Batam Kota Kehidupan

Oleh: Anggra

Sejak pertama kali memutuskan untuk bekerja di Pulau Batam yang ada di benakku hanyalah pikiran untuk mencoba belajar hidup mandiri dan melepaskan ketergantungan keuangan pada orangtua. Selain itu, aku yang sudah menyadari orientasi seksualku tentu saja selain ingin bekerja juga ingin mencari perempuan yang kuidamkan sebagai teman hidupku.


Photo: Kawasan Industri Batamindo


Batam terkenal sebagai kota industri, sekitar dua puluh enam kawasan industri tersebar di setiap sudut kota dan lebih dari lima ratus perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur dan galangan kapal beroperasi di sini. Di antara perusahaan tersebut terdapat beberapa perusahaan raksasa seperti Ciba Vision, Panasonic, dan McDermott.

Dulu saat jumlah penduduk kota Batam masih sedikit, lapangan pekerjaan masih terbuka lebar dan perjudian masih belum dilarang oleh pemerintah, maka kota Batam benar-benar menjadi magnet bagi para pencari kerja. Tapi seiring bertambahnya jumlah penduduk kota Batam yang mengakibatkan lapangan pekerjaan semakin sempit dan perjudian sudah dilarang oleh pemerintah, Batam tidak lagi menjadi kota primadona bagi para pencari kerja. Tapi walaupun demikian pemerintah kota Batam tetap membatasi laju pertambahan penduduk yang berasal dari daerah lain dengan memberlakukan peraturan masuk bagi para pendatang baru pada pintu masuk pelabuhan ferry domestik.

Hidup di tengah kota yang heterogen sangat menyenangkan karena bisa menambah wawasan tentang bahasa dan budaya daerah lain seperti budaya Batak, Jawa, dan Minang. Walaupun demikian, keanekaragaman budaya di kota Batam tetap dipayungi oleh satu budaya yaitu budaya Melayu.

Photo: Ferry Terminal Batam Center


Akses menuju Batam dapat ditempuh melalui jalur udara dan laut. Melalui jalur udara, Bandara Internasional Hang Nadim siap melayani rute penerbangan dari berbagai kota di Indonesia. Melalui jalur laut, pelabuhan domestik Sekupang siap menerima kedatangan para pengunjung dari berbagai daerah di Indonesia. Sedangkan pelabuhan ferry internasional yang terletak di lokasi Batam Center, Batu Ampar (Harbour Bay), Nongsa, Waterfront City, dan Sekupang siap menghubungkan Anda dengan Singapura dan Malaysia. Dengan menggunakan kapal ferry jarak tempuh antara Pulau Batam dan Singapura hanya 45 menit sama seperti dengan jarak tempuh antara pulau Batam dan Malaysia.


Photo: Batam City Square Mall


Bila sudah sampai di Batam, silakan memuaskan hasrat untuk berbelanja barang elektronik, aneka merek parfum berkualitas dengan harga yang lebih murah dan berbagai jenis batu akik berkualitas yang rata-rata berasal dari Thailand. Lokasi penjualan batu akik adalah di mal Nagoya Hill, tepatnya di depan Hypermart. Dengan keberadaan pelabuhan ferry internasional maka pada setiap akhir pekan mal-mal besar yang ada di kota Batam seperti Mega Mall, Nagoya Hill Mall, Batam City Square (BCS) selalu dipenuhi oleh para pengunjung yang berasal dari Singapura dan Malaysia. Hal ini sangat kontras dengan kebiasaan warga negara Indonesia yang lebih suka berbelanja di Singapura demi gengsi.

Bagi Anda yang menyukai wisata kuliner terutama makanan laut, Batam adalah tempatnya. Di sini terdapat banyak restoran yang menyediakan makanan laut. Yang menunya paling lengkap dan terkenal adalah restoran tepi Laut Golden Prawn yang terletak di daerah Bengkong Laut, di sini Anda bisa memilih sendiri berbagai jenis ikan yang masih dalam keadaan hidup, kepiting dan lobster yang berukuran jumbo. Selain itu restoran Rezeki yang terletak di Batu Besar bisa juga menjadi pilihan selanjutnya. Dan ada juga sop seafood Yongki yang sudah sangat terkena yang berlokasi di kompleks pertokoan Nagoya. Secara aku adalah penikmat makanan seafood, tempat makan yang telah kusebutkan tadi dijamin maknyus.

Photo: Jembatan Barelang


Setelah perut kenyang, tiba saatnya bagi Anda untuk menjelajahi tempat-tempat wisata di kota Batam seperti menikmati pemandangan laut dari atas Jembatan Barelang yang berdiri kokoh sebagai ikon kota Batam, atau menikmati keindahan pantai yang tersebar di sekitar Pulau Batam seperti Pantai Nongsa, Pantai Melur, Pantai Sekilak, Pantai Marina City atau memandang patung raksasa Dewi Kwan-Im yang berada di Pantai Tanjung Pinggir. Selain wisata pantai, Batam juga menyediakan resort yang bertaraf internasional dengan fasilitas hotel yang berkualitas dan lapangan golf yang bagus.

Lelah menikmati keindahan kota Batam maka tiba saatnya bagi Anda untuk membeli oleh-oleh buat orang yang dicintai. Kalau dulu hanya aneka cokelat yang bisa dijadikan oleh-oleh tapi sekarang sudah ada Kek Pisang Villa Khas Batam, kepiting Cili dari Golden Prawn, donat JCo atau Pisang Bolen coklat dari toko roti Van Holland.

Meskipun Batam bukanlah kota kelahiranku, tapi mengingat hampir dari separuh usiaku telah kuhabiskan di kota ini sudah selayaknya Batam kusebut sebagai kota kehidupanku. Bekerja di kota ini dan menjalani kehidupan yang sederhana bersama dengan partner tercinta adalah suatu kebahagiaan tersendiri bagiku. Hanya doa dan usaha yang terus kulakukan agar cinta dan kehidupan kami bisa terus bersatu sampai sang takdir memisahkannya.

@Anggra, SepociKopi, 2008
@Foto oleh Anggra

Tentang Anggra:
Sosok melankolis koleris, yang sedang berjuang menjaga hubungannya dengan Tuhan dan mempertahankan kesetiaannya pada kekasih. Sarapan tanpa kopi terasa kurang nikmat di lidahnya. Berolahraga adalah hiburan yang menyenangkan baginya, dan kebiasaan merokok sudah dihentikannya sejak hidup bersama kekasih.

China 2008: Budaya 5000 Tahun

Oleh: Grey Sebastian

Saat menulis ini saya sudah resmi menjadi penduduk sementara Beijing selama 1,5 bulan. Meskipun saat saya tiba di Beijing Olimpiade sudah selesai, tapi saya masih sempat merasakan suasana meriah Paralympics Games (Olimpiade untuk penyandang cacat). Kebetulan asrama tempat saya tinggal selama di sini berada tidak jauh dari penginapan para atlet.

Meski di keluarga saya tidak terbiasa menggunakan bahasa mandarin, sejak kecil saya yang memang keturunan Chinese, sangat mencintai kebudayaan dan sejarah negara leluhur saya ini. “Wo yeye de yeye shi Zhongguo ren”*) itu yang selalu saya katakan setiap berkenalan dengan teman Chinese. Itu sebabnya sejak sebelum lulus kuliah saya sudah memutuskan, minimal saya harus bisa mengerti bahasa Mandarin.

Teman saya pernah bertanya mengapa saya memilih pergi ke sini padahal masyarakat China terkenal sangat “kurang” dalam hal sopan santun dan kebersihan. Setelah saya tinggal di sini, saya baru paham maksud teman saya itu. Tapi karena ada pepatah “Belajarlah sampai ke negeri China” saya tidak pernah memadamkan impian saya untuk belajar di sini. Dan rencana saya 3-4 tahun lagi saya pasti akan kembali ke China untuk mengambil gelar MBA.

China sendiri terlalu kaya dengan kebudayaan yang telah hidup selama 5000 tahun. Tidak akan mungkin bisa saya tuliskan hanya dalam satu halaman blog. Yang saya tuliskan saat ini mungkin hanya sedikit gambaran tentang China. Agar bila ada pembaca SepociKopi yang ingin berlibur ke China tidak kaget dan tidak jera.

