Nah, masih banyak kok tempat-tempat romantis yang bisa dikunjungi selama liburan ke Bandung dan untuk bermesra-mesraan tanpa perlu takut. Ada Kawah Putih, Paris van Java, atau hanya berjalan kaki sekitas Ciampelas.<br /><br />Selamat berlibur kawan.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Tentang Dragon Fury:</span><br />Tinggal di Jakarta, bekerja sebagai seorang photografer <span style="font-style: italic;">freelance </span>di beberapa surat kabar, pecinta <span style="font-style: italic;">traveling</span>.SepociKopihttp://www.blogger.com/profile/09382951408629850089noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-754739704675390524.post-10236891308891950322009-09-30T00:02:00.000-07:002009-09-30T00:37:28.814-07:00Taman Bunga Nusantara<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/_fyhrxYN6pZo/SsMKiiiiX_I/AAAAAAAACv4/HG0Yph4nqZI/s1600-h/Taman_bunga_Nusantara.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 320px; height: 180px;" src="http://2.bp.blogspot.com/_fyhrxYN6pZo/SsMKiiiiX_I/AAAAAAAACv4/HG0Yph4nqZI/s320/Taman_bunga_Nusantara.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5387161167768739826" border="0" /></a>Oleh: LigX<br /><br />Pengunjung disambut dengan angsa hitam saat berada di gerbang Taman Bunga Nusantara. Angsa hitam tersebut merupakan maskot taman yang diresmikan oleh Alm. Soeharto, dan menjadi taman yang begitu unik. Tiga tahun yang lalu aku mengunjungi taman ini, bagiku ini adalah taman terindah yang pernah aku kunjungi dari berbagai taman-taman yang lain. Taman yang berlokasi Jl. Mariwati KM 7, Desa Kawungluwuk, Cianjur Jawa Barat ini merupakan taman yang berbeda dengan tama-taman yang ada yang ada di Indonesia. Dengan konsep taman display bunga pertama di Indonesia ini merupakan taman yang menyajikan berbagai koleksi tanaman bunga yang terkenal dan unik dari berbagai belahan dunia. Bukan hanya tanaman bunga yang menyuguhkan keelokan dan meyegarkan pandangan tapi di sini juga dilengkapi fasilitas-fasilitas yang dapat membuat pengunjung betah untuk berlama-lama di taman ini.<br /><br />Labirin dan menara pandang adalah salah satu fasilitas yang takkan pernah aku lupakan ketika aku berada di dalamnya. Aku tersesat di tengah-tengah labirin dengan beberapa teman, mencoba berbagai jalur untuk menemukan jalan keluarnya tetap saja tidak aku temukan, butuh waktu beberapa lama untuk segera keluar dari lorong-lorong tumbuhan yang tingginya kira-kira dua meter.<br /><br />Setelah berhasil keluar dari labirin, aku menaiki menara pandang yang menurutku bentuknya hampir menyerupai pagoda. Di atas ketinggian 28 meter aku dapat melihat pemandangan yang luar biasa menakjubkan, aku dapat melihat jelas alur jalan labirin yang sebelumnya aku kelilingi hingga bercucuran keringat, ah ternyata alur labirin itu mudah meskipun aku sempat merasa kesulitan ketika di dalamnya. Aku dapat melihat karpet bunga yang sungguh benar-benar seperti karpet yang entah bagaimana pambuatannya hingga dapat benar-benar menyerupai karpet. Beberapa taman kota yang ada di luar negeri pun terpampang jelas ketika aku berada di atas menara pandang ini. Taman Prancis, Taman Amerika, Taman Bali, Taman Mediterania, Taman Jepang dan Danau Angsa. Meskipun tidak semua dapat terlihat dengan jelas tapi taman ini wajib dikunjungi jika sedang berwisata dan melewati jalur ini. Dengan cuaca yang mendukung sungguh melengkapi suasana saat berada di taman bunga, apalagi berkunjung dengan partner tercinta, <span style="font-style: italic;">it's so romantic</span>.<br /><br />Taman bunga ini buka pada hari Ssenin-Jumat 08.00 s/d 17.00 WIB dan Sabtu, Minggu dan Hari Libur: 08.00 s/d 17.30 WIB dapat menjadi satu referensi saat bosan mengajak jalan partner ke tempat-tempat keramaian seperti mal yang hanya untuk menonton, makan dan nongkrong. Sesekali melakukan perjalan yang berbeda yang dapat mempererat jalinan hubungan dengan pasangan.<br /><br />Taman ini dilengkapi dengan berbagai fasilitas seperti penginapan, cafe, resto, toko suvenir, poliknik, dan wira-wiri agar pengunjung tidak perlu berjalan kaki untuk mengelilingi taman menjadi point plus dari taman ini. Tiket masuk yang terjangkau dapat membuat pengunjung tidak usah berpikir dua kali untuk datang ke tempat ini. Ada waktu luang dan ingin melepas penat dapat mengujungi taman ini kapanpun diinginkan. Jika anda kebetulan sedang berselancar di dunia maya dapat juga mampir ke www..tamanbunganusantara.com dan dapatkan berbagai informasi wisata yang lebih lengkap di sini.<br /><br />Have a nice trip<br /><br />@LigX, SepociKopi, 2009Anonymousnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-754739704675390524.post-4126348451077916292009-08-19T19:34:00.000-07:002009-08-20T00:12:11.121-07:00Palembang: Kota Tua yang IstimewaOleh: Janit Wk.<br /><br />Palembang sebagai ibukota dari provinsi Sumatera Selatan ini lahir pada tanggal 17 Juni 683 M, maka tak heran Palembang dikenal sebagai kota tua. Luas wilayah kota Palembang adalah 102,47 km2, walau letaknya cukup strategis karena dilalui jalur lalu lintas pulau Sumatera, namun tak bisa dipungkiri, kota Palembang sendiri minim panorama wisata. Di Palembang tak ada pantai-pantai indah karena letak Sumatra Selatan sendiri di tengah-tengah diapit Provinsi Sumatera Barat, Bengkulu, dan Jambi. Tak ada lembah dan gunung yang indah, jika ingin suasana seperti perkebunan teh di daerah puncak Bandung. Kita harus menempuh jarak 7 jam perjalanan menuju daerah kabupaten lain yaitu Pagaralam, di luar wilayah Palembang,walaupun Pagaralam sendiri salah satu kabupaten di wilayah Provinsi Sumatera Selatan juga.<br /><br />Perubahan signifikan tampak saat Palembang berbenah diri menjadi tuan rumah PON XVI Tahun 2004. Aku yang saat itu masih giat-giatnya menempuh pendidikan di bangku kuliah melihat dengan jelas upaya yang dilakukan oleh Pemda setempat, mulai dari meningkatnya jumlah hotel bintang lima yang dulu hanya tak lebih dari hitungan sebelah tangan saja, renovasi bandara, pembangunan stadion sepak bola yang sampai sekarang menjadi kebanggaan masyarakat palembang dan menjadi markas besar Sriwijaya FC “Laskar Wong Kito“, hingga pembangunan mal-mal yang cukup menghibur masyarakat kota Palembang yang masih minim akan hiburan<br /><br />Jembatan Ampera sebagai maskot kota Palembang saat ini merupakan jembatan penghubung antara dua daerah di Palembang yang terbelah Sungai Musi, yaitu daerah seberang ulu dan seberang ilir. Sungai Musi yang panjang nya kurang-lebih 750 kilometer ini menjadi sungai yang terpanjang di Pulau Sumatra dan menjadi urat nadi kehidupan masyarakat kota Palembang. Air dari sungai ini menjadi sumber air bagi PDAM yang mengalir ke rumah-rumah penduduk.<br /><br />Di tengah-tengah Sungai Musi sendiri terdapat pulau kecil yang mesti ditempuh melalui perahu atau tongkang, pulau ini dsebut Pulau Kemaro. Di pulau ini terdapat pagoda yang sering digunakan oleh orang-orang keturunan tionghoa dalam perayaan Tahun Baru China atau perayaan keagamaan yang lain. Aku sendiri sampai saat ini belum pernah mempunyai kesempatan untuk berkunjung ke Pulau Kemaro, suatu saat aku pasti akan ke sana. Secara keseluruhan objek wisata yang menjadi andalan masyarakat kota Palembang saat ini adalah Sungai Musi, Jembatan Ampera, Masjid Agung Sultan Mahmud Badarudin II, Hutan wisata Punti Kayu, Benteng Kuto Besak, Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya, Taman Purbakala Bukit Siguntang, Monumen perjuangan rakyat, Musium Balaputra dewa, Museum Sultan Mahmud Badarudin II Palembang, Kampung Kapitan, Kampung Arab, Pusat kerajinan songket, Pulau Kemaro, dan Fantasy Island.<br /><br /><center><embed type="application/x-shockwave-flash" src="http://picasaweb.google.co.id/s/c/bin/slideshow.swf" flashvars="host=picasaweb.google.co.id&hl=en_US&feat=flashalbum&RGB=0x000000&feed=http%3A%2F%2Fpicasaweb.google.co.id%2Fdata%2Ffeed%2Fapi%2Fuser%2Fkucingmanis%2Falbumid%2F5371906499176557297%3Falt%3Drss%26kind%3Dphoto%26hl%3Den_US" pluginspage="http://www.macromedia.com/go/getflashplayer" height="282" width="388"></embed><br />foto oleh: Janit Wk.</center><br /><br />Di kota Palembang ada wilayah yang menjadi ciri khas dari suatu komunitas seperti kampung kapitan yang terletak di daerah 7 ulu yang merupakan wilayah komunitas Tionghoa dan kampung Al-Munawar yang tersebar di pinggiran Sungai Musi daerah Palembang ulu dan Palembang ilir yang merupakan wilayah komunitas Arab. Bahasa dan budaya Palembang sendiri kental akan nuansa Jawa. Gelar kebangsawanan seperti Raden Mas/ Ayu, Kemas atau Nyimas yang mengisyaratkan kalau gelar ini adalah keturunan dari kesultanan atau raja-raja Palembang, masih dipakai oleh orang-orang yang berhak memakainya karena garis keturunan mereka, jadi aku bisa tahu temanku orang Palembang ‘asli’ atau bukan jika mereka memakai gelarnya. Palembang sendiri merupakan perpaduan dari berbagai macam suku dan budaya, Melayu, Tionghoa, Jawa, Arab, bercampur menjadi satu dalam suatu keselarasan.<br /> <br />Semua orang tahu yang sangat terkenal dari kota Palembang adalah makanan khasnya, Pempek atau suka di sebut Empek-Empek, makanan yang diolah dari tepung terigu/sagu, dicampur dengan daging ikan yang sudah dihaluskan, dapat dibentuk sesuai selera, bisa disantap dengan proses rebus atau goreng, yang membuat pempek lebih enak adalah dari kuahnya, disebut cuko, yang terbuat dari rebusan air gula merah/aren. Air gula itu dicampur dengan bumbu cabe rawit, bawang putih, dan sedikit garam yang sudah dihaluskan. Aku kasih tau ya rahasia kenapa Pempek Palembang lebih enak rasanya dibandingkan jika teman-teman mencicipi pempek di daerah lain, menurut mamaku yang aku nilai jago juga membuat pempek beserta cukonya ini,rahasianya adalah terletak di ikan sungai yang harus benar-benar segar (biasanya ikan gabus atau ikan belida) selain itu yang penting juga adalah cukonya harus berasal dari gula merah pilihan. Di Palembang menggunakan gula merah batok yang berasal dari Lubuk Linggau.<br /><br />Aku lebih suka menyebut Palembang sebagai surga wisata kuliner, karena bagiku makanan khas yang ada di kotaku ini sangat beraneka ragam, orang dari luar kota hanya mengenal Pempek, padahal masih bnyak yang lain seperti Model; adonan sama seperti pempek kapal selam tapi diisi tahu, yang disantap bersama kuah seperti kuah sup, tapi mempunyai bumbu yang lebih khas. Tekwan; hampir mirip dengan model tapi tidak ada tahunya. Laksan ; bahan dan bentuknya sama seperti pempek lenjer, hanya kuahnya sedikit beda diberi santan dan cabe merah,sehingga warna kuahnya sedikit merah. Celimpungan; rasanya sama seperti laksan, berbeda di bentuk. Celimpungan berbentuk bulat bergerigi seperti bakso kecil, lagi-lagi perbedaan ada di kuah, kuah celimpungan berwarna sedikit kuning karena diberi bumbu kunyit. Makanan khas Palembang lainnya ialah Burgo, pindang patin, pindang tulang, malbi, otak-otak, mie celor, tempoyak, kemplang, kerupuk, kue maksubah, kue delapan jam, kue sri kayo. Semua makanan khas ini mempunyai cita rasa yang tinggi, lebih enak menjelaskan seluk beluk makanan-makanan ini sambil kita mencicipinya.<br /><br />Oya, ada satu lagi ciri khas dari kota ini, yaitu mainan anal-anak yang berbentuk miniatur pesawat terbang dan kapal laut yang terbuat dari kayu gabus, yang biasanya dilengkapi dengan telur ayam rebus yang diberi pewarna merah,telur ayam berwarna merah inilah yang di sebut dengan “telok abang“. Di usiaku yang telah melebihi seperempat abad aku ternyata baru tahu kalau mainan anak-anak ini hanya ada di kota ku. Uniknya mainan ini hanya akan muncul bersamaan dengan datangnya bulan Agustus, menambah semaraknya perayaan kemerdekaan 17 Agustus.<br /><br />Palembang di malam hari akan lebih gemerlap dengan cahaya warna-warni, menambah semarak kota, mulai dari Jembatan Ampera sampai gedung wali kota yang lebih indah saja malam hari. Aku sendiri lebih suka hang out di tempat yang disebut Kambang Iwak Family Park. Tempat ini mulai ramai beroperasi setiap harinya kurang-lebih pada pukul dua siang, memang tempat yang dikhususkan untuk tempat rekreasi di tengah-tengah kota ini lebih ‘hidup’ pada saat malam menjelang.<br /><br />Pada sore hari banyak orang yang jogging mengelilingi areal Kambang Iwak ini. ‘kambang‘ sendiri artinya kolam dan ‘iwak’ artinya ikan. Jadi tempat ini adalah kolam ikan yang luas yang disekelilingnya ditumbuhi pepohonan rimbun, dengan air mancur di tengah kolam. Tempat ini dibangun sebagai tempat penampungan air hujan dan tempat muara mengalirnya air menuju Sungai Musi. Baru awal tahun 2009 telah resmi dibuka Kambang Iwak Family Park, sehingga semakin banyak toko yang buka di areal kambang iwak ini, mulai dari toko makanan beraneka macam, memakai konsep café atau resto terbuka, ada juga distro yang menjual aksesori ataupun baju-baju,<br /><br />Walau gaydar-ku belum terlalu tajam, pada saat aku berada di kawasan KIF ini aku dapat menangkap dengan jelas jika ada lesbian yang juga sedang hang out di tempat ini, walaupun tempat ini bukan khusus tempat hang out lesbian. Ada yang bergerombol dan ada pula yang berpasangan. Jadi, mungkinkah ada pembaca SepociKopi ini yang pernah kulihat di sana?<br /><br />@Janit Wk., SepociKopi, 2009<br /><span style="font-weight: bold;"><br />Tentang Janir Wk:</span><br />Lahir di Palembang 27 tahun silam. Lulusan teknik elektro yang kini bekerja di bidang marketing farmasi.Anonymousnoreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-754739704675390524.post-16343005953758972262009-05-27T23:47:00.000-07:002009-05-28T00:09:21.915-07:00Perjalanan Sejarah dari Xian<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/_fyhrxYN6pZo/Sh42yR3-soI/AAAAAAAACk8/dnG5QAce-ZQ/s1600-h/cina1.JPG"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer; width: 320px; height: 240px;" src="http://4.bp.blogspot.com/_fyhrxYN6pZo/Sh42yR3-soI/AAAAAAAACk8/dnG5QAce-ZQ/s320/cina1.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5340766445527544450" border="0" /></a><br />Oleh: Grey Sebastian<br /><br />Setiap tanggal 1 Mei di China merupakan hari libur untuk merayakan <span style="font-style: italic;">Labor Day </span>atau kadang disebut <span style="font-style: italic;">May Day</span>. Karena kebetulan 1 Mei kali ini jatuh di hari Jumat makanya aku memiliki waktu santai untuk berlibur ke luar kota. Aku memilih Xian untuk liburan kali ini.<br /><br />Sebenarnya aku penasaran sekali ke Xian. Di sana ada Terracotta; patung-patung prajurit yang terbuat dari tanah liat. Konon patung-patung tersebut di buat atas keinginan Kaisar pertama China Qin Shi Huang yang tidak mau sendirian saat ia meninggal.<br /><br />Qin Shi Huang naik tahta di usia 13 tahun. Di usia 22 tahun ia memegang kendali kerajaan sepenuhnya. Tidak lama setelah naik tahta, ia memerintahkan sekitar 700,000 pekerja untuk membangun Musoleum tentang dirinya beserta patung-patung prajurit Terracotta tersebut. Dan ketika Qin Shi Huang meninggal, putranya Qin Er Shi memerintahkan para pekerja yang tidak memiliki keluarga dan tidak dapat bekerja lagi agar dikubur hidup-hidup bersama jenasah sang Kaisar pertama.<br /><br />Terracotta ditemukan secara tidak sengaja oleh empat orang petani yang saat itu sedang menggali sumur untuk mengairi tanah mereka. Saat ini Terracotta sering disebut sebagai keajaiban dunia kedelapan. Sehingga ada pepatah yang mengatakan kalau belum melihat Terracotta, artinya belum pergi ke China.<br /><br />Namun selain Terracotta, Xian memiliki banyak sekali tempat-tempat bersejarah menarik lainnya seperti tembok kota Xian, Hua Qing <span style="font-style: italic;">Pool</span>, Menara <span style="font-style: italic;">Drum dan Bell,</span> Gunung Hua, Masjid Agung Xian dan lainnya yang tidak sempat aku kunjungi saking banyaknya.<br /><br />Sedikit informasi, lama perjalanan dari Beijing ke Xian adalah tiga belas jam menggunakan kereta. Otomatis meski dibilang empat hari tur, tapi kenyataannya dua hari di kereta dan hanya dua hari di Xian. Maka itu tidak banyak tempat yang bisa dikunjungi dalam waktu sesingkat itu.<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/_fyhrxYN6pZo/Sh42ytBlkCI/AAAAAAAAClE/QjxbXdLcW8M/s1600-h/cina2.JPG"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer; width: 240px; height: 320px;" src="http://4.bp.blogspot.com/_fyhrxYN6pZo/Sh42ytBlkCI/AAAAAAAAClE/QjxbXdLcW8M/s320/cina2.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5340766452815597602" border="0" /></a><br />Pada hari pertama, setibanya di Xian, sebelum ke Terracotta, aku mengunjungi Hua Qing Pool terlebih dahulu. Hua Qing <span style="font-style: italic;">Pool </span>adalah tempat pemandian Kaisar beserta permaisurinya dan anggota keluarga kerajaan lainnya. Di bangun pada jaman Dinasti Zhou (1100–771 SM). Hua Qing <span style="font-style: italic;">Pool </span>ini juga merupakan tempat sauna pertama di dunia karena air pemandian di sini berasal dari sumber mata air panas alami.<br /><br />Konon salah seorang dari empat wanita tercantik sepanjang sejarah China, yang juga merupakan selir kesayangan Kaisar Li Long Ji, yaitu Selir Yang, suka sekali mandi di pemandian ini. Inilah yang mengangkat reputasi Hua Qing Pool. Pada tanggal 12 Desember 1936, di Hua Qing <span style="font-style: italic;">Pool</span> terjadi insiden Xian yang mengejutkan dunia.<br /><br />Di hari kedua, aku mengunjungi Tembok kota Xian. Tidak jelas kapan Tembok kota Xi’an di bangun, tapi sejarah mencatat bahwa tembok itu diperbesar pada tahun 1374-1378 oleh Dinasti Tang. Tembok ini memiliki panjang 11,9 Km, tinggi sekitar 30 meter, lebar 15 meter, dan empat menara penjagaan. Untuk mengitari tembok ini bisa menggunakan sepeda. Karena itu di setiap menara penjagaan ada tempat penyewaan sepeda. Satu sepeda disewakan dengan harga 40RMB per jam.<br /><br />Setelah Tembok kota Xian, aku pergi ke <span style="font-style: italic;">Wild Goose</span> Pagoda, tapi tidak sempat masuk karena waktu yang sangat terbatas. Dari situ aku ke Menara <span style="font-style: italic;">Drum dan Bell</span>. Di menara ini aku juga tidak naik ke atasnya karena harus membayar cukup mahal. Menara seperti ini ada di setiap kota di China, termasuk Beijing. Jadi menurutku kurang unik. Akhirnya aku memilih mengunjungi Masjid Agung Xian.<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/_fyhrxYN6pZo/Sh42y_-gMYI/AAAAAAAAClM/xkjZzWK2ZSY/s1600-h/cina3.JPG"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer; width: 240px; height: 320px;" src="http://4.bp.blogspot.com/_fyhrxYN6pZo/Sh42y_-gMYI/AAAAAAAAClM/xkjZzWK2ZSY/s320/cina3.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5340766457902936450" border="0" /></a><br />Dari arah utara barat Menara <span style="font-style: italic;">Drum and Bell</span> Xian, dibangun sebuah Mesjid Agung. Masjid Agung seluas 12,000 m2 ini dibangun pada jaman Dinasti Tang (618-907), dan diperbaiki pada jaman Dinasti Ming (1368-1644). Mesjid ini dibagun untuk menghormati sebagian penduduk Xian yang menganut agama Islam.<br /><br />Dokumen-dokumen bersejarah mencatatkan masuknya Islam ke China melalui 2 jalan. Jalan pertama melalui perdagangan sutra dari Asia barat ke Xian yang saat itu disebut sebagai Changan lalu ke Xinjiang Uygur, sebuah daerah otonomi. Jalan lainnya yaitu melalui Dinasti Sing (960-1279) melalui Samudera Hindia ke daerah tenggara China.<br /><br />Karena saat ini Masjid Agung tersebut sudah dibuka untuk umum, maka sepanjang jalan menuju masjid ini dipenuhi toko-toko yang menjual souvenir dan restorant-restorant muslim yang dijamin halal. Saat hari libur seperti <span style="font-style: italic;">May Day</span> kemarin, jalan ini benar-benar dipadati turis lokal maupun turis asing.<br /><br />Masjid Agung Xian adalah tempat terakhir yang sempat aku kunjungi, karena tidak terasa aku sudah harus pergi ke stasiun kereta untuk segera kembali ke Beijing. Mungkin lain kali aku harus menyediakan waktu yang lebih panjang untuk mempelajari sejarah-sejarah Cina yang sangat mengagumkan.