Balada Sitti Nurbaya di Kota Padang Tercinta

Oleh: Naomi


Photo by Naomi


Namaku Naomi. Aku dilahirkan di kota kecil bagian barat Pulau Sumatra. Kota yang sangat keras dalam memberlakukan dan menjunjung tinggi nilai-nilai adat istiadat serta agama. Kota yang berazaskan adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah (perilaku manusia dikontrol oleh norma-norma yang berlaku. Sementara norma-norma tersebut dijalankan menurut acuan Alqur’an). Kota yang terkenal dengan legenda Malin Kundang, cerita Sitti Nurbaya, keunikan tari piringnya dan masakan tradisional yang terkenal sampai ke mancanegara; Rendang serta Dendeng Balado. Itulah kotaku tercinta. Tanah Ranah Minang. Padang.

Dahulu aku sama sekali tidak pernah mau peduli dan mengerti adat istiadat yang mengikat kami. Namun sekarang seiring bertambahnya usia, aku mulai jengah dibuatnya. Segala tindak tandukku selalu saja diawasi adat. Tidak boleh begini, tidak boleh begitu. Anak perempuan tidak boleh bertandang ke luar rumah, apalagi ke rumah lelaki. Tidak boleh pulang malam (ahh… mending pulang pagi!). Tidak boleh tertawa ngakak, harus patuh kepada orang tua, suami serta mamak (saudara laki-laki dari pihak ibu yang dituakan) dan perempuan harus pintar memasak, mengurus suami dan rumah tangga.
Heeh… benar-benar seperti zaman Sitti Nurbaya aja, capek deeeh…!



Hak azasiku sebagai perempuan kembali tertindas oleh hukum, norma dan peraturan adat yang berlaku. Ketika akhirnya mereka mengetahui perbedaan orientasi seksualku, mereka memasungku! Perbedaanku dianggap sebagai penyakit yang ditularkan oleh kekasih dan dianggap sebagai aib dalam keluarga. Mereka menutup-nutupinya, merasa malu dengan keadaanku.

Berbagai pasukan orang pintar dipanggil. Mulai dari dukun, Kyai dan entah apa lagi mulai didatangkan mereka untuk menyembuhkanku. Ada yang bilang aku terkena guna-guna, dan mengobatiku dengan jampi-jampinya serta menyuruhku mandi dengan air kembang yang telah dimantrai. Ada yang memberi pengajian. Bahkan semua kegiatanku pun dimata-matai. Halah-halah… tidak tahu kah mereka, bahwa semua tindakan mereka itu malah menyakitiku? Tidak saja batinku yang terluka, namun fisikku juga menderita.

Suatu ketika, di saat semua rasa semakin memuncak, aku mencoba untuk berontak. Terjadilah adu argumen yang hebat di dalam keluarga besarku. Aku ingin memertahankan hak dalam menentukan pilihan hidupku, aku ingin menikmati kebebasan dan kemerdekaanku. Aku ingin menghirup udara segar! Aku ingin perbedaanku dihargai. Aku tidak ingin dilecehkan, disakiti, dan disiksa dengan dukun, kyai dan orang-orang konyol suruhan mereka. Namun apa yang terjadi? Ayahanda tercinta jatuh tergeletak, tak berdaya menahan sesak di dada. Serangan jantung, itu kata mereka. Dan aku pun terpana.

Mereka memojokkanku. Mengambil kesempatan untuk menghancurkanku. Memanfaatkan rasa bersalahku terhadap ayahanda sebagai senjata untuk menikamku. Aku dipaksa menikah, untuk menyelamatkan kesehatan ayahanda tercinta. Atau, apakah untuk menyelamatkan muka dan kehormatan keluarga?

Jodohku telah mereka carikan, tanggal pernikahanku pun telah mereka tentukan. Mereka bahkan tidak memberitahukanku siapakah gerangan laki-laki yang akan dijodohkan denganku. Apakah dia tua, kurus kerempeng dan jahat seperti Datuk Maringgih yang dulu pernah ditayangkan di stasiun televisi itu? Atau bagaikan pangeran? Kesatria berkuda seperti yang ada di dalam dongeng-dongeng pengantar tidur? Aku sama sekali tidak tahu. Namun aku menyanggupinya, meski jiwa dan raga ini tersiksa.


***

Sore itu, tepatnya hari rabu tanggal 12 September 2007. Menjelang adzan maghrib bergema, ketika umat manusia tengah disibukkan dengan kegiatan menanti datangnya Ramadhan. Bumi berguncang hebat. Dunia seakan kiamat. Barang-barang berjatuhan, listrik pun padam. Kusambar kesatria kecilku dan lari menyelamatkan diri keluar rumah.

Panik melanda warga kota, begitu pun juga dengan diriku. Keluarga besarku tercerai berai. Lafadz Illahi tak henti-hentinya mengalir dari mulutku sambil mendekap erat si kecil yang belum mengerti apa-apa. Bengkulu diguncang gempa tektonik berkekuatan 7,9 SR. Hampir seluruh pulau Sumatra dan sebagian pulau Jawa merasakan getarannya. Tuhan, selamatkanlah kami semua…

Selang beberapa menit kemudian, gempa mereda. Namun Padang sudah seperti kota mati. Ancaman tsunami. Mereka yang takut mati segera pontang-panting lari menyelamatkan diri menuju dataran yang lebih tinggi. Tapi kami sekeluarga tetap bertahan di rumah, berkumpul kembali bersama keluarga yang tadinya tercerai-berai. Hatiku merasa lebih lega. Apa pun yang terjadi, walaupun nantinya kami tidak selamat, setidaknya kami bisa menghadapi cobaan ini bersama-sama.