***



foto oleh Grey Sebastian

Sejak dulu masyarakat China memang terkenal sangat hemat dengan air dan listrik. Saking hematnya mereka lebih memilih mandi 3-4 hari sekali dan tidak menyiram toilet setelah digunakan daripada harus “membuang-buang” air untuk sekadar menjaga kebersihan. Kalau malam tiba, mereka juga memilih jalanan dan rumah-rumah menjadi gelap daripada harus membuang-buang listrik untuk menyalakan lampu.

Dikarenakan sejak jaman dahulu masyarakat China sebenarnya miskin, tanah yang bisa dibilang kurang subur, ditambah jumlah penduduk yang sangat padat menyebabkan masyarakat China tidak mengenal pepatah “Slowly but sure”. Bagi masyarakat China “Siapa cepat, dia dapat. Siapa kuat, dia menang.” Maka itu jangan harap masyarakat sini mau antre saat naik kendaraan umum atau masuk toilet umum.

Selama berada di China, jangan kaget kalau menemukan toilet tanpa pintu, karena di China itu adalah hal yang biasa. Bahkan ketika saya berlibur di Inner Mongolia, di salah satu restoran mewahnya, toilet di situ benar-benar tanpa sekat sedikit pun.

***

“Makanan di sini murah-murah,” kata teman saya saat pertama kali saya tiba. Dan memang betul makanan di sini cukup murah, meski jika di bandingkan dengan warteg, tetap masih lebih murah warteg. Saat pertama kali makan siang di sini, kami ber-24 orang makan di restoran, total hanya menghabiskan 350RMB atau sama dengan Rp. 490,000.-. Tapi jangan pernah tersinggung kalau anda pergi ke restoran, pelayannya mengantarkan makanan pesanan Anda dengan sedikit melempar atau melayani Anda dengan wajah cemberut. Itu semua sudah biasa di sini.

Namun didorong kegiatan persiapan Olimpiade, kehidupan sosial ekonomi Beijing kini berkembang secara konsisten, cepat, harmonis, dan sehat. Taraf kehidupan rakyat yang semakin bertumbuh dan sejumlah besar infrastruktur lalu lintas yang berturut-turut dibangun, sehingga kualitas lingkungan pun membaik secara menonjol.

Minimal masyarakat di kota-kota besar seperti Beijing dan ShangHai sudah sedikit lebih sopan dan mengenal kebersihan. Meskipun masih banyak juga penduduk yang belum bisa mengubah kebiasaan buruk mereka, yang pastinya sudah ditanamkan orangtua sejak dulu.

Selama 1,5 bulan ini cukup banyak hal-hal yang saya pelajari tentang kebiasaan-kebiasaan masyarakat China, yang pada awalnya membuat saya cukup terkejut. Dan menurut teman-teman saya yang pernah tinggal atau lebih dulu tinggal di sini, itu semua masih belum seberapa. Jika bergaul dengan masyarakat setempat pasti saya akan mendapatkan pengalaman-pengalaman lebih banyak lagi, yang mungkin tidak pernah saya dapatkan di Indonesia.

*) Kakek buyut saya adalah orang China.
@Grey Sebastian, SepociKopi, 2008

Tentang Grey Sebastian:
Saat ini sedang menjadi mahasiswa kelas bahasa di salah satu Language and Culture University di Beijing. Meski usia sudah hampir seperempat abad, tapi masih sedang mencari jati diri dan cinta sejati.

Yogya, In Diversity

Oleh: Edith Weddel

Yogyakarta bagiku kota yang unik. Tiga bulan di kota ini benar-benar membuatku kerasan. Sungguh, aku mulai jatuh cinta dan menggilai setiap sudut yang ditawarkannya. Yogyakarta menyiratkan pesannya tersendiri; sebuah wadah keberagaman yang tidak pernah ada habis-habisnya. Semuanya hampir ada. Berbagai macam manusia – dan jika kamu berbicara tentang manusia berarti kamu akan membahas tentang kesukaannya, penampilannya, cara berpikirnya, sikap, profesi, pandangan hidup kepercayaan dan apapun yang bisa kamu temukan mengenai manusia mulai dari ubun-ubunnya hingga ke jempol kakinya – ada disini. Mulai dari para abdi keraton dan masyarakat yang mengagung-agungkan Show allSri Sultan hingga para seniman yang bebas mengekspresikan apa yang ada dalam pikirannya atau mengkritik – bahkan menskeptisi – sebuah jurang antara harapan dan realitas yang terjadi .

Dan aku berjalan di sekeliling mereka. Di antara para pengemis yang tidak pernah absen di jalanan Malioboro mengulurkan tangan keriputnya ataupun topi lusuhnya kepada orang-orang yangs edang berseliweran. Di antara para pengamen yang bernyanyi sekedarnya untuk mendapatkan recehan yang akan segera ditukarkannya ke angkringan terdekat untuk mengisi perut mereka. Dan aku duduk di salahs atu bangku di daerah sekitar Benteng lagi-lagi dengan disesaki oleh berbagai realitas yang membuat isi kepalaku terus menerus bekerja. Setidaknya mengamati dengan cermat. Para pemusik reggae jalanan yang tengah berlatih untuk bersiap konser dari satu lesehan ke lesehan yang lain. Kelompok skater dengan skateboard di lengan mereka plus kaos yang seragam seakan dengan bangga menunjukkan jati diri mereka. Anak-anak kecil yang berkeliaran di sepanjang jalan dengan pakaian lusuh dan tanpa sepatu mondar mandir dengan air muka mereka masing-masing. Terkadang aku menemukan mereka tengah tertawa lepas atau tidak jarang pandanganku mendapati mereka tengah duduk tertegun dengan murung atau sekedar tidur-tiduran di sebuah bangku taman dengan raut yang tanpa ekspresi – seakan pedalamannya sudah terlanjur mati rasa. Belum lagi pementasan seni tradisional yang selalu mewarnai malam minggu seiring dengan dentuman bas dan drum serta teriakan penyanyi dari band-band indie terdengar menimpali satu sama lain tanpa ada pretense untuk saling mengungguli. Semuanya punya tempat dan punya peminatnya sendiri-sendiri. Dan aku masih belum jenuh mengitari setiap penjurunya : karena dalam tiap-tiap sudutnya terhampar berbagai macam bentangan ketidakteraturannya.

Akhirnya! Festival Kesenian Yogyakarta. Ya, aku dan partner seringkali menghabiskan sore dengan melihat-lihat pameran yang ada. Seni lukis, benda rajutan, perkakas dari alumunium baik yang baru dan tua, stand tato permanent dan temporer, kesenian wayang, berbagai aneka aroma-therapy, pernak-pernik dan akseseoris bagi mereka ynang feminim dan maskulin, berbagai komunitas hobi; mulai dari pecinta barang-barang antik sampai para pemuja factory outlet, termasuk beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat yang ikut meramaikan festival. Hamper semuanya punya ruang untuk menunjukkan kediriannya masing-masing, entah individual ataupun institusi.

Ya, hampir semuanya. Di kota yang membiarkan sebentuk penghayatan rasa untuk dieksplorasi, aku masih merasa ruangku tiba-tiba menyempit dengan desakan mata yang tidak ramah yang seolah-olah tengah menginspeksi penampilanku dari ujung rambut hingga ujung sepatuku. Seolah-olah aku adalah manusia yang benar-benar berbeda dengan mereka. Tapi mengapa mereka mentolelir laki-laki gondrong dengan aksesoris serba mengkilat di leher dan pergelangannya plus tato yang berhamburan di sekujur tubuhnya? Apa karena penampilannya yang seperti itu yang mereka asosiasikan sebagai preman setempat sehingga raut mereka menjadi begitu diterima? Dan aku; perempuan yang merasakan kenyamanan tersendiri dengan gaya maskulinku tiba-tiba menjadi penganggu kesedapan mata mereka. Sudah memudarkah label kota budaya dalam tiap-tiap isi kepala orang-orang Jogja? Atau malah aku yang salah mengartikan keberagaman yang tengah terjadi sebagai hal yang sudah dengan sendirinya diterima oleh masyarakat? Atau malah keberadaanku sebenarnya tidak pernah mereka perhitungkan dalam bagian dari semesta pluralitas budaya?