<br /><br />@Grey Sebastian, SepociKopi, 2009<br />Photos by Grey SebastianSepociKopihttp://www.blogger.com/profile/09382951408629850089noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-754739704675390524.post-56901822713261488202009-05-14T00:10:00.000-07:002009-05-14T00:49:47.487-07:00Penang: Kota Kenangan<embed type="application/x-shockwave-flash" src="http://picasaweb.google.co.uk/s/c/bin/slideshow.swf" flashvars="host=picasaweb.google.co.uk&hl=en_US&feat=flashalbum&RGB=0x000000&feed=http%3A%2F%2Fpicasaweb.google.co.uk%2Fdata%2Ffeed%2Fapi%2Fuser%2Fkucingmanis%2Falbumid%2F5335532019369398817%3Falt%3Drss%26kind%3Dphoto%26hl%3Den_US" pluginspage="http://www.macromedia.com/go/getflashplayer" width="288" height="192"></embed><br /><br />Oleh: d'<br /><br />Hari masih pagi, cuacanya juga cerah ketika aku kembali menginjakkan kakiku di Pulau Penang, Malaysia. Kalau dulu, alasanku berkunjung ke Penang hanya karena ingin <span style="font-style: italic;">refreshing </span>atau lagi ngidam Hainan Chicken Rice kayak orang hamil. Yah, entah kenapa, aku pribadi merasa Hainan Chicken Rice di sini nikmat untuk kulahap. Dan entah kenapa aku cenderung menyukai aroma kehidupan yang santai di kota ini dibandingkan Kuala Lumpur yang megah gemerlap.<br /><br />Kedatanganku ke Penang kali ini selain untuk <span style="font-style: italic;">refreshing</span>, adalah menemui seorang perempuan. Tapi bukan itu yang ingin kubahas, melainkan beberapa tempat wisata di kota ini.<br /><br />Nah dulu itu, aku mengambil paket City Tour. Jadi begitu tiba di airport, aku sudah dijemput oleh <span style="font-style: italic;">guide</span>-nya. Dari bandara, kami menuju ke Snake Temple, sebuah kuil yang letaknya tak berapa jauh dari bandara. Kuilnya tidak terlalu besar ataupun megah, tapi di sini bisa dijumpai beranekaragam jenis ular.<br /><br />Lalu kita pun menuju Fort Cornwallis. Tempat ini menjadi saksi bisu bagi sejarah Pulau Penang. Kononnya di tempat ini Kapten Francis Light pertama kali menginjakkan kaki dan kemudian dia membangun sebuah benteng, yang olehnya benteng ini diberi nama Fort Cornwallis.<br /><br />Dulunya, Fort Cornwallis ini berfungsi sebagai benteng pertahanan di Pulau Penang. Sejumlah meriam terpasang di sekeliling benteng yang hingga kini masih bisa dijumpai di sana, utuh, dan kini dengan fungsi yang sudah berbeda tentunya. Fort Cornwallis sudah bukan lagi benteng pertahanan tapi sudah dijadikan sebagai salah satu tempat wisata yang ramai dikunjungi oleh para wisatawan. Dan ketika kuhirup udaranya, tempatnya terkesan <span style="font-style: italic;">so historical.</span><br /><br />Dari sana, kemudian kami menuju Wat Chayamankalarm. Wat Chayamankalarm adalah kuil umat Buddha merayakan festival Songkran dan Loy Krathong. Di kuil ini dapat kita temukan sebuah patung Buddha tidur, yang mana patung Buddha tersebut berpose dalam keadaan berbaring miring, sepanjang 33 meter dan berlapiskan emas.<br /><br />Di Penang kononnya memang terdapat banyak sekali kuil dan pagoda. Tetapi aku cuma berkesempatan mengunjungi beberapa di antaranya saja. Secara kata Pak Guide, yang lain tidaklah begitu menarik. Jadi dia membawaku ke tempat yang memang ramai diminati/dikunjungi oleh wisatawan.<br /><br />Selanjutnya aku menuju kuil lain lagi. Kata Pak Guide, kuil yang akan kami kunjungi ini adalah salah satu kuil/pagoda yang terbesar di kawasan Penang. Dan... benar saja. Ketika tiba di sana, aku seketika berdecak kagum menyaksikan kemegahan kuil ini. Untuk masuk ke kuilnya, kita akan melintasi jembatan di mana di bawah jembatan ini terdapat Sungai Air Itam. Di sini bisa kita jumpai ratusan kura-kura yang kononnya sudah berusia kurang-lebih lima puluh tahunan. Di sepanjang jalan, dipenuhi dengan penjual pernak-pernik suvernir khas Penang.<br /><br />Di sini terdapat banyak ukiran dan patung Buddha. Dan untuk mengagumi sebuah karya tangan manusia, aku suka menyentuhnya. Ketika aku menyentuh ukiran-ukiran batu tersebut, ukiran-ukiran itu sangatlah halus. Benar-benar karya manusia yang luar biasa.<br /><br />Kuil ini letaknya di atas bukit, tapi untuk menuju ke pagoda utamanya harus dijangkau lagi dengan menggunakan <span style="font-style: italic;">mini train </span>(kunamai saja seperti ini, secara aku lupa namanya).<br /><br />Nah, di sana ada patung raksasa Dewi Kwan Im (Avalokitesvara) yang bisa kita temukan di pagoda Kee Lok Si, Penang. Patung ini terbuat dari perunggu dengan ukuran 30,2 meter dan terletak di bagian paling atas kuil.<br /><br />Setelah itu, perjalanan dilanjutkan ke Penang Hill atau dikenal dengan sebutan Bukit Bendera. Untuk bisa mencapai puncak dari tempat ini kita harus menggunakan <span style="font-style: italic;">Train </span>listrik.<br /><br />Penang Hill ini berada di ketinggian 830 meter di atas permukaan laut. Itulah alasannya kenapa dari puncak ini kita bisa melihat secara keseluruhan dari Kota Penang. Penang Hill merupakan tempat tertinggi dan tersejuk di Penang.<br /><br />Sebenarnya masih ada beberapa tempat wisata lain di Penang. Seperti Batu Ferringhi yang merupakan kawasan pantai, katanya memiliki jajanan malam tradisional dan beraneka ragam makanan Eropa serta berbagai macam barang dagangan. Tapi sayangnya, aku pribadi belum pernah ke sana pada malam hari. Jadi, seperti ini suasana pantai yang aku temui di sana, di siang hari nan terik. Panassssss....<br /><br />Jika tidak menyukai wisata alam, di Penang juga terdapat banyak kok pusat-pusat perbelanjaan, seperti Gurney Plaza, Prangin Mall atau yang terbaru ada Queensbay.<br /><br />Jangan takut tersesat karena penduduknya ramah. Apalagi kalau kamu berduit, pasti dilayani dengan baik <span style="font-style: italic;">(hehehe, kidding). </span>Penduduk setempat baik kok. Pada umunya bisa berbahasa Melayu, ada yang pintar Hokkian dan beberapa fasih Mandarin. Bahkan juga berbahasa Tamil atau Hindi. Jadi, yah santai saja. Tidak perlu takut untuk <span style="font-style: italic;">miscommunication.</span><br /><br />Akhir kata, Penang adalah kota yang asyik buat dikunjungi atau dijadikan sebagai tempat liburan. <span style="font-style: italic;">So, I will go back there again huh, next time, next trip. Let’s go Penang.</span><br /><br />@d', SepociKopi, 2009<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Tentang d':</span><br />Tinggal di Medan, usia 29 tahun, bekerja sebagai pegawai swasta, berusaha keras (walaupun sulit) agar tidak tenggelam dalam krisis kepercayaan penemuan cinta sejati (versi dongeng) yang sejak kecil sangat diyakininya.SepociKopihttp://www.blogger.com/profile/09382951408629850089noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-754739704675390524.post-58025321627430522009-02-18T00:41:00.000-08:002009-02-18T01:06:06.448-08:00Nanning: Indonesian Town in China<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/_fyhrxYN6pZo/SZvHZIJkTOI/AAAAAAAACTU/58so30SzHFU/s1600-h/naning3.jpg"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer; width: 200px; height: 150px;" src="http://2.bp.blogspot.com/_fyhrxYN6pZo/SZvHZIJkTOI/AAAAAAAACTU/58so30SzHFU/s200/naning3.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5304052220657159394" border="0" /></a>Oleh: Grey Sebastian<br /><br />Sebelum aku balik ke Jakarta, selama dua minggu aku menghabiskan liburanku di kota Nanning, ibukota provinsi Guangxi, China. Di salah satu pinggiran kota Nanning inilah sebagian keluargaku tinggal, setelah pembuangan orang Indonesia “keturunan” China yang terjadi sekitar tahun 1965.<br /><br />Sebenarnya kalau bukan karena janji yang sudah diucapkan keluargaku sejak beberapa tahun yang lalu untuk datang mengunjungi keluarga yang di China, aku sama sekali tidak akan terpikir untuk datang ke kota ini. Karena meskipun Nanning adalah ibukota provinsi Guangxi, tapi Nanning tetaplah sebuah kota kecil yang jarang diketahui orang. Bahkan orang-orang China yang bukan berasal dari daerah Guangxi, juga jarang mendengar nama kota ini. Selain itu, di kota ini tidak ada tempat wisata yang populer.<br /><br />Seminggu setelah Imlek, tepatnya tanggal 1 Februari 2009 kemarin adalah hari bersejarah untuk pamanku di Nanning. Hari itu pamanku resmi menikahi gadis yang sudah dipacarinya selama beberapa tahun. Karena kebetulan aku sedang bersekolah di China, sejak jauh-jauh hari aku sudah diingatkan untuk wajib hadir di acara pernikahan mereka. Aku mewakili keluarga besarku di Indonesia yang sudah pasti tidak mungkin hadir karena ongkosnya mahal.<br /><br />Oh ya, berhubung Beijing bagaikan kota tanpa penduduk menjelang perayaan Imlek, sejak tanggal 21 Januari aku sudah tiba di Nanning. Jadi sekalian merayakan Imlek di sana. Mulanya, sehari setelah Imlek sampai dengan hari pernikahan pamanku, aku ingin berangkat ke Hong Kong selama lima hari. Sungguh malas menginap di rumah orang lama-lama. Tapi Tuhan berkehendak lain! Aku kehabisan tiket ke Hong Kong sehingga otomatis selama dua minggu aku menjadi penduduk sementara kota Nanning.<br /><br />Selama dua minggu, hampir setiap hari aku diajak berliling kota, berwisata kuliner, dan diperkenalkan kepada warga sekitar. Aku baru menyadari kalau Nanning adalah<span style="font-style: italic;"> Indonesian Town</span> di China. Konon, kota ini adalah kota penampungan bagi para <span style="font-style: italic;">Hua Qiao</span> (sebutan untuk orang keturunan China) yang mengalami pembuangan dari Indonesia sekitar tahun 1965.<br /><br />Hampir semua para tetua di kota ini bisa berbahasa Indonesia, meskipun bukan bahasa Indonesia yang baku. Tapi logat Jawa, Cirebon, Cilamaya, Sunda masih sangat kental. Angkatan para pemuda mengerti bahasa Indonesia secara pasif. Hampir di setiap sudut kota banyak toko kue yang menjual <span style="font-style: italic;">Yin ni Dan gao</span> (kue-kue Indonesia).<br /><br />Selera masakan juga ternyata mirip dengan rasa Indonesia. Ada bakso yang nikmatnya mirip Bakso <span style="font-style: italic;">Afung </span>di Jakarta, hanya kuahnya lebih kental. Ada <span style="font-style: italic;">Chao Fen </span>yang 100% sama dengan <span style="font-style: italic;">Cong Fan</span>, makanan khas daerah Medan.<span style="font-style: italic;"> La jiang</span> (saus pedas) rasanya mirip sambal bawang putih Lampung. Duh enaknya, sebab aku selalu bawa sambal sendiri setiap kali makan di mana-mana. Tidak pernah ada sambal di kota-kota lain di China seperti sambal di Nanning.<br /><br />Saat malam imlek, pada sebuah acara TV aku menonton lagu-lagu <span style="font-style: italic;">Bengawan Solo </span>dan <span style="font-style: italic;">Nona Manis. </span>Mereka mengenakan kebaya. Kata pamanku, acara seperti itu diadakan setiap tahun, termasuk perlombaan tari-tarian khas Indonesia yang diselenggarakan tiap minggu. Ratusan orang mengikuti kelompok menari di balai desa. Tentu saja lagu yang mengiringi tarian mereka adalah lagu-lagu Indonesia jadul. Tarian mereka mirip tarian Jaipong. Sementara itu, sastra Indonesia termasuk pelajaran yang banyak peminatnya di kampus-kampus di kota Nanning.<br /><br />Di akhir pesta pernikahan pamanku, aku juga baru tahu kalau setiap akhir pesta harus ada acara joget bersama. Itu tradisi! Jogetnya tentu saja menggunakan lagu-lagu Indonesia, khususnya lagu dangdut.<br /><br />Pokoknya aku salut banget deh! Segala sesuatu yang berbau Indonesia sangat dihargai di Nanning. Karena di Jakarta, orang-orangnya sendiri tidak menghargai kebudayaan khas Indonesia. Dan karena aku datang dari Indonesia, mereka memperlakukanku bagai tamu agung lho :P<br /><br />Salam dari Nanning buat Indonesia!<br /><br />@Grey Sebastian, SepociKopi, 2009Anonymousnoreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-754739704675390524.post-57760473070562156242008-10-29T19:09:00.000-07:002008-10-29T19:52:25.389-07:00Batam Kota KehidupanOleh: Anggra<br /><br />Sejak pertama kali memutuskan untuk bekerja di Pulau Batam yang ada di benakku hanyalah pikiran untuk mencoba belajar hidup mandiri dan melepaskan ketergantungan keuangan pada orangtua. Selain itu, aku yang sudah menyadari orientasi seksualku tentu saja selain ingin bekerja juga ingin mencari perempuan yang kuidamkan sebagai teman hidupku.<br /><center><br /><table style="width:auto;"><tr><td><a href="http://picasaweb.google.com/lh/photo/OIlMhheon2362Q_sNPQg-A"><img src="http://lh5.ggpht.com/_fyhrxYN6pZo/SQkMpPQDhzI/AAAAAAAABcw/0nRl5gjT4dk/s288/batam1.jpg" /></a></td></tr><tr><td style="font-family:arial,sans-serif; font-size:11px; text-align:center"> </table><br />Photo: Kawasan Industri Batamindo</center><br /><br />Batam terkenal sebagai kota industri, sekitar dua puluh enam kawasan industri tersebar di setiap sudut kota dan lebih dari lima ratus perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur dan galangan kapal beroperasi di sini. Di antara perusahaan tersebut terdapat beberapa perusahaan raksasa seperti Ciba Vision, Panasonic, dan McDermott.<br /><br />Dulu saat jumlah penduduk kota Batam masih sedikit, lapangan pekerjaan masih terbuka lebar dan perjudian masih belum dilarang oleh pemerintah, maka kota Batam benar-benar menjadi magnet bagi para pencari kerja. Tapi seiring bertambahnya jumlah penduduk kota Batam yang mengakibatkan lapangan pekerjaan semakin sempit dan perjudian sudah dilarang oleh pemerintah, Batam tidak lagi menjadi kota primadona bagi para pencari kerja. Tapi walaupun demikian pemerintah kota Batam tetap membatasi laju pertambahan penduduk yang berasal dari daerah lain dengan memberlakukan peraturan masuk bagi para pendatang baru pada pintu masuk pelabuhan ferry domestik.<br /><br />Hidup di tengah kota yang heterogen sangat menyenangkan karena bisa menambah wawasan tentang bahasa dan budaya daerah lain seperti budaya Batak, Jawa, dan Minang. Walaupun demikian, keanekaragaman budaya di kota Batam tetap dipayungi oleh satu budaya yaitu budaya Melayu.<br /><center><table style="width:auto;"><tr><td><a href="http://picasaweb.google.com/lh/photo/cvdeG_CyAxROfjorKVnuIw"><img src="http://lh3.ggpht.com/_fyhrxYN6pZo/SQkMpORpSdI/AAAAAAAABc4/O6u91ar-cRI/s288/batam2.jpg" /></a></td></tr><tr><td style="font-family:arial,sans-serif; font-size:11px; text-align:right"></table><br /> Photo: Ferry Terminal Batam Center</center><br /><br />Akses menuju Batam dapat ditempuh melalui jalur udara dan laut. Melalui jalur udara, Bandara Internasional Hang Nadim siap melayani rute penerbangan dari berbagai kota di Indonesia. Melalui jalur laut, pelabuhan domestik Sekupang siap menerima kedatangan para pengunjung dari berbagai daerah di Indonesia. Sedangkan pelabuhan ferry internasional yang terletak di lokasi Batam Center, Batu Ampar (Harbour Bay), Nongsa, Waterfront City, dan Sekupang siap menghubungkan Anda dengan Singapura dan Malaysia. Dengan menggunakan kapal ferry jarak tempuh antara Pulau Batam dan Singapura hanya 45 menit sama seperti dengan jarak tempuh antara pulau Batam dan Malaysia.<br /><center><br /> <table style="width:auto;"><tr><td><a href="http://picasaweb.google.com/lh/photo/W4IGgRgqVdHNuJmEfR75mQ"><img src="http://lh5.ggpht.com/_fyhrxYN6pZo/SQkMpK7HISI/AAAAAAAABdA/g14hCRPI3gk/s288/batam3.jpg" /></a></td></tr><tr><td style="font-family:arial,sans-serif; font-size:11px; text-align:right"></table><br /> Photo: Batam City Square Mall</center><br /><br />Bila sudah sampai di Batam, silakan memuaskan hasrat untuk berbelanja barang elektronik, aneka merek parfum berkualitas dengan harga yang lebih murah dan berbagai jenis batu akik berkualitas yang rata-rata berasal dari Thailand. Lokasi penjualan batu akik adalah di mal Nagoya Hill, tepatnya di depan Hypermart. Dengan keberadaan pelabuhan ferry internasional maka pada setiap akhir pekan mal-mal besar yang ada di kota Batam seperti Mega Mall, Nagoya Hill Mall, Batam City Square (BCS) selalu dipenuhi oleh para pengunjung yang berasal dari Singapura dan Malaysia. Hal ini sangat kontras dengan kebiasaan warga negara Indonesia yang lebih suka berbelanja di Singapura demi gengsi.<br /><br />Bagi Anda yang menyukai wisata kuliner terutama makanan laut, Batam adalah tempatnya. Di sini terdapat banyak restoran yang menyediakan makanan laut. Yang menunya paling lengkap dan terkenal adalah restoran tepi Laut Golden Prawn yang terletak di daerah Bengkong Laut, di sini Anda bisa memilih sendiri berbagai jenis ikan yang masih dalam keadaan hidup, kepiting dan lobster yang berukuran jumbo. Selain itu restoran Rezeki yang terletak di Batu Besar bisa juga menjadi pilihan selanjutnya. Dan ada juga sop seafood Yongki yang sudah sangat terkena yang berlokasi di kompleks pertokoan Nagoya. Secara aku adalah penikmat makanan seafood, tempat makan yang telah kusebutkan tadi dijamin maknyus.<br /><center><table style="width:auto;"><tr><td><a href="http://picasaweb.google.com/lh/photo/xzj65oW8nvGa5yS7Qlhpsw"><img src="http://lh3.ggpht.com/_fyhrxYN6pZo/SQkMpM-pSZI/AAAAAAAABdI/ix4DemBt6zg/s288/batam4.jpg" /></a></td></tr><tr><td style="font-family:arial,sans-serif; font-size:11px; text-align:right"></table><br /> Photo: Jembatan Barelang</center><br /><br />Setelah perut kenyang, tiba saatnya bagi Anda untuk menjelajahi tempat-tempat wisata di kota Batam seperti menikmati pemandangan laut dari atas Jembatan Barelang yang berdiri kokoh sebagai ikon kota Batam, atau menikmati keindahan pantai yang tersebar di sekitar Pulau Batam seperti Pantai Nongsa, Pantai Melur, Pantai Sekilak, Pantai Marina City atau memandang patung raksasa Dewi Kwan-Im yang berada di Pantai Tanjung Pinggir. Selain wisata pantai, Batam juga menyediakan resort yang bertaraf internasional dengan fasilitas hotel yang berkualitas dan lapangan golf yang bagus.<br /><br />Lelah menikmati keindahan kota Batam maka tiba saatnya bagi Anda untuk membeli oleh-oleh buat orang yang dicintai. Kalau dulu hanya aneka cokelat yang bisa dijadikan oleh-oleh tapi sekarang sudah ada Kek Pisang Villa Khas Batam, kepiting Cili dari Golden Prawn, donat JCo atau Pisang Bolen coklat dari toko roti Van Holland.<br /><br />Meskipun Batam bukanlah kota kelahiranku, tapi mengingat hampir dari separuh usiaku telah kuhabiskan di kota ini sudah selayaknya Batam kusebut sebagai kota kehidupanku. Bekerja di kota ini dan menjalani kehidupan yang sederhana bersama dengan partner tercinta adalah suatu kebahagiaan tersendiri bagiku. Hanya doa dan usaha yang terus kulakukan agar cinta dan kehidupan kami bisa terus bersatu sampai sang takdir memisahkannya.<br /><br />@Anggra, SepociKopi, 2008<br />@Foto oleh Anggra<br /><br /><b>Tentang Anggra:</b><br />Sosok melankolis koleris, yang sedang berjuang menjaga hubungannya dengan Tuhan dan mempertahankan kesetiaannya pada kekasih. Sarapan tanpa kopi terasa kurang nikmat di lidahnya. Berolahraga adalah hiburan yang menyenangkan baginya, dan kebiasaan merokok sudah dihentikannya sejak hidup bersama kekasih.Anonymousnoreply@blogger.com8tag:blogger.com,1999:blog-754739704675390524.post-67068250487997838602008-10-13T06:22:00.000-07:002008-10-19T06:37:22.585-07:00China 2008: Budaya 5000 TahunOleh: Grey Sebastian<br /><br />Saat menulis ini saya sudah resmi menjadi penduduk sementara Beijing selama 1,5 bulan. Meskipun saat saya tiba di Beijing Olimpiade sudah selesai, tapi saya masih sempat merasakan suasana meriah Paralympics Games (Olimpiade untuk penyandang cacat). Kebetulan asrama tempat saya tinggal selama di sini berada tidak jauh dari penginapan para atlet.<br /><br />Meski di keluarga saya tidak terbiasa menggunakan bahasa mandarin, sejak kecil saya yang memang keturunan Chinese, sangat mencintai kebudayaan dan sejarah negara leluhur saya ini. <span style="font-style: italic;">“Wo yeye de yeye shi Zhongguo ren”*) </span>itu yang selalu saya katakan setiap berkenalan dengan teman Chinese. Itu sebabnya sejak sebelum lulus kuliah saya sudah memutuskan, minimal saya harus bisa mengerti bahasa Mandarin.<br /><br />Teman saya pernah bertanya mengapa saya memilih pergi ke sini padahal masyarakat China terkenal sangat “kurang” dalam hal sopan santun dan kebersihan. Setelah saya tinggal di sini, saya baru paham maksud teman saya itu. Tapi karena ada pepatah “Belajarlah sampai ke negeri China” saya tidak pernah memadamkan impian saya untuk belajar di sini. Dan rencana saya 3-4 tahun lagi saya pasti akan kembali ke China untuk mengambil gelar MBA.<br /><br />China sendiri terlalu kaya dengan kebudayaan yang telah hidup selama 5000 tahun. Tidak akan mungkin bisa saya tuliskan hanya dalam satu halaman blog. Yang saya tuliskan saat ini mungkin hanya sedikit gambaran tentang China. Agar bila ada pembaca SepociKopi yang ingin berlibur ke China tidak kaget dan tidak jera.