Perempuan Lintas Medan - Sumatra

Oleh: Arie Gere

Gbr1. Bandara Polonia, Photo by Arie, November 01, 2007

“Bang, aku pinjam keretanya yah?”
“Mau ke mana?”
“Mau ke pajak ngantar Mamak.”
“Lewat mana?”
“Yah lewat pasar biasa ajalah bang, biar gak macet kali.”
“Hati hati kau, banyak orang tenggen di situ.”
“Siplah bang, tenang aja, kan aku anak mudanya ;).”

Sepenggal percakapan di atas mungkin akan mengerutkan dahi Anda beberapa saat untuk memahami maksud kalimat-kalimatnya. Itu Bahasa Medan, bukan bahasa Batak, Melayu apalagi bahasa Jawa.

Medan adalah ibu kota Provinsi Sumtera Utara dengan mayoritas penduduk bersuku Batak dan Melayu yang menduduki posisi sebagai salah satu kota besar di Indonesia, terkenal dengan makanan khas Bika Ambon, Durian, dan Terong Belanda-nya. Beberapa tahun ini bertambah lagi satu makanan khas kota Medan, yaitu Bolu Meranti, meskipun sebenarnya bukan maksud saya mempromosikan bolu yang satu ini, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa Bolu tersebut sudah menjadi oleh-oleh khas kota Medan. Hampir setiap pengunjung kota Medan akan bertambah berat badannya bila meninggalkan kota ini. Bayangkan saja, makanan yang beraneka ragam sangat menggoda lidah untuk dicicipi.

Jika berangkat dari Bandara Sukarno-Hatta, tidak sampai dua jam Anda akan tiba di Bandara Polonia yang dikelilingi dengan perumahan baik elit maupun standar yang sebenarnya sangat mengganggu navigasi penerbangan, tetapi malah menguntungkan ditinjau dari sisi pihak pengunjung. Pengunjung kota Medan dapat langsung ke pusat kota hanya dalam waktu 10 menit. Tinggal naik taksi atau dengan becak mesin (baca:becak bermotor) sudah pasti tiba di tujuan.

Meski demikian, kenikmatan yang dirasakan pengunjung ini sepertinya akan segera hilang karena lokasi bandara yang sangat mengganggu tersebut akan dipindahkan ke daerah lain Sumatra Utara.

Batak sebagai salah satu suku terbesar di kota Medan memiliki mahakarya budaya yang sangat istimewa. Mulai dari bahasa batak yang beraneka ragam, tarian tor-tor yang gerakannya berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, sampai-sampai makanan khasnya pun ada bermacam-macam jenisnya. Bahasa batak dari Tapanuli Utara akan terdengar tegas dan keras bila dibandingkan dengan bahasa batak dari Tapanuli Selatan (Mandailing) yang terkesan sedikit mendayu-dayu.

Nah, kalau ditinjau dari agama, masyarakat daerah Utara mayoritas beragama Kristen sedangkan daerah Selatan mayoritas Muslim. Berbicara makanan khas, Ikan Mas Arsik akan sering dijumpai pada acara-acara adat Batak baik yang dari Utara ataupun dari selatan. Masyarakat Utara menyenangi makanan yang bernama Sangsang (baca: Saksang) yaitu daging babi yang dicincang dan dimasak dengan aneka bumbu.

Namun bila kita jalan-jalan ke daerah Selatan, makanan tersebut tidak akan dijumpai lagi. Orang Selatan terkenal dengan makanan khas nya Ikan Sale, Pakat dan Holat. Ikan Sale merupakan ikan lele yang diasapi hingga berwarna hitam pekat dan biasanya digulai. Pakat adalah isi dari rotan muda yang dimakan seperti lalap. Terakhir, holat, yaitu makanan berkuah seperti sop yang berisi ikan dan serbuk kayu.. Terdengar anehkah??

Saya adalah orang Batak, dan saya bangga menjadi orang Batak meskipun ditinjau dari segi bahasa masih sangat minim untuk dikatakan sebagai orang batak. Besar dan tumbuh di kota Medan membuat saya pribadi kesulitan memahami bahasa nenek moyang tercinta. Orang Batak akan sangat bangga bila mempunyai anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan.




Gbr2. Perempuan terbang melayang Photo by Arie, November 01, 2007


Sebagai penerus marga dalam suku Batak, anak laki-laki mendapat posisi terhormat dalam keluarga.. Laki-laki sebagai penerus marga mempunyai banyak hak istimewa dan didahulukan kepentingannya daripada anak perempuan. Misalnya saja, kaum laki-laki akan mendapat kehormatan untuk makan terlebih dahulu dalam suatu acara adat, lengkap dengan semua panganan yang dihidang dengan lezat dan menarik. Sementara kaum wanita, hanya akan makan bila laki-laki sudah selesai makan, atau paling tidak akan makan bersama-sama wanita lainnya di dapur.

Jadi, salah satu kesuksesan menurut keluarga Batak adalah mempunyai anak laki-laki.

Bahkan konon dulu, bila seorang wanita yang dinikahi tidak dapat memberikan seorang anak laki-laki, jadilah wanita itu siap-siap untuk diceraikan atau dimadu.

Kodrat terlahir sebagai perempuan Batak secara tidak sadar membuat mental saya menjadi keras dan selalu ingin bersaing dengan kaum laki-laki. Ingin membuktikan bahwa anak perempuan juga tidak kalah istimewanya dengan anak laki-laki. Tuhan menciptakan semua manusia itu sama, dibedakan hanya dari tingkat keimanannya.