Dan aku masih terus berjalan. Membiarkan kesadaranku dihujani terus oleh mereka yang tanpa ragu menunjukkan kekhasan mereka masing-masing. Yang membiarkan aura mimpi dan obsesi mereka lebur dalam udara yang terhirup sejuk olehku. Mungkin ini bagian dari pemberontakan mereka terhadap keseragaman atau teriakan sumbang mereka terhadap kondisi yang terlalu terstruktur. Dan aku? Aku tengah menggugat mereka yang dengan seenaknya melemparku ke pinggiran zaman dan memberikan cap minoritas di dahiku. Aku tengah mempertahankan ruangku sebagai manusia di saat mereka mengunci rapat gerbang keberagaman sehingga aku tidak bisa masuk ke dalamnya. Aku tengah menyuarakan isi kepala dan pedalamanku saat mereka sibuk dengan dunianya sendiri seolah-olah merekalah pemilik keberagaman sejati itu. Aku memang berbeda – seperti aku menghayati bahwa setiap manusia memang berbeda – tapi aku bukan seorang skizofrenik yang tidak mampu melewati tembok-tembok tinggi yang kubangun sendiri.

Dalam keheninganku – aku biasa mendapatinya ketika aku membiarkan diriku tenggelam dalam kedirianku – aku mempreteli setiap identitas yang melekat pada ke-aku-anku. Memberi kesempatan bagi kesadaran dan bawah sadarku untuk saling bertanya tanpa perlu mempedulikan siapa aku. Mempersilakan mereka untuk beropini tentang diriku. Kesadaranku berkata bahwa aku adalah Tanda Tanya abadi – sebuah keraguan yang tidak akan pernah terpuaskan di gorong-gorong semesta yang menawarkan makna yang terus menerus tertunda. Dan bahwa sadarku berbisik dengan suara pelannya yang tersamar namun tegas. Bahwa aku adalah kontradiksi – antara absurditas dan kerinduan teramat terhadap kepastian.

Aku terbangun dari penelusuran diri saat partner memegang tanganku. Sore hamper habis dan bersiap untuk menyerahkan tahta sementaranya pada malam. Festival Kesenian Yogyakarta semakin ramai didatangi. Dengan kerlap kerlip dan temaram lampu yang mewarnai suasana Benteng Vredeburg. Kontras. Antara kebaruan dan sisa-sisa sejarah yang misterius. Aku berjalan menuju pintu keluar festival dengan wajah yang kuangkat tinggi-tinggi, dengan tidak memberi sejenak pun celah untuk tertunduk menerawang petak-petak ubin batu, membiarkan setiap orang lewat untuk sekedar melihat selintas kepadaku atau menatap tajam dengan senyuman sinis atau tawa yang meledek.

Karena aku manusia yang sepatutnya berbeda, maka aku masih menggilai Yogyakarta sampai ke sudut terkumuhnya, bisikku dalam hati sambil membalas genggaman partner.

@Edith Weddel, SepociKopi, 2008

Perjalanan Surealis

Oleh Oryza Sativa

Aku masih berumur enam atau tujuh tahun saat kedua nenekku sering berkata, “kamu akan selalu berjalan ke tempat-tempat yang jauh.” Entah apa maksud mereka saat itu, namun sebagai anak kecil, aku cukup girang mendengarnya. Tempat-tempat jauh, terdengar menarik, menantang, dan seksi. Dan kini setelah empat belas tahun lewat, aku mulai menyadarinya. Bahkan terkadang aku merasa hidupku bukan untuk menetap di suatu tempat yang pasti. Mungkin aku lebih cocok tinggal di Mongolia dan bergabung dengan suku nomad-nya.

Semua dimulai ketika akhirnya aku pergi dari Balikpapan. Pergi jauh-jauh dari keluarga dan masa lalu disana. Bukannya sedih, aku dengan gembira menerima kenyataan itu. Kelewat gembira, malah. Sampai-sampai saat dikunjungi aku merasa tidak nyaman. Mauku tidak usah dikunjungi dan biarkan aku berpetualang dengan hidupku seliar mungkin. Tapi namanya keluarga, mana mungkin?

Singkatnya, darisanalah perjalanan-perjalanan kecilku dimulai. Kecil-kecil namun selalu meninggalkan bekas. Selalu ada perasaan yang membuatku ingin dan ingin berjalan lagi. Aku tidak peduli di tempat itu tidak ada listrik atau mal atau apalah, yang penting berjalan. Karena ada rasa dalam perjalanan yang selalu bisa membuatku mengevaluasi total hidupku, mengadakan perencanaan matang untuk ke depan, dan mengembalikan semangat-semangat yang hilang. Bahkan, menyembuhkan sakit hati dan sakit jiwa.

* * * *

Perjalanan yang akan kuceritakan di sini memang bukan perjalanan surealis pertamaku. Tetapi ini salah satu yang paling penting. Masih segar perjalanan ini, baru kulakukan bulan Juni kemarin, saat merayakan ulang tahun Bebi. Perjalanan ini juga, akhirnya mewujudkan salah satu hasrat terpendamku.

Biarlah orang-orang naik bis atau pesawat menuju Bali. Aku tidak terlalu tertarik dengan kedua tawaran itu. Selain uang pas-pasan, sejak dulu aku lebih penasaran jalan-jalan ke Bali dengan cara estafet yang lebih manual. Maka lima hari sebelum ulang tahunnya, aku minta diantar temanku ke stasiun untuk mengecek jadwal kereta. Disana kutemukan jadwal yang efektif dan efisien, juga berbonus sunrise, dengan perkiraan biaya tidak akan melebihi Rp. 150.000,-.

Ulang tahun Bebi hari Sabtu, aku berangkat hari Rabu sore. Dengan kereta bisnis Sancaka Sore menuju Surabaya, seharga Rp. 50.000,-, berangkat pukul 16.00. Berdebar juga dadaku, mengingat saat itu adalah pertama kalinya aku berangkat dengan cara begituan dan sendirian. Aku sama sekali tidak punya gambaran dengan jaminan keamanan yang akan kudapatkan selama perjalanan.

Dari Jogja ke Surabaya, ya, tentu saja melewati desa-desa kecil di sepanjang Jawa Tengah-Jawa Timur. Bolak-balik yang kulihat adalah rumah, hutan, sawah, dan sungai-sungai kecil. Terkadang gunung di kejauhan. Sungguh, aku nyaris tidak sanggup menulis karena terpana. Hijau-kuning-oranye bermain-main di udara dan angin mendesir-desir menemaniku lewat jendela. Kalau saja urat maluku sudah benar-benar putus, mungkin aku rela lompat-lompat di kereta saking senangnya hatiku. Tapi tidak, aku menikmatinya dengan mengeluarkan buku dan menyalakan sebatang rokok. Kusesap benar-benar racun dari rokok itu (bukannya udara), sampai ufuk pelan-pelan menelan si matahari. Gelap pun menyelinap mengisi langit.

Lantas, aku tiba di Stasiun Gubeng Surabaya pukul 22.00. Langsung mencari tiket kereta berikutnya ke Banyuwangi. Ada dua pilihan, Surabaya-Denpasar atau Surabaya-Banyuwangi. Aku sempat bingung, tapi kemudian mengikuti kata hatiku untuk membeli yang Surabaya-Banyuwangi saja, kereta bisnis Mutiara Timur seharaga Rp. 40.000,-. Uangku jelas-jelas tidak cukup untuk pilihan yang pertama. Aku menunggu sekitar setengah jam, dan kereta berangkat pukul 22.30. Berbeda dengan kereta sebelumnya, kereta jurusan Bayuwangi itu penuh. Aku tidak punya lagi tempat duduk kosong yang bisa dimonopoli seperti di kereta sebelumnya. Belum lagi derita duduk bersebelahan dengan bapak-bapak yang tidurnya, sumpah, rese banget.