<br /><br />***<br /><center><br /><embed type="application/x-shockwave-flash" src="http://picasaweb.google.com/s/c/bin/slideshow.swf" flashvars="host=picasaweb.google.com&RGB=0x000000&feed=http%3A%2F%2Fpicasaweb.google.com%2Fdata%2Ffeed%2Fapi%2Fuser%2Fkucingmanis%2Falbumid%2F5258850256881057793%3Fkind%3Dphoto%26alt%3Drss" pluginspage="http://www.macromedia.com/go/getflashplayer" width="288" height="192"></embed><br /><br />foto oleh Grey Sebastian</center><br />Sejak dulu masyarakat China memang terkenal sangat hemat dengan air dan listrik. Saking hematnya mereka lebih memilih mandi 3-4 hari sekali dan tidak menyiram toilet setelah digunakan daripada harus “membuang-buang” air untuk sekadar menjaga kebersihan. Kalau malam tiba, mereka juga memilih jalanan dan rumah-rumah menjadi gelap daripada harus membuang-buang listrik untuk menyalakan lampu.<br /><br />Dikarenakan sejak jaman dahulu masyarakat China sebenarnya miskin, tanah yang bisa dibilang kurang subur, ditambah jumlah penduduk yang sangat padat menyebabkan masyarakat China tidak mengenal pepatah <span style="font-style: italic;">“Slowly but sure”</span>. Bagi masyarakat China “Siapa cepat, dia dapat. Siapa kuat, dia menang.” Maka itu jangan harap masyarakat sini mau antre saat naik kendaraan umum atau masuk toilet umum.<br /><br />Selama berada di China, jangan kaget kalau menemukan toilet tanpa pintu, karena di China itu adalah hal yang biasa. Bahkan ketika saya berlibur di Inner Mongolia, di salah satu restoran mewahnya, toilet di situ benar-benar tanpa sekat sedikit pun.<br /><br />***<br /><br />“Makanan di sini murah-murah,” kata teman saya saat pertama kali saya tiba. Dan memang betul makanan di sini cukup murah, meski jika di bandingkan dengan warteg, tetap masih lebih murah warteg. Saat pertama kali makan siang di sini, kami ber-24 orang makan di restoran, total hanya menghabiskan 350RMB atau sama dengan Rp. 490,000.-. Tapi jangan pernah tersinggung kalau anda pergi ke restoran, pelayannya mengantarkan makanan pesanan Anda dengan sedikit melempar atau melayani Anda dengan wajah cemberut. Itu semua sudah biasa di sini.<br /><br />Namun didorong kegiatan persiapan Olimpiade, kehidupan sosial ekonomi Beijing kini berkembang secara konsisten, cepat, harmonis, dan sehat. Taraf kehidupan rakyat yang semakin bertumbuh dan sejumlah besar infrastruktur lalu lintas yang berturut-turut dibangun, sehingga kualitas lingkungan pun membaik secara menonjol.<br /><br />Minimal masyarakat di kota-kota besar seperti Beijing dan ShangHai sudah sedikit lebih sopan dan mengenal kebersihan. Meskipun masih banyak juga penduduk yang belum bisa mengubah kebiasaan buruk mereka, yang pastinya sudah ditanamkan orangtua sejak dulu.<br /><br />Selama 1,5 bulan ini cukup banyak hal-hal yang saya pelajari tentang kebiasaan-kebiasaan masyarakat China, yang pada awalnya membuat saya cukup terkejut. Dan menurut teman-teman saya yang pernah tinggal atau lebih dulu tinggal di sini, itu semua masih belum seberapa. Jika bergaul dengan masyarakat setempat pasti saya akan mendapatkan pengalaman-pengalaman lebih banyak lagi, yang mungkin tidak pernah saya dapatkan di Indonesia.<br /><br /><span style="font-style: italic;">*) Kakek buyut saya adalah orang China.</span><br />@Grey Sebastian, SepociKopi, 2008<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Tentang Grey Sebastian:<br /></span>Saat ini sedang menjadi mahasiswa kelas bahasa di salah satu Language and Culture University di Beijing. Meski usia sudah hampir seperempat abad, tapi masih sedang mencari jati diri dan cinta sejati.Anonymousnoreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-754739704675390524.post-71130253227356804962008-08-31T07:43:00.000-07:002008-08-31T07:55:16.283-07:00Yogya, In Diversity<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/_5cMJbl3JQfg/SLqwd06KGcI/AAAAAAAAAqM/bUBUoKMzyNw/s1600-h/monggo_mampir_ing_jogjakarta_by_yayaholic.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer;" src="http://2.bp.blogspot.com/_5cMJbl3JQfg/SLqwd06KGcI/AAAAAAAAAqM/bUBUoKMzyNw/s200/monggo_mampir_ing_jogjakarta_by_yayaholic.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5240695142864263618" border="0" /></a>Oleh: Edith Weddel<br /><br />Yogyakarta bagiku kota yang unik. Tiga bulan di kota ini benar-benar membuatku kerasan. Sungguh, aku mulai jatuh cinta dan menggilai setiap sudut yang ditawarkannya. Yogyakarta menyiratkan pesannya tersendiri; sebuah wadah keberagaman yang tidak pernah ada habis-habisnya. Semuanya hampir ada. Berbagai macam manusia – dan jika kamu berbicara tentang manusia berarti kamu akan membahas tentang kesukaannya, penampilannya, cara berpikirnya, sikap, profesi, pandangan hidup kepercayaan dan apapun yang bisa kamu temukan mengenai manusia mulai dari ubun-ubunnya hingga ke jempol kakinya – ada disini. Mulai dari para abdi keraton dan masyarakat yang mengagung-agungkan <a style="display: inline;" href="post-edit.g?blogID=754739704675390524&postID=7113025322735680496#" id="show-labels-link" onclick="BLOG_showLabels(); return false">Show all</a>Sri Sultan hingga para seniman yang bebas mengekspresikan apa yang ada dalam pikirannya atau mengkritik – bahkan menskeptisi – sebuah jurang antara harapan dan realitas yang terjadi .<br /><br />Dan aku berjalan di sekeliling mereka. Di antara para pengemis yang tidak pernah absen di jalanan Malioboro mengulurkan tangan keriputnya ataupun topi lusuhnya kepada orang-orang yangs edang berseliweran. Di antara para pengamen yang bernyanyi sekedarnya untuk mendapatkan recehan yang akan segera ditukarkannya ke angkringan terdekat untuk mengisi perut mereka. Dan aku duduk di salahs atu bangku di daerah sekitar Benteng lagi-lagi dengan disesaki oleh berbagai realitas yang membuat isi kepalaku terus menerus bekerja. Setidaknya mengamati dengan cermat. Para pemusik <span style="font-style: italic;">reggae </span>jalanan yang tengah berlatih untuk bersiap konser dari satu lesehan ke lesehan yang lain. Kelompok <span style="font-style: italic;">skater </span>dengan <span style="font-style: italic;">skateboard </span>di lengan mereka plus kaos yang seragam seakan dengan bangga menunjukkan jati diri mereka. Anak-anak kecil yang berkeliaran di sepanjang jalan dengan pakaian lusuh dan tanpa sepatu mondar mandir dengan air muka mereka masing-masing. Terkadang aku menemukan mereka tengah tertawa lepas atau tidak jarang pandanganku mendapati mereka tengah duduk tertegun dengan murung atau sekedar tidur-tiduran di sebuah bangku taman dengan raut yang tanpa ekspresi – seakan pedalamannya sudah terlanjur mati rasa. Belum lagi pementasan seni tradisional yang selalu mewarnai malam minggu seiring dengan dentuman bas dan drum serta teriakan penyanyi dari band-band indie terdengar menimpali satu sama lain tanpa ada pretense untuk saling mengungguli. Semuanya punya tempat dan punya peminatnya sendiri-sendiri. Dan aku masih belum jenuh mengitari setiap penjurunya : karena dalam tiap-tiap sudutnya terhampar berbagai macam bentangan ketidakteraturannya.<br /><br />Akhirnya! Festival Kesenian Yogyakarta. Ya, aku dan partner seringkali menghabiskan sore dengan melihat-lihat pameran yang ada. Seni lukis, benda rajutan, perkakas dari alumunium baik yang baru dan tua, stand tato permanent dan temporer, kesenian wayang, berbagai aneka aroma-therapy, pernak-pernik dan akseseoris bagi mereka ynang feminim dan maskulin, berbagai komunitas hobi; mulai dari pecinta barang-barang antik sampai para pemuja <span style="font-style: italic;">factory </span><span style="font-style: italic;">outlet</span>, termasuk beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat yang ikut meramaikan festival. Hamper semuanya punya ruang untuk menunjukkan kediriannya masing-masing, entah individual ataupun institusi.<br /><br />Ya, hampir semuanya. Di kota yang membiarkan sebentuk penghayatan rasa untuk dieksplorasi, aku masih merasa ruangku tiba-tiba menyempit dengan desakan mata yang tidak ramah yang seolah-olah tengah menginspeksi penampilanku dari ujung rambut hingga ujung sepatuku. Seolah-olah aku adalah manusia yang benar-benar berbeda dengan mereka. Tapi mengapa mereka mentolelir laki-laki gondrong dengan aksesoris serba mengkilat di leher dan pergelangannya plus tato yang berhamburan di sekujur tubuhnya? Apa karena penampilannya yang seperti itu yang mereka asosiasikan sebagai preman setempat sehingga raut mereka menjadi begitu diterima? Dan aku; perempuan yang merasakan kenyamanan tersendiri dengan gaya maskulinku tiba-tiba menjadi penganggu kesedapan mata mereka. Sudah memudarkah label kota budaya dalam tiap-tiap isi kepala orang-orang Jogja? Atau malah aku yang salah mengartikan keberagaman yang tengah terjadi sebagai hal yang sudah dengan sendirinya diterima oleh masyarakat? Atau malah keberadaanku sebenarnya tidak pernah mereka perhitungkan dalam bagian dari semesta pluralitas budaya?<br /><br />Dan aku masih terus berjalan. Membiarkan kesadaranku dihujani terus oleh mereka yang tanpa ragu menunjukkan kekhasan mereka masing-masing. Yang membiarkan aura mimpi dan obsesi mereka lebur dalam udara yang terhirup sejuk olehku. Mungkin ini bagian dari pemberontakan mereka terhadap keseragaman atau teriakan sumbang mereka terhadap kondisi yang terlalu terstruktur. Dan aku? Aku tengah menggugat mereka yang dengan seenaknya melemparku ke pinggiran zaman dan memberikan cap minoritas di dahiku. Aku tengah mempertahankan ruangku sebagai manusia di saat mereka mengunci rapat gerbang keberagaman sehingga aku tidak bisa masuk ke dalamnya. Aku tengah menyuarakan isi kepala dan pedalamanku saat mereka sibuk dengan dunianya sendiri seolah-olah merekalah pemilik keberagaman sejati itu. Aku memang berbeda – seperti aku menghayati bahwa setiap manusia memang berbeda – tapi aku bukan seorang skizofrenik yang tidak mampu melewati tembok-tembok tinggi yang kubangun sendiri.<br /><br />Dalam keheninganku – aku biasa mendapatinya ketika aku membiarkan diriku tenggelam dalam kedirianku – aku mempreteli setiap identitas yang melekat pada ke-aku-anku. Memberi kesempatan bagi kesadaran dan bawah sadarku untuk saling bertanya tanpa perlu mempedulikan siapa aku. Mempersilakan mereka untuk beropini tentang diriku. Kesadaranku berkata bahwa aku adalah Tanda Tanya abadi – sebuah keraguan yang tidak akan pernah terpuaskan di gorong-gorong semesta yang menawarkan makna yang terus menerus tertunda. Dan bahwa sadarku berbisik dengan suara pelannya yang tersamar namun tegas. Bahwa aku adalah kontradiksi – antara absurditas dan kerinduan teramat terhadap kepastian.<br /><br />Aku terbangun dari penelusuran diri saat partner memegang tanganku. Sore hamper habis dan bersiap untuk menyerahkan tahta sementaranya pada malam. Festival Kesenian Yogyakarta semakin ramai didatangi. Dengan kerlap kerlip dan temaram lampu yang mewarnai suasana Benteng Vredeburg. Kontras. Antara kebaruan dan sisa-sisa sejarah yang misterius. Aku berjalan menuju pintu keluar festival dengan wajah yang kuangkat tinggi-tinggi, dengan tidak memberi sejenak pun celah untuk tertunduk menerawang petak-petak ubin batu, membiarkan setiap orang lewat untuk sekedar melihat selintas kepadaku atau menatap tajam dengan senyuman sinis atau tawa yang meledek.<br /><br />Karena aku manusia yang sepatutnya berbeda, maka aku masih menggilai Yogyakarta sampai ke sudut terkumuhnya, bisikku dalam hati sambil membalas genggaman partner.<br /><br />@Edith Weddel, SepociKopi, 2008SepociKopihttp://www.blogger.com/profile/09382951408629850089noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-754739704675390524.post-42345612887358296482008-08-06T01:14:00.000-07:002008-08-06T10:03:24.561-07:00Perjalanan SurealisOleh Oryza Sativa<br /><br />Aku masih berumur enam atau tujuh tahun saat kedua nenekku sering berkata, “kamu akan selalu berjalan ke tempat-tempat yang jauh.” Entah apa maksud mereka saat itu, namun sebagai anak kecil, aku cukup girang mendengarnya. Tempat-tempat jauh, terdengar menarik, menantang, dan seksi. Dan kini setelah empat belas tahun lewat, aku mulai menyadarinya. Bahkan terkadang aku merasa hidupku bukan untuk menetap di suatu tempat yang pasti. Mungkin aku lebih cocok tinggal di Mongolia dan bergabung dengan suku nomad-nya.<br /><br />Semua dimulai ketika akhirnya aku pergi dari Balikpapan. Pergi jauh-jauh dari keluarga dan masa lalu disana. Bukannya sedih, aku dengan gembira menerima kenyataan itu. Kelewat gembira, malah. Sampai-sampai saat dikunjungi aku merasa tidak nyaman. Mauku tidak usah dikunjungi dan biarkan aku berpetualang dengan hidupku seliar mungkin. Tapi namanya keluarga, mana mungkin?<br /><br />Singkatnya, darisanalah perjalanan-perjalanan kecilku dimulai. Kecil-kecil namun selalu meninggalkan bekas. Selalu ada perasaan yang membuatku ingin dan ingin berjalan lagi. Aku tidak peduli di tempat itu tidak ada listrik atau mal atau apalah, yang penting berjalan. Karena ada rasa dalam perjalanan yang selalu bisa membuatku mengevaluasi total hidupku, mengadakan perencanaan matang untuk ke depan, dan mengembalikan semangat-semangat yang hilang. Bahkan, menyembuhkan sakit hati dan sakit jiwa.<br /><br /><div style="text-align: center;">* * * *<br /></div><br />Perjalanan yang akan kuceritakan di sini memang bukan perjalanan surealis pertamaku. Tetapi ini salah satu yang paling penting. Masih segar perjalanan ini, baru kulakukan bulan Juni kemarin, saat merayakan ulang tahun Bebi. Perjalanan ini juga, akhirnya mewujudkan salah satu hasrat terpendamku.<br /><br />Biarlah orang-orang naik bis atau pesawat menuju Bali. Aku tidak terlalu tertarik dengan kedua tawaran itu. Selain uang pas-pasan, sejak dulu aku lebih penasaran jalan-jalan ke Bali dengan cara estafet yang lebih manual. Maka lima hari sebelum ulang tahunnya, aku minta diantar temanku ke stasiun untuk mengecek jadwal kereta. Disana kutemukan jadwal yang efektif dan efisien, juga berbonus sunrise, dengan perkiraan biaya tidak akan melebihi Rp. 150.000,-.<br /><br />Ulang tahun Bebi hari Sabtu, aku berangkat hari Rabu sore. Dengan kereta bisnis Sancaka Sore menuju Surabaya, seharga Rp. 50.000,-, berangkat pukul 16.00. Berdebar juga dadaku, mengingat saat itu adalah pertama kalinya aku berangkat dengan cara begituan dan sendirian. Aku sama sekali tidak punya gambaran dengan jaminan keamanan yang akan kudapatkan selama perjalanan.<br /><br />Dari Jogja ke Surabaya, ya, tentu saja melewati desa-desa kecil di sepanjang Jawa Tengah-Jawa Timur. Bolak-balik yang kulihat adalah rumah, hutan, sawah, dan sungai-sungai kecil. Terkadang gunung di kejauhan. Sungguh, aku nyaris tidak sanggup menulis karena terpana. Hijau-kuning-oranye bermain-main di udara dan angin mendesir-desir menemaniku lewat jendela. Kalau saja urat maluku sudah benar-benar putus, mungkin aku rela lompat-lompat di kereta saking senangnya hatiku. Tapi tidak, aku menikmatinya dengan mengeluarkan buku dan menyalakan sebatang rokok. Kusesap benar-benar racun dari rokok itu (bukannya udara), sampai ufuk pelan-pelan menelan si matahari. Gelap pun menyelinap mengisi langit.<br /><br />Lantas, aku tiba di Stasiun Gubeng Surabaya pukul 22.00. Langsung mencari tiket kereta berikutnya ke Banyuwangi. Ada dua pilihan, Surabaya-Denpasar atau Surabaya-Banyuwangi. Aku sempat bingung, tapi kemudian mengikuti kata hatiku untuk membeli yang Surabaya-Banyuwangi saja, kereta bisnis Mutiara Timur seharaga Rp. 40.000,-. Uangku jelas-jelas tidak cukup untuk pilihan yang pertama. Aku menunggu sekitar setengah jam, dan kereta berangkat pukul 22.30. Berbeda dengan kereta sebelumnya, kereta jurusan Bayuwangi itu penuh. Aku tidak punya lagi tempat duduk kosong yang bisa dimonopoli seperti di kereta sebelumnya. Belum lagi derita duduk bersebelahan dengan bapak-bapak yang tidurnya, sumpah, rese banget.<br /><br /><i>It's fine. Fine. </i>Paginya aku punya kompensasi sempurna untuk semua acara duduk di kereta yang melelahkan, yang membuat pantatku tepos. Aku tiba di Stasiun Ketapang, Banyuwangi pukul 05.00. Agenda pertama adalah cuci muka dan pipis. Kemudian di luar, tukan becak dan ojek menyerbu, menawari tumpangan sampai ke stasiun. Bahkan ternyata ada bis yang bisa langsung mengantarku ke Denpasar. Ketika kutanya biayanya (Rp. 50.000,-), aku langsung menolak. Uang di kantongku hanya tinggal Rp. 30.000,- sekian. Kemudian aku teringat kata seorang kawan dekatku, bahwa jarak stasiun dan penyeberangan tidak terlalu jauh dan akan sangat menyenangkan kalau berjalan kaki ke sana.<br /><br />Kutanyakan arah jalannya pada seorang tukang becak yang ngotot menawari becak dengan mengatakan “Jauh lho, Mbak. Jauh lho, Mbak.” Tapi aku ngotot jalan kaki. Lurus saja, lalu belok kanan. Segar bukan main udaranya! Dalam sesaat, jiwa kelinciku keluar. Berhubung jalan masih sepi, aku berjalan zig-zag dan terkadang lompat-lompat. Yiha! Lalu lihatlah! Penyeberangannya sudah di depan mata, sebentar lagi aku bisa memeluk Bebi! Aku membeli tiket yang kusangka mahal harganya. Ternyata hanya Rp. 6000,-. Ya ampun... Serunya momen-momen itu masih berlanjut lagi waktu salah seorang petugas menyuruhku lari karena kapal akan berangkat. Benar saja, waktu aku tiba di jembatan, tali-tali jangkar mulai dilepas dan aku lari-lari di jembatan, pagi-pagi buta, sambil terbahak-bahak pada diriku sendiri, sampai berhasil melompati pintu yang nyaris tertutup. Aku jelas-jelas penumpang terakhir mereka.<br /><br />Lalu aku duduk di dek paling atas. Ditemani musik dangdut yang sama sekali tidak enak didengar, kubuka sarapan pagiku dengan sebotol air mineral dan rokok (lagi-lagi). Kunikmati benar-benar saat-saat sendiriku di Selat Bali. Lautnya tenang dan udara tidak dingin, melainkan sejuk. Sejuk sekali! Sambil berlayar aku ber-sms-an dengan Bebi yang ternyata sudah bangun pagi-pagi juga, bersiap-siap berangkat dari Sanur untuk menungguku di sekitar Ubung. Oh, ya ampun, tidak terperi rasanya akan ketemu Bebi lagi. Tidak sabar, tentu saja. Menggigit kuku dan goyang kaki jadi sesuatu yang tak terelakkan di atas kapal. <i>Nervous,</i> bok.<br /><br />Tibalah saatnya menikmati <i>sunrise</i>. Aku pergi ke sisi lain kapal dan mendapatkan matahari yang mungkin sedang menyeringai—bukan tersenyum. Sinarnya jatuh di permukaan laut, menimbulkan efek sparkle di riak-riak kecilnya. Haleluya! Kucari sudut-sudut di kapal yang bisa memberiku hasil jepretan bagus. Tapi sayangnya, aku tidak punya kamera digital, yang ada hanya kamera <i>handphone</i>. Sementara aku kehilangan kabel data untuk mentransfer foto-fotoku.<br /><br />Tidak sampai satu jam, pelabuhan Gilimanuk mulai terlihat.<br /><br />Terharu sekali rasanya tiba di Bali lagi. Entah kenapa, sejak kunjungan pertamaku pada Bali semasa SMP dulu, rasanya ada <i>chemistry</i> aneh dengan pulau itu. Sebuah kedekatan yang sulit kujelaskan, tapi sepertinya waktu selalu membawaku ke sana, paling tidak, mengaitkan banyak hal dalam hidupku padanya. Sampai-sampai perempuan yang kusayangi pun, ternyata Bali totok.<br /><br />Di Gilimanuk lagi-lagi aku diserbu tukang ojek dan sopir bus. Untuk amannya, aku bertanya pada pak polisi yang sedang menyapu kantor kecilnya. Dia menunjukkan padaku letak terminal bus dan katanya aku boleh bernegosiasi dengan supirnya mengenai harga sampai ke Ubung. Kemudian aku melihat supir yang sejak awal sudah mengikutiku. Kuhampiri dia yang ternyata tidak sesangar tampangnya. Berbicaranya sangat ramah dan sopan dan aku pun mengikutinya sampai ke terminal. Dia mengantarku sampai ke terminal—bukan, sampai ke minibus.<br />“Sampai Ubung berapa, Pak?”<br />“Tiga puluh, Mbak.”<br /><br />Oke. Sepakat. Dalam perjalanan kuberikan uangku padanya. Rp. 30.000,- dan yang tersisa adalah Rp. 2000,- di kantongku. Dalam hati aku tertawa dan puas, begini ternyata rasanya. Aku tidak jera, malah kupikir aku ketagihan. Tentu saja aku tidak keberatan mengulanginya lagi. Maafkan aku atas panjangnya cerita ini, tetapi perjalanan dari Gilimanuk itu terlalu indah buatku. Pohon-pohon, sawah, laut, langit, bahkan pura-pura atau jalan-jalan kecil menuju desa-desa di pelosok Bali. Ya tuhan, kirimi aku geledek untuk meyakinkanku. Sepertinya, setelah lulus kuliah, aku akan benar-benar kabur ke pulau itu.<br /><br />Dalam tiga jam, aku beberapa kali ketiduran saking sejuknya udara. Tidak peduli berisiknya bus itu, suara-suara orang berbicara dengan bahasa Bali menjadi pengantar tidurku. Kuhela napas lega berkali-kali, dan melengos berkali-kali juga setiap kali bangun. Setiap terbangun, kuharap aku sudah dekat dengan Denpasar tapi selalu belum. Pantatku sudah pegal sekali dan sesungguhnya aku tidak tahan duduk terlalu lama akibat sakit punggung yang kerap mendera. Aku membaca setiap tulisan di mana saja yang bisa memberi tahu dimana letakku berada dan segera meng-sms Bebi ketika aku sudah tiba di daerah Kapal. Kata Bebi, itu artinya aku sudah dekat dengan Ubung. Aku, sumpah, deg-degan akan ketemu Bebi. Pagi-pagi, belum mandi, kucel, berantakan, mirip gembel.