Beberapa kali hati saya menangis melihat kaum perempuan di daerah kampung saya, (kampung saya terletak di salah satu desa terpencil di daerah Tapanuli Selatan), di mana kaum perempuannya harus bekerja penuh ekstra dibandingkan dengan laki-lakinya. Ibu-ibu berjalan kaki sambil menggendong anak yang masih kecil ditangan kanan, sedangkan tangan kiri penuh dengan seember pakaian untuk dicuci, belum lagi di atas kepala diletakkan ember yang sebelumnya di alas dengan kain kepala seperti blangkon yang berfungsi menjaga agar ember di atas kepala tersebut tidak jatuh. Di belakang si Ibu, berjalan anak-anaknya yang lain sambil membawa pakaian lainnya untuk dicuci. Sementara si Bapak, asyik main kartu domino ataupun Joker sambil minum Tuak (Minuman Beralkohol) di Sopo Godang (tempat bekumpul para pria dikampung saya yang sebenarnya berfungsi untuk tempat bermusyawarah).

Gbr2. Sopo Godang Kampungku, Photo by Arie, 25 Oktober 2007

Itu adalah kejadian hampir 10 tahun yang lalu yang saya saksikan dengan mata sendiri, namun masih teriris pedih hati ini bila mengingatnya betapa tega perlakuan si Bapak pada saat itu. Mungkin cuma saya yang merasa pedih, sedangkan si Ibu justru memperlihatkan wajah tersenyum ketika tahu saya memerhatikannya sedikit lama. Ibu muda yang saya pikir ketika itu berumur 40 tahun, ternyata masih berumur 25 tahun… Sayang sekali, penampilan dan wajahnya jauh lebih tua dari usia sebenarnya. Ibu ini sepertinya tidak keberatan menjalani hidup yang dipilihnya sekarang, merasa bahwa itu adalah kodrat perempuan, merasa memang sudah seharusnya perempuan seperti itu.

Kini, sedikit demi sedikit anggapan kolot itu sudah mulai berubah.

Televisi, radio, media cetak dan telepon memang sarana komunikasi yang sangat efektif untuk mengubah pola pikir sebuah masyarakat. Wanita di kampung saya sudah mulai berpikir lebih maju di bandingkan tahun-tahun sebelumnya saya pulang ke kampung mengunjungi Opung (Kakek dan Nenek) yang memang lebih suka tinggal di daerah pedesaan daripada mengirup hiruk pikuknya udara kota.

Dalam adat Batak, ada istilah Pariban. Pariban adalah anak laki-laki dari saudara perempuan bapak (sepupu, anak Tante) bagi perempuan, dan anak perempuan dari saudara laki-laki ibu (sepupu, anak Tulang (baca:Om) bagi laki-laki. Jadi konsepnya saling menyilang seperti itu. Pariban sangat disarankan untuk dinikahi meskipun sebenarnya tidak ada paksaan, tetapi merupakan perjodohan terselubung dalam keluarga yang dimulai ketika anak masih dalam kandungan.

Saya teringat dengan masa kecil saya ketika diolok-olok oleh sepupu-sepupu lain ketika Pariban ingin bermain dengan saya. Rasanya janggal, dia seperti abang kandung bagi saya, mana mungkin dinikahi? Tetapi ternyata konsep kolot seperti itu masih berputar-putar di otak keluarga besar saya. Pariban yang sangat saya hormati selayaknya abang, dipaksa dengan halus menikahi saya ketika kami berdua dinilai sudah matang untuk berumah tangga. Seperti ada konspirasi terselubung antara Ibu saya dengan Ibunya.

Di luar dugaan, Pariban tersebut menyampaikan rasa bersalahnya dan rasa minta maafnya kepada saya melalui sebuah e-mail karena dia berencana menikahi perempuan lain yang dicintainya. Berjatuhan air mata saya, bukan sedih bukan kecewa, saya bahagia karena ia menemukan cintanya. Dengan semangat menggebu-gebu, saya utarakan hal ini pada partner dan menyuruhnya langsung membaca e-mail tersebut.

Seandainya saya dan Pariban dipersatukan oleh Tuhan, apakah sanggup saya menjalani kepura-puraan dalam berumahtangga karena sebenarnya sudah ada 2 jenis pertentangan yang muncul di jiwa ini, pertama karena saya punya ikatan darah yang sangat dekat dengan Beliau, dan yang kedua dan terpenting adalah saya tidak mencintainya, saya mencintai perempuan lain. Perempuan yang membuat saya telah menemukan arti kehidupan sebenarnya, arti cinta kepada Tuhan, arti cinta kepada keluarga dan arti cinta kepada sesama. Perempuan yang gerak-geriknya selalu menawan di mata hati saya, dialah perempuanku.

Saya hanyalah perempuan biasa yang sangat mencintai perempuanku.

Keterangan :
- Kereta = sepeda motor
- Pajak = pasar
- Pasar = jalan raya, aspal hitam
- Kali = sangat, terlalu, banget
- Tenggen = mabuk
- Anak muda = jagoan

TENTANG ARIE GERE:
Seorang perempuan dikelilingi dengan angka-angka yang menawan, benci berada jauh dari rumah namun tugas dan tanggung jawab membuatnya terpaksa meninggalkan rumah. Sangat mencintai Medan, hobi makan minum apa saja asal halal, selalu berkeliling kota naik sepeda motor, dan tidak tahan dingin apalagi AC. Fans berat sama Haruka Tenoh (Sailor Uranus) dalam Sailormoon, bersuara sedikit bass namun sangat suka menyanyi sambil mencet-mencet tuts butut kebanggaannya, karena baginya, No Music, No Life. Kalau no woman???? Seperti hidup yang mati suri…

@Arie, SepociKopi, November 2007




abcs