It's fine. Fine. Paginya aku punya kompensasi sempurna untuk semua acara duduk di kereta yang melelahkan, yang membuat pantatku tepos. Aku tiba di Stasiun Ketapang, Banyuwangi pukul 05.00. Agenda pertama adalah cuci muka dan pipis. Kemudian di luar, tukan becak dan ojek menyerbu, menawari tumpangan sampai ke stasiun. Bahkan ternyata ada bis yang bisa langsung mengantarku ke Denpasar. Ketika kutanya biayanya (Rp. 50.000,-), aku langsung menolak. Uang di kantongku hanya tinggal Rp. 30.000,- sekian. Kemudian aku teringat kata seorang kawan dekatku, bahwa jarak stasiun dan penyeberangan tidak terlalu jauh dan akan sangat menyenangkan kalau berjalan kaki ke sana.

Kutanyakan arah jalannya pada seorang tukang becak yang ngotot menawari becak dengan mengatakan “Jauh lho, Mbak. Jauh lho, Mbak.” Tapi aku ngotot jalan kaki. Lurus saja, lalu belok kanan. Segar bukan main udaranya! Dalam sesaat, jiwa kelinciku keluar. Berhubung jalan masih sepi, aku berjalan zig-zag dan terkadang lompat-lompat. Yiha! Lalu lihatlah! Penyeberangannya sudah di depan mata, sebentar lagi aku bisa memeluk Bebi! Aku membeli tiket yang kusangka mahal harganya. Ternyata hanya Rp. 6000,-. Ya ampun... Serunya momen-momen itu masih berlanjut lagi waktu salah seorang petugas menyuruhku lari karena kapal akan berangkat. Benar saja, waktu aku tiba di jembatan, tali-tali jangkar mulai dilepas dan aku lari-lari di jembatan, pagi-pagi buta, sambil terbahak-bahak pada diriku sendiri, sampai berhasil melompati pintu yang nyaris tertutup. Aku jelas-jelas penumpang terakhir mereka.

Lalu aku duduk di dek paling atas. Ditemani musik dangdut yang sama sekali tidak enak didengar, kubuka sarapan pagiku dengan sebotol air mineral dan rokok (lagi-lagi). Kunikmati benar-benar saat-saat sendiriku di Selat Bali. Lautnya tenang dan udara tidak dingin, melainkan sejuk. Sejuk sekali! Sambil berlayar aku ber-sms-an dengan Bebi yang ternyata sudah bangun pagi-pagi juga, bersiap-siap berangkat dari Sanur untuk menungguku di sekitar Ubung. Oh, ya ampun, tidak terperi rasanya akan ketemu Bebi lagi. Tidak sabar, tentu saja. Menggigit kuku dan goyang kaki jadi sesuatu yang tak terelakkan di atas kapal. Nervous, bok.

Tibalah saatnya menikmati sunrise. Aku pergi ke sisi lain kapal dan mendapatkan matahari yang mungkin sedang menyeringai—bukan tersenyum. Sinarnya jatuh di permukaan laut, menimbulkan efek sparkle di riak-riak kecilnya. Haleluya! Kucari sudut-sudut di kapal yang bisa memberiku hasil jepretan bagus. Tapi sayangnya, aku tidak punya kamera digital, yang ada hanya kamera handphone. Sementara aku kehilangan kabel data untuk mentransfer foto-fotoku.

Tidak sampai satu jam, pelabuhan Gilimanuk mulai terlihat.

Terharu sekali rasanya tiba di Bali lagi. Entah kenapa, sejak kunjungan pertamaku pada Bali semasa SMP dulu, rasanya ada chemistry aneh dengan pulau itu. Sebuah kedekatan yang sulit kujelaskan, tapi sepertinya waktu selalu membawaku ke sana, paling tidak, mengaitkan banyak hal dalam hidupku padanya. Sampai-sampai perempuan yang kusayangi pun, ternyata Bali totok.

Di Gilimanuk lagi-lagi aku diserbu tukang ojek dan sopir bus. Untuk amannya, aku bertanya pada pak polisi yang sedang menyapu kantor kecilnya. Dia menunjukkan padaku letak terminal bus dan katanya aku boleh bernegosiasi dengan supirnya mengenai harga sampai ke Ubung. Kemudian aku melihat supir yang sejak awal sudah mengikutiku. Kuhampiri dia yang ternyata tidak sesangar tampangnya. Berbicaranya sangat ramah dan sopan dan aku pun mengikutinya sampai ke terminal. Dia mengantarku sampai ke terminal—bukan, sampai ke minibus.
“Sampai Ubung berapa, Pak?”
“Tiga puluh, Mbak.”

Oke. Sepakat. Dalam perjalanan kuberikan uangku padanya. Rp. 30.000,- dan yang tersisa adalah Rp. 2000,- di kantongku. Dalam hati aku tertawa dan puas, begini ternyata rasanya. Aku tidak jera, malah kupikir aku ketagihan. Tentu saja aku tidak keberatan mengulanginya lagi. Maafkan aku atas panjangnya cerita ini, tetapi perjalanan dari Gilimanuk itu terlalu indah buatku. Pohon-pohon, sawah, laut, langit, bahkan pura-pura atau jalan-jalan kecil menuju desa-desa di pelosok Bali. Ya tuhan, kirimi aku geledek untuk meyakinkanku. Sepertinya, setelah lulus kuliah, aku akan benar-benar kabur ke pulau itu.

Dalam tiga jam, aku beberapa kali ketiduran saking sejuknya udara. Tidak peduli berisiknya bus itu, suara-suara orang berbicara dengan bahasa Bali menjadi pengantar tidurku. Kuhela napas lega berkali-kali, dan melengos berkali-kali juga setiap kali bangun. Setiap terbangun, kuharap aku sudah dekat dengan Denpasar tapi selalu belum. Pantatku sudah pegal sekali dan sesungguhnya aku tidak tahan duduk terlalu lama akibat sakit punggung yang kerap mendera. Aku membaca setiap tulisan di mana saja yang bisa memberi tahu dimana letakku berada dan segera meng-sms Bebi ketika aku sudah tiba di daerah Kapal. Kata Bebi, itu artinya aku sudah dekat dengan Ubung. Aku, sumpah, deg-degan akan ketemu Bebi. Pagi-pagi, belum mandi, kucel, berantakan, mirip gembel.

Entah bagaimana rupaku ketika minibusku memasuki tempat bertuliskan Terminal Ubung. Aku sampai! Dan kulihat Bebi sudah menunggu di semacam pinggiran. Lalu, lalu, dia menjemputku persis di muka pintu bus. Ya ampun, aku merasa naik kelas. Dari gembel jadi tuan putri. Bagaimana harus kulukiskan perasaan itu? Aku memeluknya erat-erat di motor dan menggigiti punggungnya sepanjang jalan dan baru berhenti saat didamprat. Aku agak-agak tidak peduli, memeluknya lagi, dan tentu saja: I LOVE YOU!

NB: total biayanya Rp. 126.000,-. Akan lebih murah dengan kereta ekonomi, tetapi waktunya tidak seefektif dan efisien seperti kereta bisnis. Mari jalan-jalan!

@Oryza Sativa, SepociKopi, 2008

Hongkong - Perjalanan Menuju Impian

Oleh: Justine Ht

Aku dan kekasihku memutuskan untuk membangun impian kami di luar negeri. Dengan segala keterbatasan yang ada kami memilih ke Hongkong. Ini negara kedua perjalanan cinta kami. Sebuah kota transit dan dari sini kami akan terus berjalan ke negara impian kami.

Di negara inilah fase terberat dalam hidup kami. Bulan-bulan pertama aku berada dalam kondisi "Udah jatuh tertimpa tangga dan keduduk kotoran kebo." Kegetiran yang begitu dalam, tapi cinta tegarkan hatiku. Kekasihku selalu ada untukku. Doanya, kesabarannya, ketulusannya membuatku bangkit dari keterpurukan. Di sinilah aku menyadari betapa berharganya arti cinta. Cinta membuat segalanya menjadi mungkin dalam hidup ini. Perlahan badai itu berlalu...

Hongkong merupakan pusat bisnis di Asia. Tapi sejak 1 Juli 1997 saat dikembalikan ke pemerintah China, banyak investor yang angkat kaki dari sini. Hongkong juga merupakan pelabuhan bebas, jadi para importir dapat mengimpor barang dari berbagai sumber yang mereka kehendaki, artinya kita akan menemukan aneka model paling mutakhir yang diimpor langsung dari pabrik dan negara asalnya.