<br /><br />Entah bagaimana rupaku ketika minibusku memasuki tempat bertuliskan Terminal Ubung. Aku sampai! Dan kulihat Bebi sudah menunggu di semacam pinggiran. Lalu, lalu, dia menjemputku persis di muka pintu bus. Ya ampun, aku merasa naik kelas. Dari gembel jadi tuan putri. Bagaimana harus kulukiskan perasaan itu? Aku memeluknya erat-erat di motor dan menggigiti punggungnya sepanjang jalan dan baru berhenti saat didamprat. Aku agak-agak tidak peduli, memeluknya lagi, dan tentu saja: I LOVE YOU!<br /><br />NB: total biayanya Rp. 126.000,-. Akan lebih murah dengan kereta ekonomi, tetapi waktunya tidak seefektif dan efisien seperti kereta bisnis. Mari jalan-jalan!<br /><br />@Oryza Sativa, SepociKopi, 2008Anonymousnoreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-754739704675390524.post-51532578654017591562008-07-23T20:17:00.000-07:002008-07-23T20:30:07.420-07:00Hongkong - Perjalanan Menuju Impian<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://bp0.blogger.com/_fyhrxYN6pZo/SIb2SoVKYJI/AAAAAAAABUI/Qpb-k9ubaJo/s1600-h/Tuen+muen+street.jpg"><img style="margin: 0pt 2pt 10px 10px; float: left; cursor: pointer;" src="http://bp0.blogger.com/_fyhrxYN6pZo/SIb2SoVKYJI/AAAAAAAABUI/Qpb-k9ubaJo/s200/Tuen+muen+street.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5226135217534296210" border="0" /></a>Oleh: Justine Ht<br /><br />Aku dan kekasihku memutuskan untuk membangun impian kami di luar negeri. Dengan segala keterbatasan yang ada kami memilih ke Hongkong. Ini negara kedua perjalanan cinta kami. Sebuah kota transit dan dari sini kami akan terus berjalan ke negara impian kami.<br /><br />Di negara inilah fase terberat dalam hidup kami. Bulan-bulan pertama aku berada dalam kondisi "Udah jatuh tertimpa tangga dan keduduk kotoran kebo." Kegetiran yang begitu dalam, tapi cinta tegarkan hatiku. Kekasihku selalu ada untukku. Doanya, kesabarannya, ketulusannya membuatku bangkit dari keterpurukan. Di sinilah aku menyadari betapa berharganya arti cinta. Cinta membuat segalanya menjadi mungkin dalam hidup ini. Perlahan badai itu berlalu...<br /><br />Hongkong merupakan pusat bisnis di Asia. Tapi sejak 1 Juli 1997 saat dikembalikan ke pemerintah China, banyak investor yang angkat kaki dari sini. Hongkong juga merupakan pelabuhan bebas, jadi para importir dapat mengimpor barang dari berbagai sumber yang mereka kehendaki, artinya kita akan menemukan aneka model paling mutakhir yang diimpor langsung dari pabrik dan negara asalnya.<br /><br />Bagi yang punya semboyan <span style="font-style: italic;">"Shopping is my first love, but you're a close second"</span>, Hongkong adalah tempat yang tempat untuk menguras tabungan. Hongkong memiliki pasar terbuka yang sangat terkenal, di sana kita bisa menemukan segala jenis barang dengan harga miring, antara lain Ladies Market di Tung Choi Street Mongkok, Temple Street Night Market Jordan, Marble Road Market di North Point dan Cross Street Market di Wan Chai. Mal bertebaran di mana mana. Saat pergantian musim atau liburan semua mal menggelar "Big Sale". Inilah saat yang tepat untuk berbelanja cerdik.<br /><br />Hongkong kurang-lebih sama seperti Jakarta dengan lautan gedung dan manusia, pepohonan menjadi barang yang langka. Kelebihannya adalah kota Hongkong tertata rapi, rumah penduduk rata-rata berbentuk apartemen dan kemacetan adalah sesuatu yang asing. Kekurangannya di sini tidak ada bajaj, ojek, asongan ataupun pedagang kaki lima. Jadinya nggak seru...<br /><center><br /><embed type="application/x-shockwave-flash" src="http://picasaweb.google.co.uk/s/c/bin/slideshow.swf" flashvars="host=picasaweb.google.co.uk&RGB=0x000000&feed=http%3A%2F%2Fpicasaweb.google.co.uk%2Fdata%2Ffeed%2Fapi%2Fuser%2Fkucingmanis%2Falbumid%2F5226113685787023153%3Fkind%3Dphoto%26alt%3Drss" pluginspage="http://www.macromedia.com/go/getflashplayer" height="192" width="288"></embed><br />foto oleh: Justine ht<br /></center><br />Banyak hal baru yang kami temui di sini. Kota individualis. Kota yang bebas. Semua orang bebas mengekspresikan diri. Tidak ada orang yang peduli dengan apa pun yang kita lakukan.Tapi jangan takut, polisi akan siap membantu jika kita menghadapi masalah. Tidak ada orang yang mencibir ataupun menatap curiga saat kita berjalan bergandengan tangan ataupun bersikap mesra. Bahkan tak segan mereka memperkenalkan partnernya dengan sebutan “ngo loukung”(suamiku) atau ngo lobo (istriku)“.<br /><br />Bukan hal yang mengherankan jika saat duduk di restoran di sebelah kita duduk sepasang gay yang bersikap mesra atau kita mendengar percakapan di antara remaja yang mengaku gay atau lesbian. Bahkan sejak 1989 diadakan Hongkong Lesbian and Gay Film Festival (HK LGFF) yang diputar di Broadway Cinematheque, Palace IFC dan AMC Festival Walk sekitar bulan Agustus - September.<br /><br />Lesbian Indonesia? Wow... hari minggu di Victoria Park, Causeway Bay mereka berseliweran kayak bajaj di Jakarta. Biasanya mereka mengganti kata lesbian dengan TB (Tomboy). Sewaktu aku di Shenzen, China, aku mengenal seorang Butchy L-mom yang bercerita banyak tentang teman-teman lesbiannya dan kelesbianannya sendiri. Mereka biasanya membentuk kelompok tersendiri dan membuat acara-acara khusus yang terkesan <span style="font-style: italic;">"Just for Fun". </span>Menurutku fenomena ini hanya semacam eforia dari suatu keadaan. Mengikuti tren yang ada.<br /><br />Victoria Park di Causeway Bay merupakan tempat ngumpul orang Indonesia saat libur. Kalo dilihat dari atas seperti cendol dalam saringan, numplek semua di sana. Emang sih di sana lengkap banget. BCA, BNI, Bank Mandiri, Konsulat Jenderal Indonesia dan toko2 yang menyediakan semua keperluan orang Indonesia. Bahkan perpustakaannya menyediakan majalah dan koran Indonesia.<br /><br />Aku dan kekasihku mengawali pagi ini dengan berkunjung ke rumahNya. ST.ANDREWS CHURCH in Tsim Sha Shui. Arsitekturnya mengingatkanku akan istana dalam dongeng HC Anderson, cantik dan unik. Ada rasa damai yang mengalir saat kami bersyukur untuk kasih karunia yang diberikanNya. Biasanya kami menghabiskan waktu dengan bersantai di Kowloon Park di Tsim Sha Shui atau Butterfly Beach di Tuen Mun. Tapi kali ini kami ingin belanja beberapa kebutuhan keponakan-keponakan kami di Indonesia.<br /><br />Kami naik MTR (Mass Transit Railway / Kereta bawah tanah) ke Mongkok cuma sekitar 5 menit dengan ongkos $5.4. Di sini kita tidak perlu repot membawa uang recehan untuk naik kendaraan, cukup dengan menggunakan sejenis kartu yang disebut Patadong (Octopus Card) yang bisa diisi ulang. Kartu ini juga bisa digunakan untuk berbelanja di tempat-tempat tertentu.<br /><br />Belum mulai belanja, <span style="font-style: italic;">debt collector </span>di perut sudah menagih, kami memutuskan makan di Tradisional Chinese Noodle yang rasanya sesuai dengan selera kami yang Sumatra <span style="font-style: italic;">minded, </span>pedas dan berempah. Hongkong bukan tempat yang asyik untuk wisata kuliner. Orang sini pun lebih senang makanan luar seperti Sushi (Jepang), Dim Sum (Korea), Curry (India) ataupun makanan Eropa. Biasanya di musim dingin mereka menikmati Ta Pin Lo (Hot Pot) yang merupakan makanan khas Hongkong.<br /><br />Di negara inilah kami menemukan kehidupan dan cinta kami kembali. Tidak ada lagi pertanyaan yang menyudutkan. Tidak ada lagi kebohongan dan kepura-puraan dalam menghadapi masyarakat. Tidak ada lagi kebimbangan dalam menentukan pilihan hidup. Tapi terbersit nyeri di hati saat kerinduan menyapa. Kerinduan pada orang-orang terkasih dan sahabat-sahabat terbaik, juga pada keindahan Indonesia. Seakan tak ada kompromi dari perjalanan. Terasa sebagai nasib yang tidak berpihak.<br /><br />Yah selalu ada harga yang harus dibayar untuk segala sesuatu yang ingin kita capai dalam hidup ini. Yang pasti hidup terus berjalan. Lakukan yang terbaik hari ini, esok akan terjawab dengan sendirinya.<br /><br />@Justine Ht, SepociKopi, 2008<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Tentang Justine Ht:</span><br />Perempuan yang menemukan cintanya pada diri seorang perempuan. Bersama partnernya berkeinginan keliling dunia untuk belajar banyak hal tentang kehidupan. Feminim tapi tidak suka dandan. Penggemar kopi, film Hollywood, dan musik jazz.Anonymousnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-754739704675390524.post-81699293785873904812008-06-02T03:10:00.000-07:002008-06-28T10:02:45.015-07:00Meulaboh, Kota yang Tangguh<span style="color: rgb(0, 0, 0);">Oleh: Arie Gere </span><br /><br /><span style="color: rgb(0, 0, 0);">Akhirnya sampai juga… </span><br /><span style="color: rgb(0, 0, 0);">Masih dengan napas terengah-engah menghirup aroma pesing sialan ketika keluar dari pesawat kecil bermuatan dua puluhan orang itu, aku turun dengan ransel dan segenggam oleh-oleh khas kotaku menuju kota baru, kota Meulaboh yang akan kudiami selama tiga minggu. Meulaboh, Aceh Barat, saksi bisu tsunami. </span><br /><br /><span style="color: rgb(0, 0, 0);">Ah, kekasih hatiku nun jauh di sana… Sedang apa dia? Seketika itu juga kunyalakan ponsel dan tak lama terdengar ucapan syukurnya karena perjalanan 50 menit yang kulalui di atas benda kecil yang melayang ini tak terhadang kondisi apa pun. </span><br /><br /><span style="color: rgb(0, 0, 0);">Aku segera mengambil koper kecilku dan menaikkannya ke atas Ford Ranger yang aku yakin pasti donasi dari orang-orang bule pendonor itu. Tim kami berjumlah tiga orang, dua perempuan dan satu laki-laki. Aku dan perempuan itu jelas satu kamar dan ah... malasnya sekamar dengan perempuan ini, cerewet, jutek, uh... tape deh...</span><br /><br /><span style="color: rgb(0, 0, 0);">"Apa? Ranjangnya satu?” Spontan perempuan ini berteriak.</span><br /><span style="color: rgb(0, 0, 0);">"Mas, kami pindah ke lantai dua aja, yang ranjangnya pisah," katanya.</span><br /><span style="color: rgb(0, 0, 0);">Sudah kuduga, perempuan ini sering sekali membuat orang terkejut dengan suaranya yang mendadak dangdut mendadak ngerock, yang dB nya jauh lebih kencang dari suara orang batak sendiri.</span><span style="color: rgb(0, 0, 0);" class="fullpost"><br /><br />Aku berpikir, apa karena dia yang telah mengetahui kondisi diriku sebenarnya sehingga dia wanti-wanti tidak mau seranjang denganku. Entahlah... Dan entah bagaimana juga perempuan ini akhirnya mengetahui orientasi seksualku yang ketika itu tidak dapat terelakkan lagi untuk diungkapkan. Mungkin nalar penciumannya yang teramat kuat, keingintahuannnya yang besar, keberaniannya yang kuacungkan jempol dan berbagai usaha penginterogasiannya setiap hari yang akhirnya membuatku loyo... kuncup.. Dan, terucaplah pengakuan itu... Yes, I am.<br /><br />Kuingat, ocehan perempuan ini beberapa minggu yang lalu.<br />”Orang-orang kantor pada tahu kok,” katanya lirih.<br />”Yah, kamu kasih tahu sih, panteslah mereka tahu,” ucapku dengan nada tak terkejut lagi. Pengalaman kebablasan seperti ini pernah kualami ketika waktu di kampus dulu, ketika sahabat yang kupercaya sekalipun ternyata tak mampu menyimpan rahasia itu. Mulut berbicara, dinding mendengar, dan angin yang menyampaikan. Hah, sudah kuduga.<br /><br />”Nggak, Ri, secerewet apa pun aku ke kamu, sejutek apa pun aku ke orang, tapi aku bukan tukang gosip.” Hatiku berkata, mudah-mudahan omongannya benar. Tapi aku benar-benar tidak perduli, ingatanku melayang pada kejadian sekitar satu tahun lalu, membekas seperti tancap pecahan botol yang kemudian ditarik paksa dan meninggalkan perdarahan tragis mengancam nyawa. Mantan pacar berengsek yang membeberkan semuanya kepada keluargaku.<br /><br />”Mereka tahu karena suara di telepon kamu tuh tiap hari terdengar suara cewek,” sambungnya lagi. Yah kuakui aku emang rada budek, volume telepon genggamku terpaksa disetel maksimal. Kalau tidak, suara telepon hanya terdengar samar-samar di telingaku.<br /><br />Ketika identitas diri sudah tercium oleh lingkunganku, aku berjanji tidak akan berubah. Dianggap siapa pun diriku di rumah, dianggap apa pun aku di kantor, itulah diriku. Bukan mereka yang mengubah diriku, bukan mereka yang mampu mengontrol emosi dan semangatku, bukan mereka. Karena aku bangkit untuk membuktikan pada diriku sendiri, dan bukan pada dunia, bahwa aku benar-benar ada. Aku tidak akan menjelma menjadi pegonggong yang keluyuran di malam hari, tidur di siang hari, merampok di kala senja, dan melolong di tengah lelapnya mimpi manusia. Aku adalah sang ujung tombak yang tetap akan berperang meski kakiku patah. Akan kuobati lukaku, akan kusambung agar kembali ke utuh, bila perlu kuganti semuanya dengan sparepart baru.<br /><br />Apa pun pilihan hidup, semua harus kujalani dengan kesungguhan dan keihlasan. Bahwa aku ada, dan bahwa dia ada. Setitik air jatuh ke pipi dan segera ku hapus mengingat perjalanan panjang ini masih 3 minggu lagi. Aku berdiri tegak, di samping tugu Teuku Umar, memandang jauh ke Samudera Hindia dan menyadari betapa indahnya dunia ini, betapa luasnya anugerah Tuhan. Seketika itu juga aku teringat akan betapa maha dahsyatnya keajaiban Tsunami kala itu dan betapa kecilnya manusia di hadapan Sang Ilahi seperti debu terbang yang tak menentu arahnya.<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://bp2.blogger.com/_K7B2opJ3yY4/SFtD4Aj9jpI/AAAAAAAAAIY/g6jOPnW2EBQ/s1600-h/meulaboh.jpg"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer;" src="http://bp2.blogger.com/_K7B2opJ3yY4/SFtD4Aj9jpI/AAAAAAAAAIY/g6jOPnW2EBQ/s320/meulaboh.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5213835623114051218" border="0" /></a><br /></span><div style="text-align: center; color: rgb(0, 0, 0);"><span class="fullpost">Gbr 1. Rawa yang terbentuk dari sisa air laut akibat tsunami </span><br /><span class="fullpost">Photo by Arie Gere – Meulaboh </span><br /></div><span style="color: rgb(0, 0, 0);" class="fullpost"><br />”Gempa seperti itu belum pernah terjadi. Kekuatannya mahadahsyat, dan setelahnya air laut surut, hingga semua orang berlarian ke pantai, mengambil ikan-ikan di laut. Lima belas menit kemudian datang air laut setinggi pohon kelapa dan melahap semuanya.Tiga kali air laut mengempas dan melahap semua yang dilaluinya."<br /><br />Aku bergidik membayangkan air laut setinggi itu menghabiskan ratusan ribu nyawa dalam sekejap, dan sekali entakan saja bisa mencampakkan PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel) milik PLN yang berbobot 200 ton di Banda Aceh terhempas sejauh 3 kilometer dari posisi awalnya. Ah, perih memang mengingat kembali 26 Desember itu.<br /><br />”Keluarga Bapak?” tanyaku.<br />”Hanya Bapak yang selamat, pulang melaut tiba-tiba sudah habis semuanya.”<br />“Apa? Saat itu Bapak sedang di laut?” Aku terkejut bukan main, ingin bertanya lagi, ”Kok bisa selamat?” tapi rasanya sungguh tak sopan.<br /><br />Tiba-tiba aku teringat gelombang tsunami bergejolak di dalam laut, bukan di permukaannya, hingga barulah sampai di bibir pantai air laut melahap semuanya. Sedangkan yang saat itu berada di laut, sebahagian besar selamat dan tidak merasakan gelombang bahaya mahadahsyat gentayangan lewat di bawah perahunya.<br /><br />”Terima kasih banyak, Pak” ucapku pamit sambil menggenggam erat tangannya, semoga nyaman dengan rumah barunya. Kuamati sekali lagi rumah orang tua itu, semua tampak sama dengan rumah tetangga-tetangga sekitarnya. Dalam hati aku bersyukur karena kota yang pernah mati karena tsunami ini kembali hidup dengan datangnya donor dari berbagai negara, membangun semua infrastruktur, rumah sakit, jalan raya, dan tentu saja rumah tinggal. Peradaban sudah mulai dibangun, mental masyarakat sedikit demi sedikit mulai berubah. Bagi sebahagian besar masyarakat Aceh pedalaman, dulu, toilet di dalam rumah sungguh tidak beradab. Mereka pikir seperti tinggal di kandang kerbau, yang makan dan buang air di tempat yang sama. Akan tetapi, rumah sumbangan donor bule-bule itu tidak mungkin dibangun berpisah dengan toiletnya karena tidak ada arsitek modern yang mendesain rumah seperti itu. Dulu pun, rumah semi permanen sudah tergolong bagus di daerah ini, tapi sekarang hampir semuanya sudah permanen.<br /><br />Mungkin aku saja yang berpikiran picik dan jahat atau semua orang punya pikiran seperti aku, kalau saja tsunami tidak terjadi, mungkin jalan raya yang lebar ini tidak akan pernah ada, atau rumah hunian permanen yang diberikan cuma-cuma hanya dengan menunjukkan surat keterangan dari kepala desa bahwa sang pemilik berhak atas tanah dan bangunan yang pernah hancur di atasnya mungkin tidak akan pernah sanggup dibangun oleh pemiliknya sendiri. Ternyata di dalam kesempitan pun, ada saja kesempatan-kesempatan busuk yang dimanfaatkan oleh orang-orang tamak.<br /><br />Ah sudahlah, hidup harus dilanjutkan. Bila mereka saja kuat menghadapi getirnya gempa dan tsunami, ditambah lagi dengan konflik politik dengan Pemerintah, masa aku harus menyerah dengan hidup ini. Semua masalahku, semua deritaku, ternyata sangat tidak sebanding dengan penderitaan orang-orang tangguh ini, yang masih kuat bertahan hidup dengan kehilangan segala sesuatu yang pernah dimilikinya. Harta, rumah, anak, istri, orang-orang yang dicintai lenyap seketika dan hanya menyisakan sejuta kenangan dan air mata yang tak pernah habis-habisnya jika diingat.<br /><br />Dan aku, tidak pernah menyesal menjadi perempuan, tidak pernah menyerah mencintai perempuan karena hidup bukanlah untuk disia-siakan, bukan untuk berpangku tangan apalagi untuk disesalkan.<br /><br />@Arie Gere, SepociKopi, 2008 </span>Anonymousnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-754739704675390524.post-25567375114345901032008-03-29T04:00:00.000-07:002008-03-29T04:16:12.711-07:00Ode Semangkuk Wedang Ronde di Kota Solo<span style="color:#000000;">Oleh: Robyn<br /><br /></span><a href="http://bp2.blogger.com/_fyhrxYN6pZo/R-4iQaBhFWI/AAAAAAAABI0/XoxywMaQXf8/s1600-h/320px-Stasiun_Balapan_-_Surakarta.jpg"><span style="color:#000000;"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5183117886408955234" style="DISPLAY: block; MARGIN: 0px auto 10px; CURSOR: hand; TEXT-ALIGN: center" alt="" src="http://bp2.blogger.com/_fyhrxYN6pZo/R-4iQaBhFWI/AAAAAAAABI0/XoxywMaQXf8/s200/320px-Stasiun_Balapan_-_Surakarta.jpg" border="0" /></span></a><span style="color:#000000;"><br />Aku baru tahu malam di Kota Solo bisa romantis. Saat hujan, air membasuh jalan-jalan kecil yang membelah deretan rumah tua sederhana berarsitektur Eropa, seperti yang sering terlihat di kartu pos. Becak adalah raja di antara segelintir orang dan kendaraan bermotor yang berlintasan. Orang asing manapun bisa leluasa menjelajah berbagai macam pojok angkringan sepuasnya lalu, seperti aku, mengklaim bahwa kota ini adalah miliknya.<br /><br />Ini adalah kali kedua aku berplesir ke kota sarat sejarah dan budaya ini. Tak seperti persinggahan sebelumnya yang ramai bersama seluruh keluarga besar, kali ini aku hanya bersama Bibiy, kekasihku. Rencana liburan kami pun tak muluk, hanya mengunjungi adikku seraya berwisata kuliner di kota yang juga pusat aneka hidangan tradisional.<br /><br />Persentuhan dengan malam dan aneka angkringan berawal dari seorang tukang becak di depan Hotel Novotel tempat kami menginap. Si tukang becak, yang kemudian kami beri nama Pak Mis (komunikasi) karena sering mengantar kami ke tempat yang tak sesuai pesanan, berputar-putar tak tentu arah saat kami ingin diantar ke warung soto kwali khas kota ini di hari kedatangan kami.<br /><br />Ia mengantar kami ke warung wedang dan warung nasi gudeg lesehan dekat Keraton Surakarta, sebelum akhirnya memberhentikan kami di depan warung soto Pak Broto di salah satu emperan Jalan Slamet Riyadi. Padahal Pak Broto sama sekali tidak menghidangkan soto kwali.<br /><br />Aku memang <em>control freak </em>yang mudah kesal pada rencana yang tak terealisasi. Aku mulai mengomel ke Bibiy tentang agenda wisata kulinerku yang rusak gara-gara Pak Mis bertingkah ‘terlalu kreatif’. Belum lagi mood jadi kacau karena aku sudah telanjur kehilangan kesabaran.<br /><br />“Tuh, tuh. Bibiy gak suka ah kamu gitu. Ini kan liburan, dinikmatin aja, jangan terlalu dipikirin, gitu,” begitu tegur Bibiy.