China 2008: Budaya 5000 Tahun

Oleh: Grey Sebastian

Saat menulis ini saya sudah resmi menjadi penduduk sementara Beijing selama 1,5 bulan. Meskipun saat saya tiba di Beijing Olimpiade sudah selesai, tapi saya masih sempat merasakan suasana meriah Paralympics Games (Olimpiade untuk penyandang cacat). Kebetulan asrama tempat saya tinggal selama di sini berada tidak jauh dari penginapan para atlet.

Meski di keluarga saya tidak terbiasa menggunakan bahasa mandarin, sejak kecil saya yang memang keturunan Chinese, sangat mencintai kebudayaan dan sejarah negara leluhur saya ini. “Wo yeye de yeye shi Zhongguo ren”*) itu yang selalu saya katakan setiap berkenalan dengan teman Chinese. Itu sebabnya sejak sebelum lulus kuliah saya sudah memutuskan, minimal saya harus bisa mengerti bahasa Mandarin.

Teman saya pernah bertanya mengapa saya memilih pergi ke sini padahal masyarakat China terkenal sangat “kurang” dalam hal sopan santun dan kebersihan. Setelah saya tinggal di sini, saya baru paham maksud teman saya itu. Tapi karena ada pepatah “Belajarlah sampai ke negeri China” saya tidak pernah memadamkan impian saya untuk belajar di sini. Dan rencana saya 3-4 tahun lagi saya pasti akan kembali ke China untuk mengambil gelar MBA.

China sendiri terlalu kaya dengan kebudayaan yang telah hidup selama 5000 tahun. Tidak akan mungkin bisa saya tuliskan hanya dalam satu halaman blog. Yang saya tuliskan saat ini mungkin hanya sedikit gambaran tentang China. Agar bila ada pembaca SepociKopi yang ingin berlibur ke China tidak kaget dan tidak jera.

***



foto oleh Grey Sebastian

Sejak dulu masyarakat China memang terkenal sangat hemat dengan air dan listrik. Saking hematnya mereka lebih memilih mandi 3-4 hari sekali dan tidak menyiram toilet setelah digunakan daripada harus “membuang-buang” air untuk sekadar menjaga kebersihan. Kalau malam tiba, mereka juga memilih jalanan dan rumah-rumah menjadi gelap daripada harus membuang-buang listrik untuk menyalakan lampu.

Dikarenakan sejak jaman dahulu masyarakat China sebenarnya miskin, tanah yang bisa dibilang kurang subur, ditambah jumlah penduduk yang sangat padat menyebabkan masyarakat China tidak mengenal pepatah “Slowly but sure”. Bagi masyarakat China “Siapa cepat, dia dapat. Siapa kuat, dia menang.” Maka itu jangan harap masyarakat sini mau antre saat naik kendaraan umum atau masuk toilet umum.

Selama berada di China, jangan kaget kalau menemukan toilet tanpa pintu, karena di China itu adalah hal yang biasa. Bahkan ketika saya berlibur di Inner Mongolia, di salah satu restoran mewahnya, toilet di situ benar-benar tanpa sekat sedikit pun.

***

“Makanan di sini murah-murah,” kata teman saya saat pertama kali saya tiba. Dan memang betul makanan di sini cukup murah, meski jika di bandingkan dengan warteg, tetap masih lebih murah warteg. Saat pertama kali makan siang di sini, kami ber-24 orang makan di restoran, total hanya menghabiskan 350RMB atau sama dengan Rp. 490,000.-. Tapi jangan pernah tersinggung kalau anda pergi ke restoran, pelayannya mengantarkan makanan pesanan Anda dengan sedikit melempar atau melayani Anda dengan wajah cemberut. Itu semua sudah biasa di sini.

Namun didorong kegiatan persiapan Olimpiade, kehidupan sosial ekonomi Beijing kini berkembang secara konsisten, cepat, harmonis, dan sehat. Taraf kehidupan rakyat yang semakin bertumbuh dan sejumlah besar infrastruktur lalu lintas yang berturut-turut dibangun, sehingga kualitas lingkungan pun membaik secara menonjol.

Minimal masyarakat di kota-kota besar seperti Beijing dan ShangHai sudah sedikit lebih sopan dan mengenal kebersihan. Meskipun masih banyak juga penduduk yang belum bisa mengubah kebiasaan buruk mereka, yang pastinya sudah ditanamkan orangtua sejak dulu.

Selama 1,5 bulan ini cukup banyak hal-hal yang saya pelajari tentang kebiasaan-kebiasaan masyarakat China, yang pada awalnya membuat saya cukup terkejut. Dan menurut teman-teman saya yang pernah tinggal atau lebih dulu tinggal di sini, itu semua masih belum seberapa. Jika bergaul dengan masyarakat setempat pasti saya akan mendapatkan pengalaman-pengalaman lebih banyak lagi, yang mungkin tidak pernah saya dapatkan di Indonesia.

*) Kakek buyut saya adalah orang China.
@Grey Sebastian, SepociKopi, 2008

Tentang Grey Sebastian:
Saat ini sedang menjadi mahasiswa kelas bahasa di salah satu Language and Culture University di Beijing. Meski usia sudah hampir seperempat abad, tapi masih sedang mencari jati diri dan cinta sejati.
3 Responses
  1. Anonim Says:

    hmmmm jadi pengen ke cina hmmmm

  2. Anonim Says:

    Wo te ama ho engkong jung congkok fuchiem, sing wang.. ;p

  3. Mithya Says:

    I'll choose japan then...

abcs