Bagi yang punya semboyan "Shopping is my first love, but you're a close second", Hongkong adalah tempat yang tempat untuk menguras tabungan. Hongkong memiliki pasar terbuka yang sangat terkenal, di sana kita bisa menemukan segala jenis barang dengan harga miring, antara lain Ladies Market di Tung Choi Street Mongkok, Temple Street Night Market Jordan, Marble Road Market di North Point dan Cross Street Market di Wan Chai. Mal bertebaran di mana mana. Saat pergantian musim atau liburan semua mal menggelar "Big Sale". Inilah saat yang tepat untuk berbelanja cerdik.

Hongkong kurang-lebih sama seperti Jakarta dengan lautan gedung dan manusia, pepohonan menjadi barang yang langka. Kelebihannya adalah kota Hongkong tertata rapi, rumah penduduk rata-rata berbentuk apartemen dan kemacetan adalah sesuatu yang asing. Kekurangannya di sini tidak ada bajaj, ojek, asongan ataupun pedagang kaki lima. Jadinya nggak seru...


foto oleh: Justine ht

Banyak hal baru yang kami temui di sini. Kota individualis. Kota yang bebas. Semua orang bebas mengekspresikan diri. Tidak ada orang yang peduli dengan apa pun yang kita lakukan.Tapi jangan takut, polisi akan siap membantu jika kita menghadapi masalah. Tidak ada orang yang mencibir ataupun menatap curiga saat kita berjalan bergandengan tangan ataupun bersikap mesra. Bahkan tak segan mereka memperkenalkan partnernya dengan sebutan “ngo loukung”(suamiku) atau ngo lobo (istriku)“.

Bukan hal yang mengherankan jika saat duduk di restoran di sebelah kita duduk sepasang gay yang bersikap mesra atau kita mendengar percakapan di antara remaja yang mengaku gay atau lesbian. Bahkan sejak 1989 diadakan Hongkong Lesbian and Gay Film Festival (HK LGFF) yang diputar di Broadway Cinematheque, Palace IFC dan AMC Festival Walk sekitar bulan Agustus - September.

Lesbian Indonesia? Wow... hari minggu di Victoria Park, Causeway Bay mereka berseliweran kayak bajaj di Jakarta. Biasanya mereka mengganti kata lesbian dengan TB (Tomboy). Sewaktu aku di Shenzen, China, aku mengenal seorang Butchy L-mom yang bercerita banyak tentang teman-teman lesbiannya dan kelesbianannya sendiri. Mereka biasanya membentuk kelompok tersendiri dan membuat acara-acara khusus yang terkesan "Just for Fun". Menurutku fenomena ini hanya semacam eforia dari suatu keadaan. Mengikuti tren yang ada.

Victoria Park di Causeway Bay merupakan tempat ngumpul orang Indonesia saat libur. Kalo dilihat dari atas seperti cendol dalam saringan, numplek semua di sana. Emang sih di sana lengkap banget. BCA, BNI, Bank Mandiri, Konsulat Jenderal Indonesia dan toko2 yang menyediakan semua keperluan orang Indonesia. Bahkan perpustakaannya menyediakan majalah dan koran Indonesia.

Aku dan kekasihku mengawali pagi ini dengan berkunjung ke rumahNya. ST.ANDREWS CHURCH in Tsim Sha Shui. Arsitekturnya mengingatkanku akan istana dalam dongeng HC Anderson, cantik dan unik. Ada rasa damai yang mengalir saat kami bersyukur untuk kasih karunia yang diberikanNya. Biasanya kami menghabiskan waktu dengan bersantai di Kowloon Park di Tsim Sha Shui atau Butterfly Beach di Tuen Mun. Tapi kali ini kami ingin belanja beberapa kebutuhan keponakan-keponakan kami di Indonesia.

Kami naik MTR (Mass Transit Railway / Kereta bawah tanah) ke Mongkok cuma sekitar 5 menit dengan ongkos $5.4. Di sini kita tidak perlu repot membawa uang recehan untuk naik kendaraan, cukup dengan menggunakan sejenis kartu yang disebut Patadong (Octopus Card) yang bisa diisi ulang. Kartu ini juga bisa digunakan untuk berbelanja di tempat-tempat tertentu.

Belum mulai belanja, debt collector di perut sudah menagih, kami memutuskan makan di Tradisional Chinese Noodle yang rasanya sesuai dengan selera kami yang Sumatra minded, pedas dan berempah. Hongkong bukan tempat yang asyik untuk wisata kuliner. Orang sini pun lebih senang makanan luar seperti Sushi (Jepang), Dim Sum (Korea), Curry (India) ataupun makanan Eropa. Biasanya di musim dingin mereka menikmati Ta Pin Lo (Hot Pot) yang merupakan makanan khas Hongkong.

Di negara inilah kami menemukan kehidupan dan cinta kami kembali. Tidak ada lagi pertanyaan yang menyudutkan. Tidak ada lagi kebohongan dan kepura-puraan dalam menghadapi masyarakat. Tidak ada lagi kebimbangan dalam menentukan pilihan hidup. Tapi terbersit nyeri di hati saat kerinduan menyapa. Kerinduan pada orang-orang terkasih dan sahabat-sahabat terbaik, juga pada keindahan Indonesia. Seakan tak ada kompromi dari perjalanan. Terasa sebagai nasib yang tidak berpihak.

Yah selalu ada harga yang harus dibayar untuk segala sesuatu yang ingin kita capai dalam hidup ini. Yang pasti hidup terus berjalan. Lakukan yang terbaik hari ini, esok akan terjawab dengan sendirinya.

@Justine Ht, SepociKopi, 2008

Tentang Justine Ht:
Perempuan yang menemukan cintanya pada diri seorang perempuan. Bersama partnernya berkeinginan keliling dunia untuk belajar banyak hal tentang kehidupan. Feminim tapi tidak suka dandan. Penggemar kopi, film Hollywood, dan musik jazz.

Meulaboh, Kota yang Tangguh

Oleh: Arie Gere

Akhirnya sampai juga…
Masih dengan napas terengah-engah menghirup aroma pesing sialan ketika keluar dari pesawat kecil bermuatan dua puluhan orang itu, aku turun dengan ransel dan segenggam oleh-oleh khas kotaku menuju kota baru, kota Meulaboh yang akan kudiami selama tiga minggu. Meulaboh, Aceh Barat, saksi bisu tsunami.

Ah, kekasih hatiku nun jauh di sana… Sedang apa dia? Seketika itu juga kunyalakan ponsel dan tak lama terdengar ucapan syukurnya karena perjalanan 50 menit yang kulalui di atas benda kecil yang melayang ini tak terhadang kondisi apa pun.

Aku segera mengambil koper kecilku dan menaikkannya ke atas Ford Ranger yang aku yakin pasti donasi dari orang-orang bule pendonor itu. Tim kami berjumlah tiga orang, dua perempuan dan satu laki-laki. Aku dan perempuan itu jelas satu kamar dan ah... malasnya sekamar dengan perempuan ini, cerewet, jutek, uh... tape deh...

"Apa? Ranjangnya satu?” Spontan perempuan ini berteriak.
"Mas, kami pindah ke lantai dua aja, yang ranjangnya pisah," katanya.
Sudah kuduga, perempuan ini sering sekali membuat orang terkejut dengan suaranya yang mendadak dangdut mendadak ngerock, yang dB nya jauh lebih kencang dari suara orang batak sendiri.

Aku berpikir, apa karena dia yang telah mengetahui kondisi diriku sebenarnya sehingga dia wanti-wanti tidak mau seranjang denganku. Entahlah... Dan entah bagaimana juga perempuan ini akhirnya mengetahui orientasi seksualku yang ketika itu tidak dapat terelakkan lagi untuk diungkapkan. Mungkin nalar penciumannya yang teramat kuat, keingintahuannnya yang besar, keberaniannya yang kuacungkan jempol dan berbagai usaha penginterogasiannya setiap hari yang akhirnya membuatku loyo... kuncup.. Dan, terucaplah pengakuan itu... Yes, I am.