<br /><br />Ia memang sudah hafal betul dengan tabiatku yang satu ini. Berbeda dengan aku yang punya sekring emosi yang gampang putus, Bibiy berpembawaan santai dan ceria. Ia selalu punya cara untuk mendinginkan kepalaku dalam situasi apa pun.<br /><br />Memang di luar jadwal wisata kuliner yang meleset dari rencana malam tersebut indah. Hujan memeluk dengan lembut, menyisakan aspal jalan yang basah dan berkilau tertimpa cahaya lampu. Tentu kecewa jika berharap toko-toko ramai buka malam hari di kota kecil ini. Namun aneka jajanan terserak di berbagai sudut kota, menebarkan wangi-wangian hidangan yang senantiasa merayu siapa saja yang lewat.<br /><br />Aku bisa dengan mudah jatuh cinta dengan Soto Pak Broto yang berkuah kaldu bening bercampur tumbukan bawang putih, walau gagal menemukan soto kwali. Atau terbuai pada semangkuk wedang ronde yang disajikan di rumah makan kecil di pinggir keraton setelah Pak Mis lagi-lagi desersi dari permintaan kami untuk mengantar ke salah satu warung wedang temaram pinggir jalan.<br /><br /></span><a href="http://bp3.blogger.com/_fyhrxYN6pZo/R-4i2qBhFXI/AAAAAAAABI8/ghzpyMYx8oU/s1600-h/Penjual_Gudeg.jpg"><span style="color:#000000;"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5183118543538951538" style="DISPLAY: block; MARGIN: 0px auto 10px; CURSOR: hand; TEXT-ALIGN: center" alt="" src="http://bp3.blogger.com/_fyhrxYN6pZo/R-4i2qBhFXI/AAAAAAAABI8/ghzpyMYx8oU/s200/Penjual_Gudeg.jpg" border="0" /></span></a><span style="color:#000000;"><br />Ini adalah pertama kalinya aku mengecap butiran bola sagu kukus berisi tumbukan kacang yang berkubang dalam air jahe hangat itu. Aku merasa beruntung bisa menikmatinya di rumah makan itu, karena ronde buatan mereka lembut tumbukan kacangnya dan pas rasa manisnya.<br /><br />Berdesak-desakan di becak dan mengobrol ngalor-ngidul bersama Bibiy juga merupakan sesuatu yang tak terganti. Di Jakarta, malam kami habiskan sendiri-sendiri karena perbedaan ritme kerja. Saat Bibiy bersiap pulang ke rumahnya, aku masih berkutat di depan komputer di pojok ruang kerjaku. Sering aku baru bisa menelpon saat Bibiy sudah terlelap dalam balutan celana piama dan kaus singletnya.<br /><br />Kami seolah ingin terus terjaga di kota ini, berplesir dengan becak, berjalan menyusuri trotoar, bergulat (dalam arti sebenarnya karena aku harus menghindari bibiy yang doyan menggigitku) di ranjang sebelum tidur, atau berdua menampaki tarian lampu kota di malam hari melalui jendela kamar hotel.<br /><br />Becak dan malam segera saja menjadi pintu keriaan kami. Tak ada malam yang lewat tanpa mbecak keliling kota, menjajal jajanan pinggir jalan aneka rupa. Aku harus mengakui bahwa kota ini cukup menampung hobi makanku. Empat malam yang kami habiskan tidak cukup untuk mencecap seluruh aneka hidangan milik kota para raja dinasti Pakubuwono ini.<br /><br />Malam selanjutnya kami mampir di warung nasi liwet Bu Sri Redjeki yang bersebelahan dengan warung susu segar Shi Jack di dekat Pasar Klewer, setelah Pak Mis (lagi-lagi) gagal membawa kami ke warung timlo. Ini pun menjadi pengalaman yang tak terlalu buruk karena nasi liwet yang tersaji berbeda dari nasi-nasi liwet yang pernah kucoba sebelumnya. Di alas daun pisang yang dibentuk seperti wadah kacang rebus, nasi pulen terhidang di atas sayur labu dan siraman sari santan kental berwara putih. Minuman susu jahe dari warung sebelah menggenapi hidangan dengan serasi.<br /><br />Di antara semua angkringan yang kami singgahi, boleh dibilang pemenang hatiku dan bibiy adalah warung wedang Mbak Sri di dekat Pasar Barang Antik Triwindu. Mbak Sri adalah perempuan jawa berusia sekitar 40an, dengan dandanan manis bersahaja. Sangat asyik mengamati kepiawaiannya memadupadankan berbagai manisan buah, ronde, kacang dan air jahe menjadi aneka minuman hangat yang nikmat.<br /><br />Kami baru singgah di sana malam pada malam kedua. Bibiy langsung jatuh cinta pada sekoteng hangat yang berisi potongan manisan buah belimbing, kolang kaling dan kacang putih. Aku sendiri menyeruput wedang kacang putih, yang berisi potongan ketan putih, kolang kaling dan kacang putih.<br /><br />Tak lama setelah kami memesan, seorang wanita pesinden mampir untuk melantunkan tembang berbahasa jawa seraya memetik dawai kecapi. Perlahan bibirnya mengalunkan Caping Gunung karya Gesang, lagu lawas multiinterpretasi tentang janji yang tak ditepati.<br /><br />Entah ada apa dengan kota ini. Semua terasa begitu nyaman dan syahdu, persis seperti rasa semangkuk wedang ronde. Enggan rasanya saat aku dan Bibiy harus mengepak barang untuk pulang. Enggan meninggalkan malam yang selalu romantis dibalut hujan rintik. Enggan meninggalkan segala bentuk kebersamaan aku dan Bibiy.<br /><br />Bibiy tampak sedikit murung saat kereta yang kami tumpangi mulai bertolak meninggalkan stasiun Solo Balapan. Sepanjang perjalanan tak lepas ia memegangi tanganku seraya menatap ke luar jendela.<br /><br />“Bibiy pengen naik becak lagi,” katanya lirih.<br /><br />Aku pun membelai punggungnya dengan lembut. Rasa sedih yang sama menggelayut di hatiku yang belum siap menyongsong Jakarta, kota di mana kami harus pulang ke rumah yang berbeda.<br /><br />foto dari: </span><a href="http://www.wikipedia.org/"><span style="color:#000000;">http://www.wikipedia.org/</span></a><span style="color:#000000;"><br />@Robyn, SepociKopi, 2008</span>Anonymousnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-754739704675390524.post-77525339885508679182008-01-08T02:42:00.000-08:002008-06-07T10:24:54.146-07:00Balikpapan, City of Oil<span style="color: rgb(0, 0, 0);">Oleh: Sagita Rius<br /><br /><br /></span><span style="color: rgb(0, 0, 0);"></span><div align="center"><a href="http://bp1.blogger.com/_fyhrxYN6pZo/R4S5ZKsjixI/AAAAAAAAA-k/EQUI15U1T6c/s1600-h/lamaru%5B1%5D.JPG"><span style="color: rgb(0, 0, 0);"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5153447715637791506" style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center;" alt="" src="http://bp1.blogger.com/_fyhrxYN6pZo/R4S5ZKsjixI/AAAAAAAAA-k/EQUI15U1T6c/s320/lamaru%5B1%5D.JPG" border="0" /></span></a><span style="color: rgb(0, 0, 0);"> <span style="font-size:85%;">Pantai Lamaru photo oleh Sagita</span></span></div><br /><br /><span style="color: rgb(0, 0, 0);">"Sag, jadi nggak ngajak aku makan undang bakar? Besok aku <em>free</em> nih. Lusa aku kembali ke Jakarta". Ini SMS dari salah satu sahabat heteroku.<br /><br />Eka namanya. Ia datang ke Balikpapan dengan menumpang pesawat Garuda (perjalanan dari Jakarta menempuh waktu kurang lebih satu jam 45 menit), untuk mengurus akte pendirian kantor cabang perusahaannya yang bergerak di bidang konstruksi bangunan.<br /><br />"Besok aku jemput kamu jam 8, jangan sarapan dulu ya." Itu balasan SMS-ku. Jam delapan lebih sedikit aku sudah berada di lobby hotel Le Grandeur (d/h Hotel Dusit). Selain Le Grandeur ada beberapa hotel di Balikpapan dari kelas melati sampai bintang lima. Contohnya Bahtera Hotel, Novotel, Gran Senyiur, Comfort Sagita Hotel, dan lain-lain.<br /><br />Aku membawa Eka sarapan soto banjar langgananku di samping kantor DPRD Balikpapan. Kami bercakap-cakap dalam bahasa Banjar (meskipun aku bukan orang Banjar, ibuku peranakan Manado/Chinese, ayahku Kutai/Tenggarong). Itu karena aku lahir, menamatkan SD, SMP dan SMA di Samarinda, sehingga bahasa Banjar dan Kutai menjadi bahasa sehari-hari. Khususnya bila bertemu dengan orang Banjar dan Kutai juga. Aku memesan semangkuk soto banjar dgn satu telur kampung dan nasi setengah, sedangkan Eka memesan soto banjar dengan ketupat.<br /><br />Setelah perut kami agak panas, mulut dower kepedasan ditambah keringat yang mengucur deras, kami lanjut berkeliling kota. Jam sembilan, matahari sudah demikian menyengatnya. Di Balikpapan, apalagi musim kemarau, sengatan matahari bisa membuat ubun-ubun serasa berdenyut. Sinarnya yang kejam bisa membuat kulit seputih apa pun menjadi legam, apalagi kalau nekat nggak memakai pakaian ala ninja, khususnya pengendara motor.<br /><br />Secara keseluruhan, kotaku ini berkembang amat pesat. Lalu lintasnya padat dengan kendaraan pribadi (baik dari daerah-daerah lain di Kalimantan Timur, maupun kendaraan dari luar Kalimantan Timur; ini terlihat dari pelat nomornya, paling banyak pelat B, L dan DD). Sekarang pun, sedang dibangun tiga apartemen mewah menyaingi kompleks perumahan yang ada. Dua pusat pembelanjaan lainnya juga dalam tahap penyelesaian.<br /><br /></span><span style="color: rgb(0, 0, 0);"></span><p></p><span style="color: rgb(0, 0, 0);"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5153449583948565282" style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center;" alt="" src="http://bp0.blogger.com/_fyhrxYN6pZo/R4S7F6sjiyI/AAAAAAAAA-s/0fNxAp3qo44/s320/MANGGAR_PICT9344_1%5B1%5D.jpg" border="0" /><br /></span><p align="center"><span style="color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" >Pantai Manggar, photo oleh Sagita</span></p><p><br /><span style="color: rgb(0, 0, 0);">Secara penghidupan, Balikpapan termasuk kota dengan biaya hidup tinggi alias serba mahal. Pemkot Balikpapan lebih sibuk ngejar target pemasukkan daerah daripada membenahi pariwisatanya. Pantai Manggar dan Lamaru lebih asyik dilihat pada malam hari. Jangan dinikmati pada saat terang. Ih, sungguh malu-maluin! Padahal kalau dikelola dan dibenahi baik dan benar, Pantai Manggar dan Lamaru ini pasti tak kalah indahnya dengan Pantai Kuta.<br /><br />Secara kependudukan, Balikpapan dihuni berbagai suku di tanah air dan berbagai bangsa (pekerja asing/<em>expatriate</em>).<br /><br />Biarpun kota Balikpapan disebut sebagai kota minyak, belum tentu minyaknya <em>gemah ripah loh jinawi</em>. Di saat krisis minyak mendera di beberapa kota lain di Indonesia, Balikpapan pun nggak lepas dari krisis yang sama. Di segala sudut kota Balikpapan terlihat antrean panjang ibu-ibu dengan jerigen minyak tanahnya. Ini baru krisis minyak tanah, ada lagi yang lebih parah, yaitu krisis listrik (satu minggu bisa tiga kali mati antara empat jam sampai sembilan jam). Di koran lokal sudah ada jadwal pemadaman listrik selama satu bulan ke depan.<br /><br />Aku mulai menelusuri Balikpapan dari arah barat yang dikelilingi pantai di sebelah kiri, lapangan Merdeka dan perumahan Pertamina di sebelah kanan. Sampai di jalan Minyak, Eka ingin berhenti sejenak untuk melihat hamparan kilang-kilang minyak. Balikpapan, lebih sebagai kota industri pertambangan, tak heran banyak perusahaan PSC (<em>Production Sharing </em><em>Contractor</em>), pertambangan migas dan batu bara seperti Total E&P Indonesie, Chevron (d/h Unocal), Vico, Medco, KPC, Arutmin, BHP membuka <em>operation</em> <em>office</em>. Termasuk juga perusahaan <em>support</em> seperti Schlumberger, BHP, Billington, Thiess, HH Utama, Trakindo, dan lain-lain.<br /><br />Setelah puas menghirup aroma minyak dari kilang yang terbawa angin, kami melanjutkan perjalanan ke arah pasar Kebun Sayur karena Eka mau membeli cindera mata khas Kalimantan. Pasar Kebun Sayur selain tempat berdagang kerajinan khas Kalimantan (Dayak), juga sebagai wadah bertransaksi jual beli emas dan berlian Banjar. Sepanjang jalan, Eka tertarik dan membeli beberapa kalung, gelang, anjat (tas punggung khas Dayak) dan lampit (sejenis tikar terbuat dari anyaman rotan yg amat halus). Aku bertindak sebagai tukang tawar dan tentunya mempergunakan bahasa Banjar. Karena lorong pasar yang sempit, berapa kali kami berpapasan dengan turis asing, baik yang berpakaian rapi maupun berpakaian ala kadarnya.<br /><br />Tak terasa perutku berbunyi nyaring. Aku memaksa Eka untuk menyudahi nafsu belanjanya dan secepat topan badai, aku menuju ke Restoran Teluk Bayur.<br /><br />Dilihat dari tempatnya sih bukan restoran mewah, cenderung ke warung tapi ehmmmm... udang bakarnya paling maknyus. Eka berkali-kali menambah nasi, sambil mengutuki aku habis-habisan karena merusak program dietnya. Menurut Eka, bila berjalan denganku serasa tante-tante yang lagi mengajak keponakannya mencari buku <em>chicklit</em>. Setelah makan, keadaan kami sama seperti setelah makan soto; keringatan dan kepanasan. Malah bertambah dengan bau asap bakaran yang menyelimuti kami, bahkan aroma <em>Eternity-</em>ku pun hilang pamornya.<br /><br />Entah apakah karena kekenyangan, energi Eka untuk belanja pulih lagi. Dia minta tolong untuk sekali lagi menemani dirinya mencari makanan khas Kalimantan seperti amplang dan lempok duren (dodol duren).<br /><br />Aku mampir di toko di depan pasar Kelandasan. Di sini lumayan lengkap; ada amplang ikan tenggiri atau ikan pipih. Aku pun menitip dua kotak cokelat Jack n Jills dan Appolo produk Malaysia untuk dua anak Eka. Kenyang, semua titipan handai taulan terpenuhi, aku mengantar Eka ke Le Grandeur. Sebelumnya Eka sudah wanti-wanti agar dirinya tidak diajak ke mal atau pantai (secara dia lebih menyukai pegunungan). Gantian aku mengingatkannya untuk mengawal aku untuk menghadari acara pesta ulangtahun sahabatku, Ellen nanti malam.<br /><br />Jam delapan malam, kami sudah berada di restoran Dragon Palace (Hotel Blue Sky). Di restoran ini terkenal dengan masakan mejangan cabe keriting yg dimakan dengan roti mantau goreng. Lagi-lagi Eka mendelikku seakan-akan mengumpatku, "Sialan lo, Sag. Hancur nih badan gue!"<br /><br />Seperti biasa, setelah makan malam, setelah cekakak cekikik, setelah pemberian kado, setelah mengumpulkan duit saweran kado, setelah cipika cipiki ala nyonya-nyonya borju, para sahabatku melanjutkan kegembiraan ke lantai dansa Colour Beat yg masih satu lokasi di Hotel Blue Sky. Pentas penuh dengan manusia, malam minggu sih. Tampak olehku beberapa lesbian muda (aku tidak kenal, hanya menandai karena kotaku kecil. Kami biasa bertemu di mana saja, kapan saja, dan tentunya, tahu sama tahu), yang asyik dengan pasangannya masing-masing.<br /><br />Tempat-tempat <em>hang out</em> di Balikpapan termasuk lumayan banyak pilihan, seperti Colour Beat di Hotel Blue Sky, Borneo Pub di Hotel Le Grandeur, Red Square di Hotel Comfort Sagita, Connection di Bandar Balikpapan. Kurang dari jam duabelas, layaknya Cinderella, aku dan Eka kabur pulang.<br /><br />Keesokkan harinya, sekitar jam sepuluh, aku menjemput Eka. Sebelum ke Bandara Sepinggan, kami mengambil pesanan kepiting asam manis Kenari. Kepiting Kenari ini dikirim langsung dalam keadaan hidup khusus dari Tarakan. Ukurannya sangat besar dan isinya penuh, nggak kosong.<br /><br />Jam 12.15 pesawat Garuda yang membawa Eka meninggalkan landasan Bandara Sepinggan Balikpapan. Sepeninggal sahabat baikku ini, pelan-pelan kurasakan kembali perih yang menyayat hati saat mengenang masa kuliah---masa transisi krisisku, sebagai lesbian muda.<br /><br />@Sagita Rius, SepociKopi, 2008<br /><br /><strong>Tentang Sagita Rius:<br /></strong>Ibu dengan satu putri. Merasa wajib membaca untuk melembutkan hati dan mengoptimalkan fungsi otak. Setengah melankolis setengah sanguine. Jago berteori, sering kalah di realitas. Tidak gentar adu mulut, ciut bila adu otak. Lebih suka adu nyali dengan sopir angkot dan pengendara motor. Berupaya keras mewujudkan keinginan ananda yaitu menjadi bunda yang lebih feminim.</span></p><br /><span style="color: rgb(0, 0, 0);"></span>SepociKopihttp://www.blogger.com/profile/09382951408629850089noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-754739704675390524.post-87529113581018489642007-12-13T06:29:00.000-08:002007-12-15T08:36:16.806-08:00Semalam di Kuala Lumpur<a href="http://bp2.blogger.com/_fyhrxYN6pZo/R2P-9j9zEQI/AAAAAAAAA8Y/-2-QOOJrjW4/s1600-h/skybridge.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5144235532967153922" style="DISPLAY: block; MARGIN: 0px auto 10px; CURSOR: hand; TEXT-ALIGN: center" alt="" src="http://bp2.blogger.com/_fyhrxYN6pZo/R2P-9j9zEQI/AAAAAAAAA8Y/-2-QOOJrjW4/s320/skybridge.jpg" border="0" /></a> <span style="color:#000000;">Oleh: Kate<br /><br />“Bu, ini <em>itiniary </em>perjalanannya.”<br /><br />Perhatianku terpecah oleh suara sekretarisku. Aku menerima kertas yang disodorkannya. Bibirku melengkung ke bawah. Tega sekali orang yang merancang jadwal perjalananku! Tiga hari di Beijing, langsung terbang ke Kuala Lumpur. <em>Meeting </em>estafet, dari sore sampai malam, dilanjutkan pagi sampai sore. Mantap. Kapan aku bisa jalan-jalan?<br /><br />Lucu ya, pekerjaanku terkadang membawaku terbang ke negara-negara asing yang membutuhkan beberapa belas jam perjalanan, tapi aku belum pernah sama sekali mengunjungi negara tetangga, Malaysia. Sayangnya kesempatan mengunjungi Malaysia pada perjalanan kali ini digunakan untuk rapat.<br /><br />Uh, sebel. Tiba-tiba teleponku berdering.<br /><br />“Halo?”<br /><br /></span><span style="color:#000000;"><em>“Kate, I am impressed with your presentation. I think you deserve an extra night in Kuala Lumpur.”<br /></em><br />Boo, bener nggak sih, aku nggak mimpi? Sejak kapan perusahaan berbaik hati memberikan cuti liburan untuk karyawannya? Hmmm... Santa Claus ternyata mendengarkan permohonanku ya.<br /><br />***<br /><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5144234373325983986" style="DISPLAY: block; MARGIN: 0px auto 10px; CURSOR: hand; TEXT-ALIGN: center" alt="" src="http://bp0.blogger.com/_fyhrxYN6pZo/R2P96D9zEPI/AAAAAAAAA8Q/hSkBB1ObtH4/s320/malaysia.jpg" border="0" /><br />Jadi begini yang terjadi. <em>Meeting </em>udah kelar dari jam tiga siang. Seharusnya pesawatku akan menggelinding di <em>runway </em>pada pukul delapan malam waktu Kuala Lumpur, tapi kenyataannya sekarang aku sedang menggelinding sendirian di Jalan Bukit Bintang, cuci mata sambil menyusuri deretan mal-mal. Aku nginap di hotel bintang lima yang sangat nyaman, The Westin Kuala Lumpur. Aku belum pernah melihat menu breakfast selengkap hotel ini!<br /><br />Aku memutuskan untuk berhenti di kedai es krim Haagen Dazs. Aku pesan es krim rasa kacang almond lalu duduk di bangku yang dekat dengan jendela menghadap trotoar. Langit belum gelap, di sini matahari tenggelam pada jam tujuh malam. Orang-orang bergerak dengan cepat. Ras, warna kulit, warna rambut, dan bahasa campur baur terdengar. Ada cewek <em>butch </em>jam enam, bersama tiga sahabat andronya. Radar lesbianku langsung bergerak. Kuperhatikan gerak gerik mereka dengan penuh perhatian. Mereka berjalan santai, menghilang di tengah keramaian.<br /><br />Kuintip brosur yang kugenggam sampai lecek di tanganku. Kira-kira abis ini ke mana ya? Jalan-jalan ke Suria KLCC, Starhill Galery, Lot 10, atau ke Berjaya Times Square? Aku pengin lihat KLCC yang katanya dulu pernah diancam akan ditabrak dengan pesawat terbang oleh teroris. Maklum, KLCC adalah gedung kembar tertinggi di dunia. Aku memutuskan pergi ke sana, sambil berdoa semoga malam ini nggak ada teroris yang punya rencana merobohkan KLCC dengan apa pun.<br /><br />Aku naik monorail, menembus mal Berjaya Times Square. Sejenak aku tergoda untuk turun dan menghilang di mal ini, tapi tidak jadi. Tidak lama kekasih mengirim SMS dari Jakarta. <em>Apa kabar, lagi ngapain, saya kangen</em>, sapanya. Pintu monorail tertutup ketika aku selesai mengetik balasan SMS-ku.<br /><br />KLCC berdiri dengan megah dihujani oleh sinar warna-warni. Aku mendongak, menatap gedung raksasa angkuh itu. Aku melangkah masuk, disapa oleh dingin penyejuk ruangan. Di samping gedung itu, ada taman yang sangat luas. Banyak yang duduk-duduk di pinggir kolam tanpa terganggu oleh pengemis atau penjaja asongan. Aku mencari tempat duduk dan menikmati matahari tenggelam. Mataku nggak berhenti bergerak, mengamati sepasang perempuan yang duduk berdekatan. Tidak menarik perhatian, tapi aku dapat dengan mudah menebak bahwa mereka adalah sepasang kekasih.<br /><br />Aku naik ke lantai paling atas, masuk ke PetroSains, semacam museum sains buat anak-anak. Banyak sekali anak-anak berkeliaran. Aku memutuskan untuk masuk dan melihat-lihat. Ternyata emang nggak nyesel deh masuk ke PetroSains.