Keesokan paginya, ketika warga masih terlelap dalam tidur mereka selepas imsyakh dan sholat subuh, untuk kedua kalinya, bumi terguncang lagi. Kali ini guncangannya lebih kuat dan lebih lama daripada kemarin. Bangunan-bangunan mulai roboh, rata dengan tanah. Sementara rumahku mengalami keretakan. Bumi terbelah, tanah merekah, dan menyemburlah air comberan yang berbau busuk dari dalam perut bumi bagaikan sumur artesis setinggi satu meter. Warga pun kembali lari berhamburan. Painan, bagian selatan dari wilayah Sumatra Barat kembali dikoyak gempa berkekuatan 7,6 SR.

Tiga puluh menit kemudian… “Lariii… Air naiiik!” teriak warga histeris. Memang benar, air memang naik. Melesat secepat angin menuju ke arah Timur. Aku menyaksikan hal itu sendiri dengan keluargaku dari lantai tiga di atas rumahku. Ibunda terlihat shock, ia menangis. Namun mulutnya masih terus istighfar, sambil mengajak kedua keponakanku untuk turut mengucapkan kalimat-kalimat Illahi seperti yang beliau lakukan. Tetapi Allah masih sayang kepada hambaNya. Secepat air itu naik, secepat itu pula air kembali surut.

Bayangan tsunami kecil masih saja menghantui ibunda, apalagi ditambah dengan isu-isu yang tak bertanggung jawab serta gempa susulan yang terus menerus terjadi. Ibunda mengkhawatirkan anak dan cucu-cucunya. Kekhawatiran ibunda membuat kami mengambil langkah untuk segera pindah ke tempat yang lebih tinggi. Maka, mulailah kami berburu rumah baru untuk dinaungi.

Gila! Harga rumah di pinggiran kota naik gila-gilaan secara serentak. Rumah yang dulunya dihargai enam puluh juta rupiah naik menjadi seratus lima puluh juta rupiah. Bahkan ada yang harganya mencapai tiga ratus lima puluh juta. Benar-benar sinting! Bagaikan menangguk di air keruh! Bagaimana dengan orang yang berasal dari keluarga yang tidak mampu? Apakah mereka akan memilih tinggal di perbukitan? Entahlah, aku sendiri juga bingung memikirkannya.

Satu rumah kelihatan cocok, dihargai seratus lima puluh juta. Rumah tinggal bertingkat, namun separo jadi. Tak masalah, hal itu bisa diselesaikan renovasinya di kemudian hari. Yang penting kami memiliki rumah pengungsian. Setelah bernegosiasi dalam percakapan telepon, maka berangkatlah kami ke lokasi yang dituju. Aku terheran-heran ketika melintasi lokasi perumahan tersebut. Kompleks perumahan dosen Unand Limau Manis. Waduh! Ini rumah komplek apa hutan, sih? Menyeramkan sekali! Di mana-mana terdapat hutan rimba, bahkan jalanan menuju lokasi pun masih belum diaspal. Bukankah ini komplek perumahan dosen yang terkenal dengan harimau putih jadi-jadiannya?

Cerita harimau siluman itu bukan cerita isapan jempol belaka, itu memang nyata adanya. Harimau putih siluman itu suka menampakkan dirinya sekitar jam sebelas malam ke atas. Banyak yang telah melihatnya. Maka dari itulah banyak para dosen dan warga yang enggan menempati perumahan tersebut. Aku bersikeras agar mereka mengurungkan niatnya untuk membeli rumah tersebut dan mencari rumah lainnya. Dengan sangat menyesal, perjanjian itu pun dibatalkan.

Terus dan terus mencari, akhirnya kami menemukan tanah kompleks yang masih kosong dan terletak di kawasan aman. Diputuskanlah untuk membeli tanah tersebut. Walaupun cuma tanah, tapi tak apalah. Toh, bangunannya bisa disusul kemudian. Sedikit lebih lega, dan mereka pun gembira. Sekarang kami hanya tinggal menunggu proses surat-surat resmi saja biar tanah tersebut bisa dibangun secepat mungkin.

***

Padang, kota tercinta. Namun aku ingin pergi karena aku merasa hampa. Mati atau tidak di sini, tak ada bedanya. Karena kebebasanku telah lama terenggut. Aku ingin merdeka.
Bila saatnya tiba, aku akan segera menyongsong hari kebebasanku. Rencana itu telah tersusun rapi di kepala. Aku ingin hidup bersama kekasih dan ksatria kecilku di seberang lautan. Maafkan aku karena aku telah lelah berperan ganda. Aku tak mau lagi menjadi Sitti Nurbaya.


Tentang Naomi
Perempuan Blasteran Hindustan & Minang. Luwes dalam bergaul. Menjunjung tinggi arti dari persahabatan serta kesetiaan. Sedikit iseng, namun banyak jailnya. Harry Potter adalah bacaan favorit. Cita-citanya sangat unik, yaitu ingin mempunyai satu istana di puncak gunung Olimpus, di mana tak seorang pun bisa mengusik kebahagiaan masa depan yang akan dilalui bersama orang-orang terkasih.
abcs