Kuingat, ocehan perempuan ini beberapa minggu yang lalu.
”Orang-orang kantor pada tahu kok,” katanya lirih.
”Yah, kamu kasih tahu sih, panteslah mereka tahu,” ucapku dengan nada tak terkejut lagi. Pengalaman kebablasan seperti ini pernah kualami ketika waktu di kampus dulu, ketika sahabat yang kupercaya sekalipun ternyata tak mampu menyimpan rahasia itu. Mulut berbicara, dinding mendengar, dan angin yang menyampaikan. Hah, sudah kuduga.

”Nggak, Ri, secerewet apa pun aku ke kamu, sejutek apa pun aku ke orang, tapi aku bukan tukang gosip.” Hatiku berkata, mudah-mudahan omongannya benar. Tapi aku benar-benar tidak perduli, ingatanku melayang pada kejadian sekitar satu tahun lalu, membekas seperti tancap pecahan botol yang kemudian ditarik paksa dan meninggalkan perdarahan tragis mengancam nyawa. Mantan pacar berengsek yang membeberkan semuanya kepada keluargaku.

”Mereka tahu karena suara di telepon kamu tuh tiap hari terdengar suara cewek,” sambungnya lagi. Yah kuakui aku emang rada budek, volume telepon genggamku terpaksa disetel maksimal. Kalau tidak, suara telepon hanya terdengar samar-samar di telingaku.

Ketika identitas diri sudah tercium oleh lingkunganku, aku berjanji tidak akan berubah. Dianggap siapa pun diriku di rumah, dianggap apa pun aku di kantor, itulah diriku. Bukan mereka yang mengubah diriku, bukan mereka yang mampu mengontrol emosi dan semangatku, bukan mereka. Karena aku bangkit untuk membuktikan pada diriku sendiri, dan bukan pada dunia, bahwa aku benar-benar ada. Aku tidak akan menjelma menjadi pegonggong yang keluyuran di malam hari, tidur di siang hari, merampok di kala senja, dan melolong di tengah lelapnya mimpi manusia. Aku adalah sang ujung tombak yang tetap akan berperang meski kakiku patah. Akan kuobati lukaku, akan kusambung agar kembali ke utuh, bila perlu kuganti semuanya dengan sparepart baru.

Apa pun pilihan hidup, semua harus kujalani dengan kesungguhan dan keihlasan. Bahwa aku ada, dan bahwa dia ada. Setitik air jatuh ke pipi dan segera ku hapus mengingat perjalanan panjang ini masih 3 minggu lagi. Aku berdiri tegak, di samping tugu Teuku Umar, memandang jauh ke Samudera Hindia dan menyadari betapa indahnya dunia ini, betapa luasnya anugerah Tuhan. Seketika itu juga aku teringat akan betapa maha dahsyatnya keajaiban Tsunami kala itu dan betapa kecilnya manusia di hadapan Sang Ilahi seperti debu terbang yang tak menentu arahnya.


Gbr 1. Rawa yang terbentuk dari sisa air laut akibat tsunami
Photo by Arie Gere – Meulaboh

”Gempa seperti itu belum pernah terjadi. Kekuatannya mahadahsyat, dan setelahnya air laut surut, hingga semua orang berlarian ke pantai, mengambil ikan-ikan di laut. Lima belas menit kemudian datang air laut setinggi pohon kelapa dan melahap semuanya.Tiga kali air laut mengempas dan melahap semua yang dilaluinya."

Aku bergidik membayangkan air laut setinggi itu menghabiskan ratusan ribu nyawa dalam sekejap, dan sekali entakan saja bisa mencampakkan PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel) milik PLN yang berbobot 200 ton di Banda Aceh terhempas sejauh 3 kilometer dari posisi awalnya. Ah, perih memang mengingat kembali 26 Desember itu.

”Keluarga Bapak?” tanyaku.
”Hanya Bapak yang selamat, pulang melaut tiba-tiba sudah habis semuanya.”
“Apa? Saat itu Bapak sedang di laut?” Aku terkejut bukan main, ingin bertanya lagi, ”Kok bisa selamat?” tapi rasanya sungguh tak sopan.

Tiba-tiba aku teringat gelombang tsunami bergejolak di dalam laut, bukan di permukaannya, hingga barulah sampai di bibir pantai air laut melahap semuanya. Sedangkan yang saat itu berada di laut, sebahagian besar selamat dan tidak merasakan gelombang bahaya mahadahsyat gentayangan lewat di bawah perahunya.

”Terima kasih banyak, Pak” ucapku pamit sambil menggenggam erat tangannya, semoga nyaman dengan rumah barunya. Kuamati sekali lagi rumah orang tua itu, semua tampak sama dengan rumah tetangga-tetangga sekitarnya. Dalam hati aku bersyukur karena kota yang pernah mati karena tsunami ini kembali hidup dengan datangnya donor dari berbagai negara, membangun semua infrastruktur, rumah sakit, jalan raya, dan tentu saja rumah tinggal. Peradaban sudah mulai dibangun, mental masyarakat sedikit demi sedikit mulai berubah. Bagi sebahagian besar masyarakat Aceh pedalaman, dulu, toilet di dalam rumah sungguh tidak beradab. Mereka pikir seperti tinggal di kandang kerbau, yang makan dan buang air di tempat yang sama. Akan tetapi, rumah sumbangan donor bule-bule itu tidak mungkin dibangun berpisah dengan toiletnya karena tidak ada arsitek modern yang mendesain rumah seperti itu. Dulu pun, rumah semi permanen sudah tergolong bagus di daerah ini, tapi sekarang hampir semuanya sudah permanen.

Mungkin aku saja yang berpikiran picik dan jahat atau semua orang punya pikiran seperti aku, kalau saja tsunami tidak terjadi, mungkin jalan raya yang lebar ini tidak akan pernah ada, atau rumah hunian permanen yang diberikan cuma-cuma hanya dengan menunjukkan surat keterangan dari kepala desa bahwa sang pemilik berhak atas tanah dan bangunan yang pernah hancur di atasnya mungkin tidak akan pernah sanggup dibangun oleh pemiliknya sendiri. Ternyata di dalam kesempitan pun, ada saja kesempatan-kesempatan busuk yang dimanfaatkan oleh orang-orang tamak.

Ah sudahlah, hidup harus dilanjutkan. Bila mereka saja kuat menghadapi getirnya gempa dan tsunami, ditambah lagi dengan konflik politik dengan Pemerintah, masa aku harus menyerah dengan hidup ini. Semua masalahku, semua deritaku, ternyata sangat tidak sebanding dengan penderitaan orang-orang tangguh ini, yang masih kuat bertahan hidup dengan kehilangan segala sesuatu yang pernah dimilikinya. Harta, rumah, anak, istri, orang-orang yang dicintai lenyap seketika dan hanya menyisakan sejuta kenangan dan air mata yang tak pernah habis-habisnya jika diingat.

Dan aku, tidak pernah menyesal menjadi perempuan, tidak pernah menyerah mencintai perempuan karena hidup bukanlah untuk disia-siakan, bukan untuk berpangku tangan apalagi untuk disesalkan.

@Arie Gere, SepociKopi, 2008

Ode Semangkuk Wedang Ronde di Kota Solo

Oleh: Robyn


Aku baru tahu malam di Kota Solo bisa romantis. Saat hujan, air membasuh jalan-jalan kecil yang membelah deretan rumah tua sederhana berarsitektur Eropa, seperti yang sering terlihat di kartu pos. Becak adalah raja di antara segelintir orang dan kendaraan bermotor yang berlintasan. Orang asing manapun bisa leluasa menjelajah berbagai macam pojok angkringan sepuasnya lalu, seperti aku, mengklaim bahwa kota ini adalah miliknya.

Ini adalah kali kedua aku berplesir ke kota sarat sejarah dan budaya ini. Tak seperti persinggahan sebelumnya yang ramai bersama seluruh keluarga besar, kali ini aku hanya bersama Bibiy, kekasihku. Rencana liburan kami pun tak muluk, hanya mengunjungi adikku seraya berwisata kuliner di kota yang juga pusat aneka hidangan tradisional.