<br /><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5144233505742590178" style="DISPLAY: block; MARGIN: 0px auto 10px; CURSOR: hand; TEXT-ALIGN: center" alt="" src="http://bp2.blogger.com/_fyhrxYN6pZo/R2P9Hj9zEOI/AAAAAAAAA8I/NcUvB2GNIJU/s320/petrnas.jpg" border="0" /><br />Dari sana, aku memutuskan untuk pergi ke China Town. Kupanggil taksi butut berwarna merah dan putih. <em>Halah, taksi Jakarta lebih bagus</em>. Sopirnya, seorang India berkulit sangat gelap bertanya dengan sopan ke mana tujuanku. Aku bilang China Town, tempat yang enak untuk makan malam. China Town ternyata seperti China Town yang tersebar di negara-negara lain: kotor, ramai, dan penuh dengan orang-orang Cina. Sepanjang China Town, banyak sekali gedung-gedung tua bersejarah, yaitu gedung kantor polisi The Old High Street, kantor pos, The Old China Cafe, gedung Kwon Siew Association, kuil Sri Maha Mariamman, gedung Lee Rubber, dan gedung Chan See Shu Yuen Association. Gedung itu masih berdiri tegak dan terawat apik.<br /><br />Duduk sendirian, aku memilih restoran Cina yang terlihat bersih dan ramai. Aku kangen dengan kekasihku. Dia sedang apa ya? Sudah jam 9 malam waktu Kuala Lumpur, jam 8 waktu Jakarta. Pasti kekasihku masih berada di kantornya, berkutat dengan tumpukan <em>file </em>dan ocehan bos. Aku meneleponnya, memintanya menemaniku menghabiskan makan malamku. Sambil mengobrol, mataku jelalatan. Kira-kira ada nggak ya pasangan lesbian lagi atau genk lesbian sedang menikmati malam di China Town, seperti aku sekarang? Duh, kangen juga dengan teman-teman lesbianku di Jakarta.<br /><br />Setelah perut kenyang, aku memutuskan untuk menyisiri Bukit Bintang sekali lagi, berjalan-jalan dengan santai. Akhirnya aku kembali ke hotel pada pukul sebelas malam, lelah dan sangat kesepian.<br /><br />Pesawatku berangkat ke Jakarta pukul satu esoknya, sehingga sepanjang pagi kuhabiskan dengan shopping di Sentral Market yang menjual berbagai aneka souvenir menarik dan unik dari Malaysia. Kulirik jam tangan. Kalau ada waktu tambahan, aku ingin sekali mampir di National Gallery untuk menghirup udara <em>culture</em>. Tapi karena tidak memungkinkan, terpaksa aku kembali ke hotel untuk check out, mencari taksi bandara. Sejam berikutnya aku terkantuk-kantuk di taksi dalam perjalanan menuju Kuala Lumpur International Airport (KLIA). Tiba di Jakarta, langsung cabut menuju kantor, menghadap bos, dan tenggelam di mejaku oleh timbunan pekerjaan sampai pukul sepuluh malam. Kekasih menelepon, berjanji menjemputku di kantor. Aku mengiyakan sambil menguap lebar. Hhh, perjalananan bisnis kali ini nggak ada jetlag sama sekali, tapi kerinduanku pada kekasih selalu bisa mengalahkan <em>jetlag</em> separah apa pun.<br /><br />@Kate, Sepocikopi, 2007 </span><br /><span style="color:#000000;">gambar dari www.</span><span style="color:#000000;">wikipedia.org<br /><br /><strong>Tentang Kate: </strong>lahir pada bulan purnama. Memiliki rambut panjang dan lebat yang nggak rela dipotong, menunggu kesempatan ditemui oleh pencari model untuk iklan sampo dan <em>conditioner</em>. Sampai sekarang dia masih menunggu dengan sabar...</span>Anonymousnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-754739704675390524.post-55348616379974660012007-11-05T09:09:00.001-08:002007-11-05T18:23:04.799-08:00Perempuan Lintas Medan - Sumatra<span style="color:#000000;">Oleh: Arie Gere<br /></span><span style="color:#000000;"><p align="center"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5129399142027640978" style="MARGIN: 0px 10px 10px 0px; CURSOR: hand" alt="" src="http://bp0.blogger.com/_fyhrxYN6pZo/Ry9JV8vAQJI/AAAAAAAAA48/mYIhtOIZOds/s200/medan1.jpg" border="0" /></p><p align="center"><a href="http://bp0.blogger.com/_fyhrxYN6pZo/Ry9JV8vAQJI/AAAAAAAAA48/mYIhtOIZOds/s1600-h/medan1.jpg"><span style="color:#000000;">Gbr1. Bandara Polonia, Photo by Arie, November 01, 2007 </span></a></p></span><span style="color:#000000;"><em>“Bang, aku pinjam keretanya yah?”<br />“Mau ke mana?”<br />“Mau ke pajak ngantar Mamak.”<br />“Lewat mana?”<br />“Yah lewat pasar biasa ajalah bang, biar gak macet kali.”<br />“Hati hati kau, banyak orang tenggen di situ.”<br />“Siplah bang, tenang aja, kan aku anak mudanya ;).”<br /></em><br />Sepenggal percakapan di atas mungkin akan mengerutkan dahi Anda beberapa saat untuk memahami maksud kalimat-kalimatnya. Itu Bahasa Medan, bukan bahasa Batak, Melayu apalagi bahasa Jawa.<br /><br />Medan adalah ibu kota Provinsi Sumtera Utara dengan mayoritas penduduk bersuku Batak dan Melayu yang menduduki posisi sebagai salah satu kota besar di Indonesia, terkenal dengan makanan khas Bika Ambon, Durian, dan Terong Belanda-nya. Beberapa tahun ini bertambah lagi satu makanan khas kota Medan, yaitu Bolu Meranti, meskipun sebenarnya bukan maksud saya mempromosikan bolu yang satu ini, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa Bolu tersebut sudah menjadi oleh-oleh khas kota Medan. Hampir setiap pengunjung kota Medan akan bertambah berat badannya bila meninggalkan kota ini. Bayangkan saja, makanan yang beraneka ragam sangat menggoda lidah untuk dicicipi.<br /></span><span class="fullpost"><br /><span style="color:#000000;">Jika berangkat dari Bandara Sukarno-Hatta, tidak sampai dua jam Anda akan tiba di Bandara Polonia yang dikelilingi dengan perumahan baik elit maupun standar yang sebenarnya sangat mengganggu navigasi penerbangan, tetapi malah menguntungkan ditinjau dari sisi pihak pengunjung. Pengunjung kota Medan dapat langsung ke pusat kota hanya dalam waktu 10 menit. Tinggal naik taksi atau dengan becak mesin (baca:becak bermotor) sudah pasti tiba di tujuan.<br /><br />Meski demikian, kenikmatan yang dirasakan pengunjung ini sepertinya akan segera hilang karena lokasi bandara yang sangat mengganggu tersebut akan dipindahkan ke daerah lain Sumatra Utara.<br /></span></span><span class="fullpost"><span style="color:#000000;"><br />Batak sebagai salah satu suku terbesar di kota Medan memiliki mahakarya budaya yang sangat istimewa. Mulai dari bahasa batak yang beraneka ragam, tarian tor-tor yang gerakannya berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, sampai-sampai makanan khasnya pun ada bermacam-macam jenisnya. Bahasa batak dari Tapanuli Utara akan terdengar tegas dan keras bila dibandingkan dengan bahasa batak dari Tapanuli Selatan (Mandailing) yang terkesan sedikit mendayu-dayu.<br /><br />Nah, kalau ditinjau dari agama, masyarakat daerah Utara mayoritas beragama Kristen sedangkan daerah Selatan mayoritas Muslim. Berbicara makanan khas, Ikan Mas Arsik akan sering dijumpai pada acara-acara adat Batak baik yang dari Utara ataupun dari selatan. Masyarakat Utara menyenangi makanan yang bernama Sangsang (baca: Saksang) yaitu daging babi yang dicincang dan dimasak dengan aneka bumbu.<br /><br />Namun bila kita jalan-jalan ke daerah Selatan, makanan tersebut tidak akan dijumpai lagi. Orang Selatan terkenal dengan makanan khas nya Ikan Sale, Pakat dan Holat. Ikan Sale merupakan ikan lele yang diasapi hingga berwarna hitam pekat dan biasanya digulai. Pakat adalah isi dari rotan muda yang dimakan seperti lalap. Terakhir, holat, yaitu makanan berkuah seperti sop yang berisi ikan dan serbuk kayu.. Terdengar anehkah??<br /><br />Saya adalah orang Batak, dan saya bangga menjadi orang Batak meskipun ditinjau dari segi bahasa masih sangat minim untuk dikatakan sebagai orang batak. Besar dan tumbuh di kota Medan membuat saya pribadi kesulitan memahami bahasa nenek moyang tercinta. Orang Batak akan sangat bangga bila mempunyai anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan.</span><br /><br /><br /><span style="color:#000000;"></span><br /><span style="color:#000000;"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5129399876467048626" style="DISPLAY: block; MARGIN: 0px auto 10px; CURSOR: hand; TEXT-ALIGN: center" alt="" src="http://bp3.blogger.com/_fyhrxYN6pZo/Ry9KAsvAQLI/AAAAAAAAA5M/N0656BYpC2k/s320/medan2.jpg" border="0" />Gbr2. Perempuan terbang melayang Photo by Arie, November 01, 2007<br /><br /></span><br /><span style="color:#000000;">Sebagai penerus marga dalam suku Batak, anak laki-laki mendapat posisi terhormat dalam keluarga.. Laki-laki sebagai penerus marga mempunyai banyak hak istimewa dan didahulukan kepentingannya daripada anak perempuan. Misalnya saja, kaum laki-laki akan mendapat kehormatan untuk makan terlebih dahulu dalam suatu acara adat, lengkap dengan semua panganan yang dihidang dengan lezat dan menarik. Sementara kaum wanita, hanya akan makan bila laki-laki sudah selesai makan, atau paling tidak akan makan bersama-sama wanita lainnya di dapur.<br /><br />Jadi, salah satu kesuksesan menurut keluarga Batak adalah mempunyai anak laki-laki.<br /><br />Bahkan konon dulu, bila seorang wanita yang dinikahi tidak dapat memberikan seorang anak laki-laki, jadilah wanita itu siap-siap untuk diceraikan atau dimadu.<br /><br />Kodrat terlahir sebagai perempuan Batak secara tidak sadar membuat mental saya menjadi keras dan selalu ingin bersaing dengan kaum laki-laki. Ingin membuktikan bahwa anak perempuan juga tidak kalah istimewanya dengan anak laki-laki. Tuhan menciptakan semua manusia itu sama, dibedakan hanya dari tingkat keimanannya.<br /><br />Beberapa kali hati saya menangis melihat kaum perempuan di daerah kampung saya, (kampung saya terletak di salah satu desa terpencil di daerah Tapanuli Selatan), di mana kaum perempuannya harus bekerja penuh ekstra dibandingkan dengan laki-lakinya. Ibu-ibu berjalan kaki sambil menggendong anak yang masih kecil ditangan kanan, sedangkan tangan kiri penuh dengan seember pakaian untuk dicuci, belum lagi di atas kepala diletakkan ember yang sebelumnya di alas dengan kain kepala seperti blangkon yang berfungsi menjaga agar ember di atas kepala tersebut tidak jatuh. Di belakang si Ibu, berjalan anak-anaknya yang lain sambil membawa pakaian lainnya untuk dicuci. Sementara si Bapak, asyik main kartu domino ataupun Joker sambil minum Tuak (Minuman Beralkohol) di Sopo Godang (tempat bekumpul para pria dikampung saya yang sebenarnya berfungsi untuk tempat bermusyawarah).<br /><br /><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5129400357503385794" style="DISPLAY: block; MARGIN: 0px auto 10px; CURSOR: hand; TEXT-ALIGN: center" alt="" src="http://bp3.blogger.com/_fyhrxYN6pZo/Ry9KcsvAQMI/AAAAAAAAA5U/XF3g6R1CbiQ/s320/medan3.jpg" border="0" />Gbr2. Sopo Godang Kampungku, Photo by Arie, 25 Oktober 2007<br /><br />Itu adalah kejadian hampir 10 tahun yang lalu yang saya saksikan dengan mata sendiri, namun masih teriris pedih hati ini bila mengingatnya betapa tega perlakuan si Bapak pada saat itu. Mungkin cuma saya yang merasa pedih, sedangkan si Ibu justru memperlihatkan wajah tersenyum ketika tahu saya memerhatikannya sedikit lama. Ibu muda yang saya pikir ketika itu berumur 40 tahun, ternyata masih berumur 25 tahun… Sayang sekali, penampilan dan wajahnya jauh lebih tua dari usia sebenarnya. Ibu ini sepertinya tidak keberatan menjalani hidup yang dipilihnya sekarang, merasa bahwa itu adalah kodrat perempuan, merasa memang sudah seharusnya perempuan seperti itu.<br /><br />Kini, sedikit demi sedikit anggapan kolot itu sudah mulai berubah.<br /><br />Televisi, radio, media cetak dan telepon memang sarana komunikasi yang sangat efektif untuk mengubah pola pikir sebuah masyarakat. Wanita di kampung saya sudah mulai berpikir lebih maju di bandingkan tahun-tahun sebelumnya saya pulang ke kampung mengunjungi Opung (Kakek dan Nenek) yang memang lebih suka tinggal di daerah pedesaan daripada mengirup hiruk pikuknya udara kota.<br /><br />Dalam adat Batak, ada istilah Pariban. Pariban adalah anak laki-laki dari saudara perempuan bapak (sepupu, anak Tante) bagi perempuan, dan anak perempuan dari saudara laki-laki ibu (sepupu, anak Tulang (baca:Om) bagi laki-laki. Jadi konsepnya saling menyilang seperti itu. Pariban sangat disarankan untuk dinikahi meskipun sebenarnya tidak ada paksaan, tetapi merupakan perjodohan terselubung dalam keluarga yang dimulai ketika anak masih dalam kandungan.<br /><br />Saya teringat dengan masa kecil saya ketika diolok-olok oleh sepupu-sepupu lain ketika Pariban ingin bermain dengan saya. Rasanya janggal, dia seperti abang kandung bagi saya, mana mungkin dinikahi? Tetapi ternyata konsep kolot seperti itu masih berputar-putar di otak keluarga besar saya. Pariban yang sangat saya hormati selayaknya abang, dipaksa dengan halus menikahi saya ketika kami berdua dinilai sudah matang untuk berumah tangga. Seperti ada konspirasi terselubung antara Ibu saya dengan Ibunya.<br /><br />Di luar dugaan, Pariban tersebut menyampaikan rasa bersalahnya dan rasa minta maafnya kepada saya melalui sebuah e-mail karena dia berencana menikahi perempuan lain yang dicintainya. Berjatuhan air mata saya, bukan sedih bukan kecewa, saya bahagia karena ia menemukan cintanya. Dengan semangat menggebu-gebu, saya utarakan hal ini pada partner dan menyuruhnya langsung membaca e-mail tersebut.<br /><br />Seandainya saya dan Pariban dipersatukan oleh Tuhan, apakah sanggup saya menjalani kepura-puraan dalam berumahtangga karena sebenarnya sudah ada 2 jenis pertentangan yang muncul di jiwa ini, pertama karena saya punya ikatan darah yang sangat dekat dengan Beliau, dan yang kedua dan terpenting adalah saya tidak mencintainya, saya mencintai perempuan lain. Perempuan yang membuat saya telah menemukan arti kehidupan sebenarnya, arti cinta kepada Tuhan, arti cinta kepada keluarga dan arti cinta kepada sesama. Perempuan yang gerak-geriknya selalu menawan di mata hati saya, dialah perempuanku.<br /><br />Saya hanyalah perempuan biasa yang sangat mencintai perempuanku.<br /><br /></span><span style="color:#000000;"><span style="font-size:85%;">Keterangan :<br />- Kereta = sepeda motor<br />- Pajak = pasar<br />- Pasar = jalan raya, aspal hitam<br />- Kali = sangat, terlalu, banget<br />- Tenggen = mabuk<br />- Anak muda = jagoan<br /></span><br /></span><span style="color:#000000;"><strong>TENTANG ARIE GERE:<br /></strong>Seorang perempuan dikelilingi dengan angka-angka yang menawan, benci berada jauh dari rumah namun tugas dan tanggung jawab membuatnya terpaksa meninggalkan rumah. Sangat mencintai Medan, hobi makan minum apa saja asal halal, selalu berkeliling kota naik sepeda motor, dan tidak tahan dingin apalagi AC. Fans berat sama Haruka Tenoh (Sailor Uranus) dalam Sailormoon, bersuara sedikit bass namun sangat suka menyanyi sambil mencet-mencet tuts butut kebanggaannya, karena baginya, <em>No Music</em>, <em>No Life</em>. Kalau <em>no woman</em>???? Seperti hidup yang mati suri…<br /><br />@Arie, SepociKopi, November 2007 </span><br /><br /><br /><br /></span>Anonymousnoreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-754739704675390524.post-70750814714761747742007-10-26T01:03:00.000-07:002007-10-26T11:07:52.356-07:00Balada Sitti Nurbaya di Kota Padang Tercinta<span style="color:#000000;">Oleh: Naomi<br /><br /></span><div align="center"><span style="color:#000000;"><embed pluginspage="http://www.macromedia.com/go/getflashplayer" src="http://picasaweb.google.co.uk/s/c/bin/slideshow.swf" width="288" height="192" type="application/x-shockwave-flash" flashvars="host=picasaweb.google.co.uk&RGB=0x000000&feed=http%3A%2F%2Fpicasaweb.google.co.uk%2Fdata%2Ffeed%2Fapi%2Fuser%2Fsepocikopi%2Falbumid%2F5125701215288213953%3Fkind%3Dphoto%26alt%3Drss"></embed><br />Photo by Naomi</span></div><br /><br /><span style="color:#000000;">Namaku Naomi. Aku dilahirkan di kota kecil bagian barat Pulau Sumatra. Kota yang sangat keras dalam memberlakukan dan menjunjung tinggi nilai-nilai adat istiadat serta agama. Kota yang berazaskan <em>adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah</em> (perilaku manusia dikontrol oleh norma-norma yang berlaku. Sementara norma-norma tersebut dijalankan menurut acuan Alqur’an). Kota yang terkenal dengan legenda Malin Kundang, cerita Sitti Nurbaya, keunikan tari piringnya dan masakan tradisional yang terkenal sampai ke mancanegara; Rendang serta Dendeng Balado. Itulah kotaku tercinta. <em>Tanah Ranah Minang</em>. Padang.<br /><br />Dahulu aku sama sekali tidak pernah mau peduli dan mengerti adat istiadat yang mengikat kami. Namun sekarang seiring bertambahnya usia, aku mulai jengah dibuatnya. Segala tindak tandukku selalu saja diawasi adat. Tidak boleh begini, tidak boleh begitu. Anak perempuan tidak boleh bertandang ke luar rumah, apalagi ke rumah lelaki. Tidak boleh pulang malam (<em>ahh… mending pulang pagi</em>!). Tidak boleh tertawa ngakak, harus patuh kepada orang tua, suami serta mamak (saudara laki-laki dari pihak ibu yang dituakan) dan perempuan harus pintar memasak, mengurus suami dan rumah tangga. </span><span style="color:#000000;"><em>Heeh… benar-benar seperti zaman Sitti Nurbaya aja, capek deeeh…!<br /></em><br /><br /></span><p align="center"><a href="http://picasaweb.google.co.uk/sepocikopi/Padang/photo#5125701580360434130"><span style="color:#000000;"><img src="http://lh3.google.co.uk/sepocikopi/RyImbiIKwdI/AAAAAAAAAKY/R4miC7w5Jxc/s144/padang1.jpg" /></span></a></p><br /><span style="color:#000000;">Hak azasiku sebagai perempuan kembali tertindas oleh hukum, norma dan peraturan adat yang berlaku. Ketika akhirnya mereka mengetahui perbedaan orientasi seksualku, mereka memasungku! Perbedaanku dianggap sebagai penyakit yang ditularkan oleh kekasih dan dianggap sebagai aib dalam keluarga. Mereka menutup-nutupinya, merasa malu dengan keadaanku.<br /><br />Berbagai pasukan orang pintar dipanggil. Mulai dari dukun, Kyai dan entah apa lagi mulai didatangkan mereka untuk menyembuhkanku. Ada yang bilang aku terkena guna-guna, dan mengobatiku dengan jampi-jampinya serta menyuruhku mandi dengan air kembang yang telah dimantrai. Ada yang memberi pengajian. Bahkan semua kegiatanku pun dimata-matai. <em>Halah-halah… tidak tahu kah mereka, bahwa semua tindakan mereka itu malah menyakitiku?</em> Tidak saja batinku yang terluka, namun fisikku juga menderita.<br /><br />Suatu ketika, di saat semua rasa semakin memuncak, aku mencoba untuk berontak. Terjadilah adu argumen yang hebat di dalam keluarga besarku. Aku ingin memertahankan hak dalam menentukan pilihan hidupku, aku ingin menikmati kebebasan dan kemerdekaanku. Aku ingin menghirup udara segar! Aku ingin perbedaanku dihargai. Aku tidak ingin dilecehkan, disakiti, dan disiksa dengan dukun, kyai dan orang-orang konyol suruhan mereka. Namun apa yang terjadi? Ayahanda tercinta jatuh tergeletak, tak berdaya menahan sesak di dada. Serangan jantung, itu kata mereka. Dan aku pun terpana.<br /><br />Mereka memojokkanku. Mengambil kesempatan untuk menghancurkanku. Memanfaatkan rasa bersalahku terhadap ayahanda sebagai senjata untuk menikamku. Aku dipaksa menikah, untuk menyelamatkan kesehatan ayahanda tercinta. Atau, apakah untuk menyelamatkan muka dan kehormatan keluarga?<br /><br />Jodohku telah mereka carikan, tanggal pernikahanku pun telah mereka tentukan. Mereka bahkan tidak memberitahukanku siapakah gerangan laki-laki yang akan dijodohkan denganku. Apakah dia tua, kurus kerempeng dan jahat seperti Datuk Maringgih yang dulu pernah ditayangkan di stasiun televisi itu? Atau bagaikan pangeran? Kesatria berkuda seperti yang ada di dalam dongeng-dongeng pengantar tidur? Aku sama sekali tidak tahu. Namun aku menyanggupinya, meski jiwa dan raga ini tersiksa.<br /><br /><br />***<br /><br />Sore itu, tepatnya hari rabu tanggal 12 September 2007. Menjelang adzan maghrib bergema, ketika umat manusia tengah disibukkan dengan kegiatan menanti datangnya Ramadhan. Bumi berguncang hebat. Dunia seakan kiamat. Barang-barang berjatuhan, listrik pun padam. Kusambar kesatria kecilku dan lari menyelamatkan diri keluar rumah.<br /><br /></span><p align="center"><a href="http://picasaweb.google.co.uk/sepocikopi/Padang/photo#5125703212448006706"><span style="color:#000000;"><img src="http://lh3.google.co.uk/sepocikopi/RyIn6iIKwjI/AAAAAAAAALI/s5t7R2Eyvzc/s144/padang%20pasca%20gempa2.jpg" /></span></a></p><span style="color:#000000;">Panik melanda warga kota, begitu pun juga dengan diriku. Keluarga besarku tercerai berai. Lafadz Illahi tak henti-hentinya mengalir dari mulutku sambil mendekap erat si kecil yang belum mengerti apa-apa. Bengkulu diguncang gempa tektonik berkekuatan 7,9 SR. Hampir seluruh pulau Sumatra dan sebagian pulau Jawa merasakan getarannya. Tuhan, selamatkanlah kami semua…<br /><br />Selang beberapa menit kemudian, gempa mereda. Namun Padang sudah seperti kota mati. Ancaman tsunami. Mereka yang takut mati segera pontang-panting lari menyelamatkan diri menuju dataran yang lebih tinggi. Tapi kami sekeluarga tetap bertahan di rumah, berkumpul kembali bersama keluarga yang tadinya tercerai-berai. Hatiku merasa lebih lega. Apa pun yang terjadi, walaupun nantinya kami tidak selamat, setidaknya kami bisa menghadapi cobaan ini bersama-sama.