Persentuhan dengan malam dan aneka angkringan berawal dari seorang tukang becak di depan Hotel Novotel tempat kami menginap. Si tukang becak, yang kemudian kami beri nama Pak Mis (komunikasi) karena sering mengantar kami ke tempat yang tak sesuai pesanan, berputar-putar tak tentu arah saat kami ingin diantar ke warung soto kwali khas kota ini di hari kedatangan kami.

Ia mengantar kami ke warung wedang dan warung nasi gudeg lesehan dekat Keraton Surakarta, sebelum akhirnya memberhentikan kami di depan warung soto Pak Broto di salah satu emperan Jalan Slamet Riyadi. Padahal Pak Broto sama sekali tidak menghidangkan soto kwali.

Aku memang control freak yang mudah kesal pada rencana yang tak terealisasi. Aku mulai mengomel ke Bibiy tentang agenda wisata kulinerku yang rusak gara-gara Pak Mis bertingkah ‘terlalu kreatif’. Belum lagi mood jadi kacau karena aku sudah telanjur kehilangan kesabaran.

“Tuh, tuh. Bibiy gak suka ah kamu gitu. Ini kan liburan, dinikmatin aja, jangan terlalu dipikirin, gitu,” begitu tegur Bibiy.

Ia memang sudah hafal betul dengan tabiatku yang satu ini. Berbeda dengan aku yang punya sekring emosi yang gampang putus, Bibiy berpembawaan santai dan ceria. Ia selalu punya cara untuk mendinginkan kepalaku dalam situasi apa pun.

Memang di luar jadwal wisata kuliner yang meleset dari rencana malam tersebut indah. Hujan memeluk dengan lembut, menyisakan aspal jalan yang basah dan berkilau tertimpa cahaya lampu. Tentu kecewa jika berharap toko-toko ramai buka malam hari di kota kecil ini. Namun aneka jajanan terserak di berbagai sudut kota, menebarkan wangi-wangian hidangan yang senantiasa merayu siapa saja yang lewat.

Aku bisa dengan mudah jatuh cinta dengan Soto Pak Broto yang berkuah kaldu bening bercampur tumbukan bawang putih, walau gagal menemukan soto kwali. Atau terbuai pada semangkuk wedang ronde yang disajikan di rumah makan kecil di pinggir keraton setelah Pak Mis lagi-lagi desersi dari permintaan kami untuk mengantar ke salah satu warung wedang temaram pinggir jalan.


Ini adalah pertama kalinya aku mengecap butiran bola sagu kukus berisi tumbukan kacang yang berkubang dalam air jahe hangat itu. Aku merasa beruntung bisa menikmatinya di rumah makan itu, karena ronde buatan mereka lembut tumbukan kacangnya dan pas rasa manisnya.

Berdesak-desakan di becak dan mengobrol ngalor-ngidul bersama Bibiy juga merupakan sesuatu yang tak terganti. Di Jakarta, malam kami habiskan sendiri-sendiri karena perbedaan ritme kerja. Saat Bibiy bersiap pulang ke rumahnya, aku masih berkutat di depan komputer di pojok ruang kerjaku. Sering aku baru bisa menelpon saat Bibiy sudah terlelap dalam balutan celana piama dan kaus singletnya.

Kami seolah ingin terus terjaga di kota ini, berplesir dengan becak, berjalan menyusuri trotoar, bergulat (dalam arti sebenarnya karena aku harus menghindari bibiy yang doyan menggigitku) di ranjang sebelum tidur, atau berdua menampaki tarian lampu kota di malam hari melalui jendela kamar hotel.

Becak dan malam segera saja menjadi pintu keriaan kami. Tak ada malam yang lewat tanpa mbecak keliling kota, menjajal jajanan pinggir jalan aneka rupa. Aku harus mengakui bahwa kota ini cukup menampung hobi makanku. Empat malam yang kami habiskan tidak cukup untuk mencecap seluruh aneka hidangan milik kota para raja dinasti Pakubuwono ini.

Malam selanjutnya kami mampir di warung nasi liwet Bu Sri Redjeki yang bersebelahan dengan warung susu segar Shi Jack di dekat Pasar Klewer, setelah Pak Mis (lagi-lagi) gagal membawa kami ke warung timlo. Ini pun menjadi pengalaman yang tak terlalu buruk karena nasi liwet yang tersaji berbeda dari nasi-nasi liwet yang pernah kucoba sebelumnya. Di alas daun pisang yang dibentuk seperti wadah kacang rebus, nasi pulen terhidang di atas sayur labu dan siraman sari santan kental berwara putih. Minuman susu jahe dari warung sebelah menggenapi hidangan dengan serasi.

Di antara semua angkringan yang kami singgahi, boleh dibilang pemenang hatiku dan bibiy adalah warung wedang Mbak Sri di dekat Pasar Barang Antik Triwindu. Mbak Sri adalah perempuan jawa berusia sekitar 40an, dengan dandanan manis bersahaja. Sangat asyik mengamati kepiawaiannya memadupadankan berbagai manisan buah, ronde, kacang dan air jahe menjadi aneka minuman hangat yang nikmat.

Kami baru singgah di sana malam pada malam kedua. Bibiy langsung jatuh cinta pada sekoteng hangat yang berisi potongan manisan buah belimbing, kolang kaling dan kacang putih. Aku sendiri menyeruput wedang kacang putih, yang berisi potongan ketan putih, kolang kaling dan kacang putih.

Tak lama setelah kami memesan, seorang wanita pesinden mampir untuk melantunkan tembang berbahasa jawa seraya memetik dawai kecapi. Perlahan bibirnya mengalunkan Caping Gunung karya Gesang, lagu lawas multiinterpretasi tentang janji yang tak ditepati.

Entah ada apa dengan kota ini. Semua terasa begitu nyaman dan syahdu, persis seperti rasa semangkuk wedang ronde. Enggan rasanya saat aku dan Bibiy harus mengepak barang untuk pulang. Enggan meninggalkan malam yang selalu romantis dibalut hujan rintik. Enggan meninggalkan segala bentuk kebersamaan aku dan Bibiy.

Bibiy tampak sedikit murung saat kereta yang kami tumpangi mulai bertolak meninggalkan stasiun Solo Balapan. Sepanjang perjalanan tak lepas ia memegangi tanganku seraya menatap ke luar jendela.

“Bibiy pengen naik becak lagi,” katanya lirih.

Aku pun membelai punggungnya dengan lembut. Rasa sedih yang sama menggelayut di hatiku yang belum siap menyongsong Jakarta, kota di mana kami harus pulang ke rumah yang berbeda.

foto dari:
http://www.wikipedia.org/
@Robyn, SepociKopi, 2008

Balikpapan, City of Oil

Oleh: Sagita Rius


Pantai Lamaru photo oleh Sagita


"Sag, jadi nggak ngajak aku makan undang bakar? Besok aku free nih. Lusa aku kembali ke Jakarta". Ini SMS dari salah satu sahabat heteroku.

Eka namanya. Ia datang ke Balikpapan dengan menumpang pesawat Garuda (perjalanan dari Jakarta menempuh waktu kurang lebih satu jam 45 menit), untuk mengurus akte pendirian kantor cabang perusahaannya yang bergerak di bidang konstruksi bangunan.

"Besok aku jemput kamu jam 8, jangan sarapan dulu ya." Itu balasan SMS-ku. Jam delapan lebih sedikit aku sudah berada di lobby hotel Le Grandeur (d/h Hotel Dusit). Selain Le Grandeur ada beberapa hotel di Balikpapan dari kelas melati sampai bintang lima. Contohnya Bahtera Hotel, Novotel, Gran Senyiur, Comfort Sagita Hotel, dan lain-lain.

Aku membawa Eka sarapan soto banjar langgananku di samping kantor DPRD Balikpapan. Kami bercakap-cakap dalam bahasa Banjar (meskipun aku bukan orang Banjar, ibuku peranakan Manado/Chinese, ayahku Kutai/Tenggarong). Itu karena aku lahir, menamatkan SD, SMP dan SMA di Samarinda, sehingga bahasa Banjar dan Kutai menjadi bahasa sehari-hari. Khususnya bila bertemu dengan orang Banjar dan Kutai juga. Aku memesan semangkuk soto banjar dgn satu telur kampung dan nasi setengah, sedangkan Eka memesan soto banjar dengan ketupat.