<br /><br />Keesokan paginya, ketika warga masih terlelap dalam tidur mereka selepas imsyakh dan sholat subuh, untuk kedua kalinya, bumi terguncang lagi. Kali ini guncangannya lebih kuat dan lebih lama daripada kemarin. Bangunan-bangunan mulai roboh, rata dengan tanah. Sementara rumahku mengalami keretakan. Bumi terbelah, tanah merekah, dan menyemburlah air comberan yang berbau busuk dari dalam perut bumi bagaikan sumur artesis setinggi satu meter. Warga pun kembali lari berhamburan. Painan, bagian selatan dari wilayah Sumatra Barat kembali dikoyak gempa berkekuatan 7,6 SR.<br /><br /></span><p align="center"><a href="http://picasaweb.google.co.uk/sepocikopi/Padang/photo#5125703208153039394"><span style="color:#000000;"><img src="http://lh6.google.co.uk/sepocikopi/RyIn6SIKwiI/AAAAAAAAALA/v_8RwV6MWEU/s144/padang%20pasca%20gempa.jpg" /></span></a></p><span style="color:#000000;">Tiga puluh menit kemudian… “Lariii… Air naiiik!” teriak warga histeris. Memang benar, air memang naik. Melesat secepat angin menuju ke arah Timur. Aku menyaksikan hal itu sendiri dengan keluargaku dari lantai tiga di atas rumahku. Ibunda terlihat shock, ia menangis. Namun mulutnya masih terus istighfar, sambil mengajak kedua keponakanku untuk turut mengucapkan kalimat-kalimat Illahi seperti yang beliau lakukan. Tetapi Allah masih sayang kepada hambaNya. Secepat air itu naik, secepat itu pula air kembali surut.<br /><br />Bayangan tsunami kecil masih saja menghantui ibunda, apalagi ditambah dengan isu-isu yang tak bertanggung jawab serta gempa susulan yang terus menerus terjadi. Ibunda mengkhawatirkan anak dan cucu-cucunya. Kekhawatiran ibunda membuat kami mengambil langkah untuk segera pindah ke tempat yang lebih tinggi. Maka, mulailah kami berburu rumah baru untuk dinaungi.<br /><br />Gila! Harga rumah di pinggiran kota naik gila-gilaan secara serentak. Rumah yang dulunya dihargai enam puluh juta rupiah naik menjadi seratus lima puluh juta rupiah. Bahkan ada yang harganya mencapai tiga ratus lima puluh juta. Benar-benar sinting! Bagaikan menangguk di air keruh! Bagaimana dengan orang yang berasal dari keluarga yang tidak mampu? Apakah mereka akan memilih tinggal di perbukitan? Entahlah, aku sendiri juga bingung memikirkannya.<br /><br />Satu rumah kelihatan cocok, dihargai seratus lima puluh juta. Rumah tinggal bertingkat, namun separo jadi. Tak masalah, hal itu bisa diselesaikan renovasinya di kemudian hari. Yang penting kami memiliki rumah pengungsian. Setelah bernegosiasi dalam percakapan telepon, maka berangkatlah kami ke lokasi yang dituju. Aku terheran-heran ketika melintasi lokasi perumahan tersebut. Kompleks perumahan dosen Unand Limau Manis. Waduh! Ini rumah komplek apa hutan, sih? Menyeramkan sekali! Di mana-mana terdapat hutan rimba, bahkan jalanan menuju lokasi pun masih belum diaspal. Bukankah ini komplek perumahan dosen yang terkenal dengan harimau putih jadi-jadiannya?<br /><br />Cerita harimau siluman itu bukan cerita isapan jempol belaka, itu memang nyata adanya. Harimau putih siluman itu suka menampakkan dirinya sekitar jam sebelas malam ke atas. Banyak yang telah melihatnya. Maka dari itulah banyak para dosen dan warga yang enggan menempati perumahan tersebut. Aku bersikeras agar mereka mengurungkan niatnya untuk membeli rumah tersebut dan mencari rumah lainnya. Dengan sangat menyesal, perjanjian itu pun dibatalkan.<br /><br />Terus dan terus mencari, akhirnya kami menemukan tanah kompleks yang masih kosong dan terletak di kawasan aman. Diputuskanlah untuk membeli tanah tersebut. Walaupun cuma tanah, tapi tak apalah. Toh, bangunannya bisa disusul kemudian. Sedikit lebih lega, dan mereka pun gembira. Sekarang kami hanya tinggal menunggu proses surat-surat resmi saja biar tanah tersebut bisa dibangun secepat mungkin.<br /><br />***<br /></span><a href="http://picasaweb.google.co.uk/sepocikopi/Padang/photo#5125701580360434162"><span style="color:#000000;"><img height="86" src="http://lh3.google.co.uk/sepocikopi/RyImbiIKwfI/AAAAAAAAAKo/5ockSERsIyo/s144/padang3.jpg" width="141" /></span></a><span style="color:#000000;"> <a href="http://picasaweb.google.co.uk/sepocikopi/Padang/photo#5125701580360434146"><img height="86" src="http://lh3.google.co.uk/sepocikopi/RyImbiIKweI/AAAAAAAAAKg/l1VWb5eHN6Q/s144/padang2.jpg" width="141" /></a><br />Padang, kota tercinta. Namun aku ingin pergi karena aku merasa hampa. Mati atau tidak di sini, tak ada bedanya. Karena kebebasanku telah lama terenggut. Aku ingin merdeka. </span><span style="color:#000000;"><em>Bila saatnya tiba, aku akan segera menyongsong hari kebebasanku. Rencana itu telah tersusun rapi di kepala. Aku ingin hidup bersama kekasih dan ksatria kecilku di seberang lautan. Maafkan aku karena aku telah lelah berperan ganda. Aku tak mau lagi menjadi Sitti Nurbaya.<br /></em><br /><br /></span><span style="color:#000000;"><strong>Tentang Naomi<br /></strong><em>Perempuan Blasteran Hindustan & Minang. Luwes dalam bergaul. Menjunjung tinggi arti dari persahabatan serta kesetiaan. Sedikit iseng, namun banyak jailnya. </em>Harry Potter <em>adalah bacaan favorit. Cita-citanya sangat unik, yaitu ingin mempunyai satu istana di puncak gunung Olimpus, di mana tak seorang pun bisa mengusik kebahagiaan masa depan yang akan dilalui bersama orang-orang terkasih.</em> </span>SepociKopihttp://www.blogger.com/profile/09382951408629850089noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-754739704675390524.post-20499677066458349802007-09-18T01:41:00.000-07:002007-09-19T21:41:02.893-07:00San Fransisco 101<span style="color: rgb(0, 0, 0);">Oleh: Wind</span><br /><div style="text-align: center; color: rgb(0, 0, 0);"><br /><br /><center><br /><embed type="application/x-shockwave-flash" src="http://picasaweb.google.com/s/c/bin/slideshow.swf" width="288" height="192" flashvars="host=picasaweb.google.com&RGB=0x000000&feed=http%3A%2F%2Fpicasaweb.google.com%2Fdata%2Ffeed%2Fapi%2Fuser%2Fsepocikopi%2Falbumid%2F5111355061765181393%3Fkind%3Dphoto%26alt%3Drss%26authkey%3DnGIMv_HFsKc" pluginspage="http://www.macromedia.com/go/getflashplayer"></embed><br />all photos by Wind</center><br /></div><br /><span style="color: rgb(0, 0, 0);">San Francisco, kota yang berdiri di atas perbukitan sehingga jalanan kota ini naik-turun. Apabila Anda mempunyai jiwa berpetualang, ingin menjelajahi kota tanpa ikut tour apa pun, hal itu sangat memungkinkan di San Francisco. Dari bandara SFO ke pusat kota San Francisco (turun di Powell Station), dapat ditempuh dalam waktu 45 menit dengan menumpang BART (kereta cepat bawah tanah) yang terdapat di bandara domestik SFO hanya dengan biaya $5.15. Persis di luar Powell Station ini, terdapat Tourist Information Center. Disini anda tinggal mengambil booklet yang berisikan tentang tempat tempat wisata dan hotel-hotel di San Francisco lengkap dengan peta di dalamnya.</span><br /><br /><span style="color: rgb(0, 0, 0);">Di sekeliling Powell Station terdapat banyak hotel dari yang berbintang sampai yang murah. Di sana juga terdapat hotel-hotel seperti Hilton dan Marriott dan pusat-pusat perbelanjaan. Setiap tempat wisata di San Francisco bisa dicapai dengan MUNI (bus), ongkosnya $1.50 untuk sekali naik, yang nantinya akin diberikan “transfer” (karcis) yang berlaku selama 90 menit. Cara lainnya anda bisa membeli “Visitor Passports” yang berlaku untuk sehari seharga $11, untuk 3 hari seharga $18, atau untuk 7 hari seharga $24. Atau membeli “Weekly Pass” yang berlaku untuk seminggu dari Senin ke Minggu seharga $15. Perbedaan dari Visitor Passport 7 hari dengan Weekly Pass adalah Visitor Passport tanggal penggunaannya tergantung pembeli dan karcis ini bisa digunakan untuk naik Cable Car, sedangkan Weekly Pass, karcis ini hanya berlaku dari hari Senin ke Minggu pada saat dibeli dan tidak dapat digunakan untuk naik Cable Car.</span><br /><br /><div style="text-align: center;"><a href="http://picasaweb.google.co.uk/sepocikopi/SanFransisco/photo?authkey=nGIMv_HFsKc#5111356796931969042"><img style="width: 173px; height: 145px;" src="http://lh4.google.co.uk/sepocikopi/Ru8v7PlokBI/AAAAAAAAADI/xCTa3nj_a2M/s144/Downtown.JPG" /></a> <a href="http://picasaweb.google.co.uk/sepocikopi/SanFransisco/photo?authkey=nGIMv_HFsKc#5111357015975301170"><img style="width: 173px; height: 145px;" src="http://lh3.google.co.uk/sepocikopi/Ru8wH_lokDI/AAAAAAAAADY/sNn6tAwulUg/s144/ID-2.jpg" /></a><br /></div><br /><br /><span style="color: rgb(0, 0, 0);">Adapun tempat-tempat wisata yang bisa dikunjungi adalah Golden Gate Bridge, Coit Tower, Chinatown, Japantown, Lombard Street, Fisherman Wharfs, Golden Gate Park, Palace of Fine Arts. Cuaca di San Francisco tidak begitu jauh berbeda dengan cuaca di Asia. Anda tidak akan menemukan salju di sini. Jadi janganlah heran kalo di kota ini lebih banyak keliatan orang Asia daripada bule itu sendiri. Jangan takut nyasar di kota ini, karena orang-orang di kota ini cukup ramah, mereka akan memberikan informasi apabila anda mau bertanya. Komunitas orang Indonesia di kota ini juga lumayan banyak. Setiap tahun di bulan Agustus selalu diadakan Indonesian Day dalam rangka menyambut 17 Agustus.</span><br /><br /><span style="color: rgb(0, 0, 0);">Setiap pagi dengan ditemani kopi dan sepotong kue, aku membaca e-mail dan men-</span><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);">surfing </span><span style="color: rgb(0, 0, 0);">internet sebelum berangkat kerja. Suatu rutinitas yang menjadi kegemaranku setahun belakangan ini. </span><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);">Coming out </span><span style="color: rgb(0, 0, 0);">tidak pernah sekali pun terlintas di benakku, masih banyak yang harus dipikirkan selain diri sendiri, masih ada Mama yang harus dipikirkan, seorang wanita yang lebih memilih mengabdi pada keluarga dibanding mengikuti kata hatinya ketika beliau berada di persimpangan jalan puluhan tahun yang silam. Entahlah mungkin aku hanya seorang pengecut yang berlindung di balik alasan-alasan itu..., seorang pengecut yang terdampar di kota yang salah.</span><br /><br /><span style="font-weight: bold; color: rgb(0, 0, 0);">Tentang Wind:</span><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);">Seorang yang terbiasa hidup sederhana dari kecil, humoris, bersahabat, tidak pintar basa-basi sehingga selalu dianggap kasar.</span>SepociKopihttp://www.blogger.com/profile/09382951408629850089noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-754739704675390524.post-20481547229254831262007-08-15T03:50:00.000-07:002007-08-15T04:07:31.856-07:00Teman Baru di Tengah London<a style="color: rgb(0, 0, 0);" href="http://bp0.blogger.com/_fyhrxYN6pZo/Rp-Hl09cHiI/AAAAAAAAAgc/Db2VOkYBDKM/s1600-h/bigben.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5088935187893198370" style="margin: 0px 10px 10px 0px; float: left;" alt="" src="http://bp0.blogger.com/_fyhrxYN6pZo/Rp-Hl09cHiI/AAAAAAAAAgc/Db2VOkYBDKM/s200/bigben.jpg" border="0" /></a><span style="color: rgb(0, 0, 0);"> Oleh: Mae</span><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);"></span><br /><em style="color: rgb(0, 0, 0);">"Mind the gap, mind the gap!" </em><span style="color: rgb(0, 0, 0);">berulang-ulang suara berisik itu berkumandang di seantero stasiun </span><em style="color: rgb(0, 0, 0);">tube</em><span style="color: rgb(0, 0, 0);">. </span><em style="color: rgb(0, 0, 0);">Iya, iya, ini sudah </em><span style="color: rgb(0, 0, 0);">mind the gap</span><em style="color: rgb(0, 0, 0);">, cerewet</em><span style="color: rgb(0, 0, 0);">, kataku dalam hati sambil meloncati peron. Jantungku berdetak lebih keras, pastinya bukan karena menaiki anak tangga stasiun. Embusan angin bulan Februari membuat orang merapatkan mantel mereka, namun tubuhku malah berkeringat.</span><br /><br /><span style="color: rgb(0, 0, 0);">Ini pertama kalinya dalam hidupku aku datang ke perkumpulan lesbian, maklum pekerjaanku yang </span><em style="color: rgb(0, 0, 0);">public-oriented </em><span style="color: rgb(0, 0, 0);">membuatku sangat takut ketahuan soal yang satu ini. Lalu kenapa aku memutuskan untuk berani unjuk tampang di </span><em style="color: rgb(0, 0, 0);">social group </em><span style="color: rgb(0, 0, 0);">ini? Karena aku bukan di Jakarta, kecil kemungkinan bertemu orang yang mengenaliku. Di sini, aku hanya </span><em style="color: rgb(0, 0, 0);">international student</em><span style="color: rgb(0, 0, 0);">.</span><br /><br /><span style="color: rgb(0, 0, 0);" class="fullpost">Sesampainya di luar stasiun, kubiarkan mataku berkelana me</span><span style="color: rgb(0, 0, 0);" class="fullpost">resapi suasana hiruk-pikuk tengah kota London nan angkuh, dengan manusia-manusia yang tampak selalu sibuk. Berbekal peta London A-Z pinjaman dari teman, aku mulai berjalan mencari lokasi <em>coffee shop </em>tempat pertemuan. Mataku dengan cepat berpindah-pindah dari peta di tanganku ke deretan bangunan-bangunan tua khas Inggris yang cantik, sambil memastikan langkah kakiku tidak menumbuk para <em>Londoner </em>ini. Dalam waktu lima menit dan dua belokan, papan nama <em>coffee shop </em>itu sudah terpampang tepat berada di seberangku.</span><br /><br /><span style="color: rgb(0, 0, 0);" class="fullpost">Buru-buru aku menyeberangi jalan dan berhenti tepat di samping pintu pintu <em>coffee shop </em>itu, sebelum melangkah masuk. Kuatur napasku, kukeringkan keringatku. <em>Duh astaga, kenapa jadi deg-degan sih</em>? Aku pun berusaha menenangkan diri.<br /></span><a style="color: rgb(0, 0, 0);" onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://bp2.blogger.com/_fyhrxYN6pZo/RsLdo6Jf2uI/AAAAAAAAAoI/_UvpTxa27KM/s1600-h/london1.JPG"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer;" src="http://bp2.blogger.com/_fyhrxYN6pZo/RsLdo6Jf2uI/AAAAAAAAAoI/_UvpTxa27KM/s200/london1.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5098881423010421474" border="0" /></a><br /><span style="color: rgb(0, 0, 0);" class="fullpost">Di Jakarta, aku tidak punya banyak teman lesbian. Mereka yang aku kenal hanyalah kekasihku, mantanku, dan mantannya kekasihku. Yah hanya mereka. Sejujurnya aku ingin seperti di serial <em>The L Word</em>, sering duduk bersama teman-teman yang juga mencintai perempuan, saling berbagi cerita dan saling setia mendengarkan. Namun rasa takut selalu menginjak lumat keinginanku itu.</span><br /><span style="color: rgb(0, 0, 0);" class="fullpost"><br />Rasa canggung dan ragu memberati langkahku untuk langsung masuk ke <em>coffee shop</em>. Aku mengambil HP dari dalam tas, menekan nomor si koordinator perkumpulan yang via e-mailnya telah mempersilakan aku bergabung dalam <em>social meet-up </em>bulanan mereka ini. <em>Duh, tidak diangkat</em>. Mungkin mereka sedang asyik mengobrol sehingga tidak sadar HP-nya berbunyi.<br /></span><br /><span style="color: rgb(0, 0, 0);" class="fullpost">Selintas muncul keinginanku untuk berbalik dan pulang tanpa menemui mereka. Namun pikiran tersebut kumentahkan, mengingat jarak yang telah kutempuh dan penantiaan berhari-hari untuk bertemu sekelompok calon teman baru yang kudapatkan via <em>google search </em>ini.<br /><br />Kueratkan simpul syal yang melilit leherku. Kutarik napas panjang, dan sekali lagi kutarik dalam-dalam. <em>Siapkah aku? Sekarangkah saatnya? </em>Dalam hati aku menguatkan diriku sendiri; <em>kalau aku tidak nyaman, aku akan membuat alasan untuk meninggalkan tempat pertemuan lebih cepat. Aku bisa menghilang kapan pun aku mau, mereka tidak tahu siapa aku. Oke? Oke!</em></span><span style="color: rgb(0, 0, 0);" class="fullpost"><em></em><br /><br />Dengan langkah yang sedikit lebih ringan, kubuka pintu <em>coffee shop </em>itu, kusapukan pandanganku pada semua tamu yang ada. Tidak sulit menemukan mereka, sekitar 10 wanita berwarna duduk di pojok sambil mengobrol seru. Perlahan kuhampiri dan kusapa mereka mereka, "<em>Hello</em>." Belum sempat kutanyakan apakah mereka benar adalah kelompok yang aku maksud, seorang dari mereka dengan senyum penuh kehangatan bertanya, <em>"Are you Mae?" </em><br /></span><br /><span style="color: rgb(0, 0, 0);" class="fullpost">Yep, aku berada di gerombolan yang benar. Rupanya dialah Sang Koordinator. Aku pun duduk di salah satu tempat yang masih tersedia, dan gelombang rasa hangat segera menyisipi tubuhku. Bukan hanya karena sesapan secangkir teh susu hangat ala orang Inggris ini, tapi juga karena keramahan mereka pada "orang baru" seperti aku ini. </span><br /><br /><span style="color: rgb(0, 0, 0);" class="fullpost">Dengan cepat obrolan berputar, dimulai dari menyebalkannya cuaca London kemudian menggelinding ke berbagai hal, obrolan ringan dan "berat" silih berganti. Mulai dari pengalaman dikejar anjing, hingga isu feminis seantero dunia. Mulai dari pengalaman kecopetan HP, hingga kebijakan Tony Blair (saat itu). Belasan wanita mencair dalam satu obrolan, melumerkan sekat kewarganegaraan, warna kulit dan usia. Kadang tawa menggema ke seluruh penjuru <em>coffee shop </em>yang mungil itu, kadang kening berke</span><span style="color: rgb(0, 0, 0);" class="fullpost">nyit menandakan keprihatinan pada suatu isu. Lupa sudah aku akan keraguan dan kecanggungan yang sebelumnya membebaniku.<br /><br /></span><a style="color: rgb(0, 0, 0);" onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://bp0.blogger.com/_fyhrxYN6pZo/RsLcOaJf2sI/AAAAAAAAAn4/7qYNLXbiYY8/s1600-h/london2.JPG"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer;" src="http://bp0.blogger.com/_fyhrxYN6pZo/RsLcOaJf2sI/AAAAAAAAAn4/7qYNLXbiYY8/s200/london2.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5098879868232260290" border="0" /></a><span style="color: rgb(0, 0, 0);" class="fullpost">Tak terasa, siang melesat menghampiri sore sudah. Satu per satu teman-teman baruku ini pamit meninggalkan <em>coffee shop</em>, sambil menyatakan harapannya akan kehadiranku lagi pada pertemuan di bulan mendatang. Keramaian tadi kini hanya menyisakan aku dan Sang Koordinator. Obrolan pun terus berlanjut, namun kini bergeser menjadi obrolan yang lebih pribadi.<br /><br />Dia menanyakan apakah aku baik-baik saja, rupanya dia peduli dengan isi e-mailku yang mungkin tanpa sengaja mengesankan betapa aku merasa sangat kesepian. Memang aku merasa sangat kesepian. Sendiri di negeri asing yang berjarak 18-jam-penerbangan, omelan keluarga tersayang dan kecerewetan kekasih tercinta menjadi suatu kemewahan yang kukangeni.<br /><br />Pada teman satu kampus dan flat aku bisa mengadukan rasa rinduku terhadap keluarga, karena kutahu mereka pun merasakan hal yang sama. Namun siapa yang dapat mengerti kerinduan pada kekasihku, yang telah bertahun-tahun menggandeng tanganku menaiki bukit dan menuruni lembah kehidupan di bawah jubah <em>invisible</em>-nya Harry Potter?<br /><br />Rupanya Sang Koordinator sudah beristri. Yah istri, bukan "istri". Istri tanpa tanda petik. Hukum <em>civil partnership </em>di Inggris melegalkan pasangan resmi gay dan lesbian untuk memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti pasangan hetero yang menikah. Jadi pasangan menikah tidak saja suami-istri, tapi juga istri-istri atau suami-suami.<br /><br />Pikiranku melesat pada kekasihku, kapan kami bisa saling memanggil "Istriku tercinta"? Maukah kau tinggal di sini bersamaku, membangun mimpi kita berdua? Sepadankah kita meninggalkan keluarga dan teman kita di Tanah Air, untuk kebahagiaan kita sendiri di negeri orang? Entah berapa lama pikiranku terbang melayang, sebelum akhirnya dentingan sendok beradu dengan mulut cangkir membawaku kembali menginjak bumi.<br /><br />Untuk menutupi lamunanku barusan, aku segera bertanya bagaimana dan mengapa kelompok ini ada. Sang Koordinator dengan semangat berceloteh menjelaskan. Rupanya kelompok ini sudah beberapa tahun berdiri, dan bukan saja merupakan <em>social group</em>, tapi juga <em>political group</em>. Kelompok ini memiliki misi selain ingin mendorong pemerintah Inggris untuk membuat kebijakan yang lebih baik bagi kesejahteraan lesbian, juga misi yang lebih penting adalah visibilitas lesbian yang relijius dan tidak promiskus.<br /><br />Penjelasan terakhir inilah yang memang membuatku tertarik untuk bergabung dan "nekat" menghampiri mereka. Hasil <em>browsing </em>di internet kutemukan banyak sekali perkumpulan gay dan lesbian, namun semuanya <em>so british</em>: melulu <em>clubbing </em>dan alkohol. Senang rasanya akhirnya bisa menemukan kelompok yang punya gaya hidup sama dan memiliki visi yang jelas.