Setelah perut kami agak panas, mulut dower kepedasan ditambah keringat yang mengucur deras, kami lanjut berkeliling kota. Jam sembilan, matahari sudah demikian menyengatnya. Di Balikpapan, apalagi musim kemarau, sengatan matahari bisa membuat ubun-ubun serasa berdenyut. Sinarnya yang kejam bisa membuat kulit seputih apa pun menjadi legam, apalagi kalau nekat nggak memakai pakaian ala ninja, khususnya pengendara motor.

Secara keseluruhan, kotaku ini berkembang amat pesat. Lalu lintasnya padat dengan kendaraan pribadi (baik dari daerah-daerah lain di Kalimantan Timur, maupun kendaraan dari luar Kalimantan Timur; ini terlihat dari pelat nomornya, paling banyak pelat B, L dan DD). Sekarang pun, sedang dibangun tiga apartemen mewah menyaingi kompleks perumahan yang ada. Dua pusat pembelanjaan lainnya juga dalam tahap penyelesaian.


Pantai Manggar, photo oleh Sagita


Secara penghidupan, Balikpapan termasuk kota dengan biaya hidup tinggi alias serba mahal. Pemkot Balikpapan lebih sibuk ngejar target pemasukkan daerah daripada membenahi pariwisatanya. Pantai Manggar dan Lamaru lebih asyik dilihat pada malam hari. Jangan dinikmati pada saat terang. Ih, sungguh malu-maluin! Padahal kalau dikelola dan dibenahi baik dan benar, Pantai Manggar dan Lamaru ini pasti tak kalah indahnya dengan Pantai Kuta.

Secara kependudukan, Balikpapan dihuni berbagai suku di tanah air dan berbagai bangsa (pekerja asing/expatriate).

Biarpun kota Balikpapan disebut sebagai kota minyak, belum tentu minyaknya gemah ripah loh jinawi. Di saat krisis minyak mendera di beberapa kota lain di Indonesia, Balikpapan pun nggak lepas dari krisis yang sama. Di segala sudut kota Balikpapan terlihat antrean panjang ibu-ibu dengan jerigen minyak tanahnya. Ini baru krisis minyak tanah, ada lagi yang lebih parah, yaitu krisis listrik (satu minggu bisa tiga kali mati antara empat jam sampai sembilan jam). Di koran lokal sudah ada jadwal pemadaman listrik selama satu bulan ke depan.

Aku mulai menelusuri Balikpapan dari arah barat yang dikelilingi pantai di sebelah kiri, lapangan Merdeka dan perumahan Pertamina di sebelah kanan. Sampai di jalan Minyak, Eka ingin berhenti sejenak untuk melihat hamparan kilang-kilang minyak. Balikpapan, lebih sebagai kota industri pertambangan, tak heran banyak perusahaan PSC (Production Sharing Contractor), pertambangan migas dan batu bara seperti Total E&P Indonesie, Chevron (d/h Unocal), Vico, Medco, KPC, Arutmin, BHP membuka operation office. Termasuk juga perusahaan support seperti Schlumberger, BHP, Billington, Thiess, HH Utama, Trakindo, dan lain-lain.

Setelah puas menghirup aroma minyak dari kilang yang terbawa angin, kami melanjutkan perjalanan ke arah pasar Kebun Sayur karena Eka mau membeli cindera mata khas Kalimantan. Pasar Kebun Sayur selain tempat berdagang kerajinan khas Kalimantan (Dayak), juga sebagai wadah bertransaksi jual beli emas dan berlian Banjar. Sepanjang jalan, Eka tertarik dan membeli beberapa kalung, gelang, anjat (tas punggung khas Dayak) dan lampit (sejenis tikar terbuat dari anyaman rotan yg amat halus). Aku bertindak sebagai tukang tawar dan tentunya mempergunakan bahasa Banjar. Karena lorong pasar yang sempit, berapa kali kami berpapasan dengan turis asing, baik yang berpakaian rapi maupun berpakaian ala kadarnya.

Tak terasa perutku berbunyi nyaring. Aku memaksa Eka untuk menyudahi nafsu belanjanya dan secepat topan badai, aku menuju ke Restoran Teluk Bayur.

Dilihat dari tempatnya sih bukan restoran mewah, cenderung ke warung tapi ehmmmm... udang bakarnya paling maknyus. Eka berkali-kali menambah nasi, sambil mengutuki aku habis-habisan karena merusak program dietnya. Menurut Eka, bila berjalan denganku serasa tante-tante yang lagi mengajak keponakannya mencari buku chicklit. Setelah makan, keadaan kami sama seperti setelah makan soto; keringatan dan kepanasan. Malah bertambah dengan bau asap bakaran yang menyelimuti kami, bahkan aroma Eternity-ku pun hilang pamornya.

Entah apakah karena kekenyangan, energi Eka untuk belanja pulih lagi. Dia minta tolong untuk sekali lagi menemani dirinya mencari makanan khas Kalimantan seperti amplang dan lempok duren (dodol duren).

Aku mampir di toko di depan pasar Kelandasan. Di sini lumayan lengkap; ada amplang ikan tenggiri atau ikan pipih. Aku pun menitip dua kotak cokelat Jack n Jills dan Appolo produk Malaysia untuk dua anak Eka. Kenyang, semua titipan handai taulan terpenuhi, aku mengantar Eka ke Le Grandeur. Sebelumnya Eka sudah wanti-wanti agar dirinya tidak diajak ke mal atau pantai (secara dia lebih menyukai pegunungan). Gantian aku mengingatkannya untuk mengawal aku untuk menghadari acara pesta ulangtahun sahabatku, Ellen nanti malam.

Jam delapan malam, kami sudah berada di restoran Dragon Palace (Hotel Blue Sky). Di restoran ini terkenal dengan masakan mejangan cabe keriting yg dimakan dengan roti mantau goreng. Lagi-lagi Eka mendelikku seakan-akan mengumpatku, "Sialan lo, Sag. Hancur nih badan gue!"

Seperti biasa, setelah makan malam, setelah cekakak cekikik, setelah pemberian kado, setelah mengumpulkan duit saweran kado, setelah cipika cipiki ala nyonya-nyonya borju, para sahabatku melanjutkan kegembiraan ke lantai dansa Colour Beat yg masih satu lokasi di Hotel Blue Sky. Pentas penuh dengan manusia, malam minggu sih. Tampak olehku beberapa lesbian muda (aku tidak kenal, hanya menandai karena kotaku kecil. Kami biasa bertemu di mana saja, kapan saja, dan tentunya, tahu sama tahu), yang asyik dengan pasangannya masing-masing.

Tempat-tempat hang out di Balikpapan termasuk lumayan banyak pilihan, seperti Colour Beat di Hotel Blue Sky, Borneo Pub di Hotel Le Grandeur, Red Square di Hotel Comfort Sagita, Connection di Bandar Balikpapan. Kurang dari jam duabelas, layaknya Cinderella, aku dan Eka kabur pulang.

Keesokkan harinya, sekitar jam sepuluh, aku menjemput Eka. Sebelum ke Bandara Sepinggan, kami mengambil pesanan kepiting asam manis Kenari. Kepiting Kenari ini dikirim langsung dalam keadaan hidup khusus dari Tarakan. Ukurannya sangat besar dan isinya penuh, nggak kosong.

Jam 12.15 pesawat Garuda yang membawa Eka meninggalkan landasan Bandara Sepinggan Balikpapan. Sepeninggal sahabat baikku ini, pelan-pelan kurasakan kembali perih yang menyayat hati saat mengenang masa kuliah---masa transisi krisisku, sebagai lesbian muda.

@Sagita Rius, SepociKopi, 2008

Tentang Sagita Rius:
Ibu dengan satu putri. Merasa wajib membaca untuk melembutkan hati dan mengoptimalkan fungsi otak. Setengah melankolis setengah sanguine. Jago berteori, sering kalah di realitas. Tidak gentar adu mulut, ciut bila adu otak. Lebih suka adu nyali dengan sopir angkot dan pengendara motor. Berupaya keras mewujudkan keinginan ananda yaitu menjadi bunda yang lebih feminim.


abcs