<br /><br />Sebelum kami berpisah, Sang Koordinator seperti memastikan, <em>"See you next month?"</em><br />Sambil memakai sarung tanganku dan tersenyum, aku menjawab yakin, <em>"Definitely!"</em><br /><br />@Mae, Sepoci Kopi, Juli 2007<br /></span><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);">crossposting from </span><a style="color: rgb(0, 0, 0);" href="http://sepocikopi.blogpsot.com/">http://sepocikopi.blogpsot.com</a><br /><br /><span style="color: rgb(0, 0, 0);" class="fullpost">photo by Mae<br /><br /><strong>Tentang Mae: </strong>Sedang belajar untuk lebih banyak bersyukur dan tersenyum. Baru menemukan bakat terpendamnya dalam bidang memasak. Suka berkeliling kota dengan mengayuh sepedanya. Penikmat bulan purnama, terutama bila bersama kekasih.</span>Anonymousnoreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-754739704675390524.post-13490496907191953282007-08-02T21:06:00.000-07:002007-08-02T21:41:16.449-07:00Spa Ala Keraton Yogya<span style="color: rgb(0, 0, 0);">Oleh: Ade Rain</span><br /><br /><a style="color: rgb(0, 0, 0);" onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://bp2.blogger.com/_5cMJbl3JQfg/RrKvn7GDCzI/AAAAAAAAABQ/bVAwYIccT_I/s1600-h/sheraton.jpg"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer; width: 268px; height: 180px;" src="http://bp2.blogger.com/_5cMJbl3JQfg/RrKvn7GDCzI/AAAAAAAAABQ/bVAwYIccT_I/s320/sheraton.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5094327228922268466" border="0" /></a><br /><span style="color: rgb(0, 0, 0);">Ngiler spa setelah baca perjalanan </span><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);">honeymoon </span><span style="color: rgb(0, 0, 0);">seorang teman aku jadi teringat suasana spa di Yogyakarta. Hotel Sheraton Mustika yang kolam renangnya meniru arsitektur taman sari keratonan Yogya itu juga punya pelayanan spa yang luar biasa eksotis dan pemijat spa yang unik.</span><br /><br /><span style="color: rgb(0, 0, 0);">Jika biasanya di tempat-tempat spa kita dilayani dengan berbagai spa yang beragam menu pembersihan kulit hingga bagian paling intim, di Taman Sari Royal Heritage Spa juga menjual beragam spa yang tidak jauh berbeda, mulai </span><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);">body peeling, javanese facial, herbal treatments, spa baths </span><span style="color: rgb(0, 0, 0);">dan banyak lagi, namun yang paling berkesan yakni pelayanan sumber daya manusia pelulurnya yang sangat bernuansa kerajaan Jawa.</span><br /><br /><span style="color: rgb(0, 0, 0);">Layanan spa ala keraton ini mulai terasa ketika kita bertemu dengan para pemijat yang sangat profesional. Tutur kata yang sopan dan perilaku bak dalem di kerajaan sudah ditunjukkan sejak pintu masuk hingga berbaring di altar spa. Setiap gerakan badan dan tubuh mereka bagai sedang melayani dewa, digerakkan dengan sangat lembut, sangat halus, sangat hati-hati dan penuh kosentrasi. Betapa sulit ketika mencoba menebak apa yang sedang mereka lakukan saat tidak menyentuh badan kita, tidak terdengar suara langkah, apalagi jejak suara saat memindahkan atau mengambil sesuatu barang, semua dilakukan dengan sangat anggun. Benar-benar pelayanan spa ala keraton Jawa yang sungguh eksotis.</span><br /><br /> <a style="color: rgb(0, 0, 0);" onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://bp0.blogger.com/_5cMJbl3JQfg/RrKwbbGDC1I/AAAAAAAAABg/9tBn3ZxwVu8/s1600-h/sheraton3.jpg"><img style="cursor: pointer;" src="http://bp0.blogger.com/_5cMJbl3JQfg/RrKwbbGDC1I/AAAAAAAAABg/9tBn3ZxwVu8/s200/sheraton3.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5094328113685531474" border="0" /></a><span style="color: rgb(0, 0, 0);"> </span><a style="color: rgb(0, 0, 0);" onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://bp2.blogger.com/_5cMJbl3JQfg/RrKwD7GDC0I/AAAAAAAAABY/zvNTkswPbEs/s1600-h/sheraton2.jpg"><img style="cursor: pointer;" src="http://bp2.blogger.com/_5cMJbl3JQfg/RrKwD7GDC0I/AAAAAAAAABY/zvNTkswPbEs/s200/sheraton2.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5094327709958605634" border="0" /></a><br /><br /><span style="color: rgb(0, 0, 0);">Pada saat menyentuh kulit, pemijat spa biasanya akan memulai dengan sentuhan yang sangat-sangat lembut di kaki, kemudian mulai naik ke atas dengan tenaga yang sedikit demi sedikit bertambah, meski dengan tenaga pijatan yang lebih terasa di badan, mereka akan menjaga konsistansi memegang badan kita dengan sangat-sangat lembut, dan pada saat mengangkat kaki ataupun meletakkan kaki kita kembali berbaring di tempat spa mereka lakukan dengan perlahan-lahan seakan-akan takut kupu-kupu yang sedang hinggap dikulit kita terbang akibat kibasan angin.</span><br /><br /><span style="color: rgb(0, 0, 0);">Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut pemijat kecuali jika kita minta pijatannya diperlama di bagian tertentu, mereka melakukannya dengan amat hati-hati dan pelayanan yang mendekati sempurna. Sementara itu musik gending jawa yang lembut dan syahdu menjadi </span><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);">soundtrack </span><span style="color: rgb(0, 0, 0);">adegan tidur-tidur ayam kita ketika merasakan kenikmatan setiap baluran. Saat keluar dari sana dengan tubuh segar dan harum, nuansa menjadi seorang ratu atau putri raja bisa terasa hingga berhari-hari. </span><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);">Treatment spa </span><span style="color: rgb(0, 0, 0);">yang layak untuk dinikmati.</span><br /><br /><span style="color: rgb(0, 0, 0);">Jangan lupa setelah kembali ke kamar hotel (tentunya harus minta Mount Merapi View), geser semua gorden ke pinggir jendela, bercinta dengan kekasih dengan tubuh bersih cemerlang sambil melihat kemegahan Gunung Merapi yang sedang kalem dan agung rasanya sangat luar biasa syahdu... di sanalah tempat terbaik membuat anak dengan 'cara' yang istimewa.</span><br /><br /><span style="color: rgb(0, 0, 0);">@Ade Rain, SepociKopi, 2007</span><br /><span style="font-size:85%;"><span style="color: rgb(0, 0, 0);">photo from: <a href="http://www.starwoodhotels.com/sheraton/property/overview/index.html?propertyID=20">http://www.starwoodhotels.com/</a></span></span>SepociKopihttp://www.blogger.com/profile/09382951408629850089noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-754739704675390524.post-26514430529533606632007-08-01T09:07:00.000-07:002007-08-02T21:39:16.697-07:00Honeymoon di Hotel Malya, Bandung<span style="color: rgb(0, 0, 0);">Oleh: Lakhsmi</span><a href="http://bp0.blogger.com/_fyhrxYN6pZo/RrCyb6Jf2DI/AAAAAAAAAi0/7Zqxi8fZ0hU/s1600-h/malya1.jpg"><span style="color: rgb(0, 0, 0);"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5093767371091335218" style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center;" alt="" src="http://bp0.blogger.com/_fyhrxYN6pZo/RrCyb6Jf2DI/AAAAAAAAAi0/7Zqxi8fZ0hU/s200/malya1.jpg" border="0" /></span></a><span style="color: rgb(0, 0, 0);"><br />Setelah bertahun-tahun bertanya-tanya apa yang terjadi jika sepasang perempuan memesan paket liburan yang diberi judul <em>honeymoon</em>, akhirnya kami bertekat untuk benar-benar melakukannya. Melalui persiapan yang matang (permintaan cuti dan pengaturan urusan sekolah anak-anak) serta ingin melarikan diri dari ketegangan pekerjaan, bulan ini kami memutuskan untuk berlibur di Bandung. Kami memilih Hotel Malya, hotel yang terletak di lereng pegunungan indah.<br /><br />Waktu aku mengumumkan rencana kami kepada sahabatku, Bella, dia berkata, “Wah, asyik sekali. Hotel Malya sangat romantis lho. Cucok deh buat kalian berdua!” Aku mesem-mesem menanggapi reaksi riuh sahabatku. Kalau Bella sangat bersemangat membayangkan aku akan pergi berdua ke hotel yang konon merupakan sarang bagi pasangan penganti baru, kami sendiri agak gugup membayangkan apa sambutan staff hotel jika melihat yang datang adalah sepasang perempuan.<br /><br />Di depan petugas <em>front office</em>, partner menyenggol lenganku untuk mengingatkan agar aku meyakinkan petugas untuk menyiapkan kamar kami dengan ranjang besar ukuran king. Daripada menyesal nanti, mending membuka mulut sekarang.<br /><br />“Errr...,” kataku sambil berdeham keras. “Tolong, Mbak, satu ranjang ukuran king.”<br /><br />Petugas <em>front office </em>mengangguk ramah. “Ya, sudah disiapkan,” katanya.<br /><br />Aku dan partner saling melirik. Ini bukan pertama kalinya kami pergi berlibur berdua di hotel mewah, tetapi tetap saja aku selalu merasa seluruh dunia sedang mengamati kami saat mulutku mengajukan kebutuhan akan kamar yang memiliki satu ranjang untuk berdua.<br /><br />Kamar kami adalah kamar <em>deluxe</em>, memiliki balkon menghadap pegunungan dan hutan. Saat pintu balkon terbuka, aku terpaku menatap pemandangan yang spektakuler. Cuaca bersahabat dan udara sejuk. Dari tempatku berdiri, aku dapat melihat kolam renang berwarna biru jernih yang “tergantung” di atas kaki gunung. Waktu seakan-akan berhenti di sini; aku dan partner bermalas-malasan di kamar. Setiap kamar didesain sempurna, lantai kayu serta tembok berwarna pastel. Tidak heran hotel ini sangat direkomendasikan untuk pengantin baru atau siapapun yang menginginkan kenyamanan agar dapat saling memusatkan perhatian hanya kepada pasangannya.<br /><br />Hotel Malya terletak pinggir jurang pegunungan. Uniknya, surga tempat melarikan diri dari kesibukan pekerjaan ini tidak menjulang ke atas, melainkan “turun” ke bawah. Seluruh kamarnya berada di bawah lobi, sehingga kalau aku mendongak dari balkon kamar, aku dapat melihat restoran yang berada dua lantai di atasku. Arsitektur yang menarik karena mengikuti kontur alam pegunungan.<br /><br />Menginap di Hotel Malya tidak akan sempurna tanpa memanjakan tubuh dan jiwa di The Spa. Tekad yang telah kami bawa sejak dari Jakarta terwujud di sini. Aku menelepon spa, memesan paket <em>honeymoon</em> untuk kami berdua. Tegas dan jelas. Aku tersenyum-senyum membayangkan apa yang mereka pikirkan saat aku mengatakan bahwa yang akan menikmati spa paket <em>honeymoon </em>adalah sepasang perempuan. </span><br /><br /><span style="color: rgb(0, 0, 0);"></span><br /><span style="color: rgb(0, 0, 0);"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5093768388998584386" style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center;" alt="" src="http://bp1.blogger.com/_fyhrxYN6pZo/RrCzXKJf2EI/AAAAAAAAAi8/ICVgVAPS7SI/s200/malya+spa.jpg" border="0" />Kami disambut hangat ketika tiba di spa lima menit lebih awal. Matahari telah tenggelam seluruhnya, sehingga perjalanan kami menuju kamar spa diiringi suara jangkrik dan sinar remang-remang dari lilin yang terletak di beberapa sudut ruang perawatan. Kami ditempatkan di ruangan Melati. Paket <em>honeymoon </em>diawali pembersihan kaki pada baskom batu berwarna hitam. Airnya telah ditaburi kelopak-kelopak mawar merah. Terapis kami menjelaskan berbagai <em>aromatherapy oils </em>untuk pemijatan tubuh serta aneka <em>scrub </em>agar kami dapat memilih sesuai kebutuhan dan selera. Untuk aromatherapy oil, partner memilih wangi cengkeh yang bermanfaat untuk menghilangkan pegal-pegal. Aku memilih lavender yang keharumannya dapat menenangkan jiwa.<br /><br />Sungguh pelayanan yang profesional dan sempurna. Aku berbaring nyaman, menikmati pemijatan diiringi musik tradisional Sunda serta suara-suara alamiah yang berasal dari alam pegunungan. Seketika tubuh terasa rileks dan santai. Pemijatan berlangsung selama satu jam. Setelah itu, saatnya untuk <em>scrub</em>. Partner memilih wangi kopi dan aku memilih kombinasi jeruk dengan produk <em>skin refining</em>. <em>Scrub </em>adalah proses penggosokan kulit agar kulit mati dapat segera terkelupas, digantikan dengan kulit baru yang lebih jernih dan lembut.<br /><br /><em>Scrub </em>ini memakan waktu selama sekitar empat puluh menit. Setelah selesai, terapis kami mengundang kami untuk berendam di bak bulat terbuat dari bebatuan alam. Pemandangannya dibatasi oleh kaca besar yang terbuka, menghadap ke pegunungan. Di sekelilingi bak diletakkan beberapa gelas lilin kecil yang pantulan sinarnya memberikan efek <em>glowing</em>. Air di bak terasa hangat di kulit, berbusa lembut, wangi, dan dipenuhi dengan kelopak-kelopak mawar. Kami duduk menikmati malam sambil berendam. Sungguh memanjakan. Sangat melenakan. Kami tidak mengenakan apa pun di tubuh, kecuali celana dalam kertas yang diberikan oleh terapis saat kami memulai program spa. Terapis kami menyediakan dua minuman hangat, yaitu teh jahe untuk partner dan teh kayu manis untukku.<br /><br />Kami sungguh-sungguh mendapatkan pelayanan spa <em>honeymoon </em>yang luar biasa di Hotel Malya. Pelayanan spa tidak hanya membuat kulit kami bersinar dan lembut, tapi juga sungguh-sungguh menghilangkan stres, menyegarkan pikiran, memanjakan jiwa, serta membangkitkan seluruh indra tubuh. Waktu yang kami habiskan di Hotel Malya dan The Spa sangat istimewa. Satu malam yang memberikan kesempatan bagi aku dan partner untuk saling menikmati kebersamaan kami.<br /><br />Bagi pasangan lesbian yang ingin menikmati spa dan kenyamanan pelayanan, aku sangat merekomendasikan Hotel Malya, Bandung. Jangan ragu untuk memesan paket spa <em>honeymoon</em>. Para terapis sangat ramah dan menghargai semua keputusanmu. Kami sungguh-sungguh puas dengan pelayanan mereka.<br /><br />@Lakhsmi, SepociKopi, 2007 </span><br /><br /><span style="color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" >Foto dari </span><a href="http://www.malyabandung.com/"><span style="color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" >www.malyabandung.com</span></a>Anonymousnoreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-754739704675390524.post-77113831323990777052007-07-23T20:02:00.000-07:002007-08-01T09:35:44.287-07:00Café del Mar<span style="COLOR: rgb(0,0,0)">Oleh: Cassey</span><br /><br /><br /><p><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" style="COLOR: rgb(0,0,0)" href="http://bp1.blogger.com/_fyhrxYN6pZo/RqWvo6Jf14I/AAAAAAAAAhc/3HaZD3BV7H8/s1600-h/Cafe1.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5090668071150933890" style="DISPLAY: block; MARGIN: 0px auto 10px; CURSOR: pointer; TEXT-ALIGN: center" alt="" src="http://bp1.blogger.com/_fyhrxYN6pZo/RqWvo6Jf14I/AAAAAAAAAhc/3HaZD3BV7H8/s200/Cafe1.jpg" border="0" /></a><br /><span style="COLOR: rgb(0,0,0)">Kalo Anda penggemar musik </span><span style="COLOR: rgb(0,0,0); FONT-STYLE: italic">chillout </span><span style="COLOR: rgb(0,0,0)">seperti Buddha-Bar dan Café del Mar, Anda harus mencoba Café del Mar di Pulau Sentosa, Singapura. Aku tidak mengunjungi pulau ini sejak 10 tahun lalu karena atraksi yang ditampilkan tidak banyak berubah. Tetapi, seperti kita ketahui Singapura terus berbenah diri karena kapasitas wilayah yang sangat minim, dan mereka sadar pentingnya memperbaharui potensi yang ada menjadi lebih baik dan menarik. Alhasil, wajah Pulau Sentosa benar-benar berubah seperti yang aku lihat minggu lalu. Salah satunya adalah dengan keberadaan café ini.</span><br /><br /><span style="COLOR: rgb(0,0,0)">Dengan segala macam fasilitas transportasi yang nyaman mulai dari bus, MRT, kereta gantung, sampai mobil pribadi, dan taksi, pulau ini sangat mudah dikunjungi. Apabila Anda tidak ingin bersusah payah dengan kendaraan umum, naiklah taxi yang hanya bertarif sekitar 10 dolar dan tiket masuk 2 dolar per orang.</span><br /><br /><span style="COLOR: rgb(0,0,0)">Kembali ke Café del Mar di Pantai Siloso, Anda dapat menikmati suasana pantai yang meriah dan santai dengan berbagai pilihan makanan ala </span><span style="COLOR: rgb(0,0,0); FONT-STYLE: italic">fine dining. </span><span style="COLOR: rgb(0,0,0)">Apabila anda gemar berendam sambil menikmati suasana senja, ada kolam renang yang diperuntukkan untuk tamu dengan kamar ganti. Sambil berenang Anda bisa menikmati minuman dingin dari </span><span style="COLOR: rgb(0,0,0); FONT-STYLE: italic">pool bar. </span><span style="COLOR: rgb(0,0,0)">Tempat </span><span style="COLOR: rgb(0,0,0); FONT-STYLE: italic">dining </span><span style="COLOR: rgb(0,0,0)">disediakan di dalam ruang ber-AC dan di depan kolam renang bertenda putih. Tentunya tidak ada yang ingin kehilangan </span><span style="COLOR: rgb(0,0,0); FONT-STYLE: italic">s</span><span style="COLOR: rgb(0,0,0); FONT-STYLE: italic">unset </span><span style="COLOR: rgb(0,0,0)">dan wanita-wanita seksi berbalut bikini yang berseliweran dengan memilih ruangan ber-AC, kan?</span> </p><p><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" style="COLOR: rgb(0,0,0)" href="http://bp2.blogger.com/_fyhrxYN6pZo/RqWv4KJf15I/AAAAAAAAAhk/7SdbKuR4NJI/s1600-h/Cafe2.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5090668333143938962" style="CURSOR: pointer" alt="" src="http://bp2.blogger.com/_fyhrxYN6pZo/RqWv4KJf15I/AAAAAAAAAhk/7SdbKuR4NJI/s200/Cafe2.jpg" border="0" /></a><span style="COLOR: rgb(0,0,0)"> </span><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" style="COLOR: rgb(0,0,0)" href="http://bp3.blogger.com/_fyhrxYN6pZo/RqWwHaJf16I/AAAAAAAAAhs/6LvIreizAMs/s1600-h/Cafe3.jpg"><img id="BLOGGER_PHOTO_ID_5090668595136944034" style="CURSOR: pointer" alt="" src="http://bp3.blogger.com/_fyhrxYN6pZo/RqWwHaJf16I/AAAAAAAAAhs/6LvIreizAMs/s200/Cafe3.jpg" border="0" /></a><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" style="COLOR: rgb(0,0,0)" href="http://bp2.blogger.com/_fyhrxYN6pZo/RqWv4KJf15I/AAAAAAAAAhk/7SdbKuR4NJI/s1600-h/Cafe2.jpg"> </a><br /><span style="COLOR: rgb(0,0,0)"></span></p><p><span style="COLOR: rgb(0,0,0)">Setelah memanjakan perut, aku sarankan untuk pindah ke sofa-sofa plastik di tempat terbuka, atau di pondok-pondok romantis yang berada di sekeliling kolam renang. Berbincang-bincang dengan teman bisnis, keluarga atau kekasih sambil menikmati minuman dingin ditambah angin pantai bisa membuat kita terlena. Musik </span><span style="COLOR: rgb(0,0,0); FONT-STYLE: italic">chillout </span><span style="COLOR: rgb(0,0,0)">ala Café del Mar diputar nonstop oleh DJ yang menempati lantai atas </span><span style="COLOR: rgb(0,0,0); FONT-STYLE: italic">pool bar </span><span style="COLOR: rgb(0,0,0)">dengan lighting yang lembut membuat suasana malam tidak terlupakan.</span><br /><br /><span style="COLOR: rgb(0,0,0)">Suasana meriah dan menyenangkan pada saat aku berkunjung ke sana hari Minggu malam. Seorang gadis Asia berambut panjang lurus dengan gaun selutut dan bahu terbuka asyik bergoyang-goyang sendiri diiringi musik tanpa peduli gerimis. Entah ingin menarik perhatian orang, terlalu banyak minum atau sedang menikmati waktunya. Akhirnya setelah yakin dia tidak teler aku berkesimpulan, inilah dia wanita yang tahu menikmati hidupnya. Dia berdansa tanpa memedulikan cuaca maupun tatapan orang karena dia tahu sumber kegembiraan berasal dari dalam dirinya. Seketika aku mengagumi kegembiraan yang juga dia tularkan kepadaku.</span><br /><br /><span style="COLOR: rgb(0,0,0)">Sebelum Anda berkunjung ke sana , aku sarankan untuk memesan tempat terlebih dahulu. Café yang buka setiap hari mulai hari Senin – Kamis dari jam 11 siang sampai jam 1 subuh, dan 24 jam pada akhir Minggu dan hari libur selalu dipadati pengunjung. Belum lagi pesta-pesta pribadi. Dan apabila Anda sudah puas menikmati semangkuk salad dan Marisco Paella ditambah bergelas-gelas frozen Margarita, mata yang mengantuk tentu tidak bisa diajak berdiri lama-lama di tempat antrean taksi. Aku sarankan anda menelepon taksi lokal agar dapat segera dijemput. Meskipun ada tambahan biaya beberapa dolar, waktu yang berharga sebaiknya dapat digunakan untuk beristirahat. Jangan mengandalkan taksi mewah yang ada di sana. Bisa-bisa tarifnya yang "mewah" merusak suasana hati Anda.</span><br /><br /><span style="COLOR: rgb(0,0,0)">Mengunjungi café ini membuat aku membandingkan café pantai Kudeta di Bali. Harus kuakui Kudeta mempunyai kelebihan dan juga kekurangan yang tidak bisa kita diabaikan. Namun, dua-duanya menjanjikan pengalaman berkesan pada saat bepergian. Pengalaman inilah yang membuat kita menghargai setiap karya alam dan memeliharanya.</span><br /><br /><span style="COLOR: rgb(0,0,0)">Zai Jian Café de Mar.</span><br /><br /><span style="COLOR: rgb(0,0,0)">Catatan Cassey Minggu malam 22 Juli 2007.</span><br /><span style="COLOR: rgb(0,0,0)">@Cassey, SepociKopi, 2007</span><br /><span style="COLOR: rgb(0,0,0);font-size:85%;" >photo from internet</span></p>Anonymousnoreply@blogger.com0