Romantisme Pulau Dewata

widjaOleh: Carmen

Stress menumpuk, jenuh dengan kehidupan sehari-hari, dan ingin berduaan dengan pacar di sebuah dunia lain? Aku dan partner berlibur ke Pulau Dewata di tanah air.

Beberapa bulan terakhir aku dan partnerku merasa tertarik saat membaca beberapa artikel di SepociKopi tentang penulis yang berbulan madu buka-bukaan di salah satu kota di Jawa Barat dan juga artikel tentang rasa takut karena dikira lesbian.

Setelah mengalami long-distance relationship beberapa bulan dengan partner, kami merasa tertantang dan memutuskan untuk liburan juga. Tema kali ini adalah liburan yang "rada buka-bukaan", standar orang yang tidak coming out kepada dunia seperti kami berdua.

Partnerku mengusulkan untuk menginap di tempat yang belum pernah kami injak di Bali. Maka atas usul temanku, kami memutuskan untuk menginap di Desa Seni, sebuah village resort eksklusif di daerah Canggu (arah Barat Kuta). Pengaturan penginapan kami lalui lewat internet di website-nya (lihat di bawah). Dan selama komunikasi lewat email, pihak resor menawarkan paket-paket tour tema romantis untukku dan partner.

hippie vanDi bandara, kami dijemput oleh pihak resor menggunakan semacam hippie van yang berwarna biru muda mencolok.

Perjalanan dari bandara Ngurah Rai ke Canggu memakan waktu sekitar 25 menit. Untuk mencapai ke Desa Seni, mobil harus melalui jalan-jalan kecil dan sempit selama 10 menit. Rasanya, sepanjang jalan kita dibawa ke dunia lain dari Bali yang masih asri. Di kanan kiri jalan, banyak tanaman padi kekuning-kuningan, tanda hampir panen.

Plang resornya sederhana di pinggir jalan kecil, dan pada saat van memasuki pekarangan, payung tradisional warna-warni menyambut kami. Kesan pertama adalah, tempat ini unik sekali! Unik tapi gaya. Ternyata Desa Seni adalah sebuah "desa" yang terdiri dari 10 rumah antik dari kayu. Rumah-rumahnya didatangkan dari rumah hunian tua asli dari pulau-pulau di Indonesia, kebanyakan dari Jawa. Misalnya, ada rumah yang sudah ada sejak awal tahun 1900, namun sudah di-refurbished dan didesain ulang.

shiva1Kami mem-booking "rumah" yang paling kecil dan paling murah di sana. Dan hasilnya, we loved it!

Rumah yang tua itu biasanya berkesan suram dan gelap. Namun rumah kami malah terang karena permainan warna dari interiornya. Di dalam rumah juga ada peralatan modern seperti AC, TV, telepon, sambungan internet, dan lainnya.

yogabanner1Desa Seni juga dilengkapi kolam renang, rumah spa, dan rumah yoga. Pelayanan spa-nya memuaskan, kami berkali-kali kesana untuk sekedar pijat, ear candling dan manicure-pedicure. Khusus untuk penghuni, ada gratis pelajaran yoga setiap hari.

Makanan yang tersedia kebanyakan organik; dari bumbu-bumbu dan sayuran yang ditanam sendiri disana. Misalnya, kami mencicipi sawi spring roll (spring roll, tapi kulitnya sayur sawi) yang sehat, dan makanan lain yang umum seperti soto ayam rasanya sangat segar dan enak.

storybanner1Pagi-pagi, kami ke pantai yang jaraknya kira-kira 10 menit dengan bersepeda santai. Sepeda disediakan gratis untuk penghuni. Pada waktu bersepeda, kami melewati jalan-jalan kecil yang kanan kirinya sawah-sawah; dan di pantai yang perawan, nyaris tidak ada grup disana (entah karena masih pagi jam 7 atau memang selalu sepi). Namun selalu ada satpam/penjaga dari resor yang stand by untuk menjamin keamanan dan kebutuhan penghuni.

Yang terpenting adalah, selama nyaris seminggu tinggal, tidak ada yang berkomentar atau memandang berlebihan saat kami bergandengan tangan saat berjalan bersama, atau pada saat aku memeluk partner di pinggir kolam. Awalnya deg-degan melakukannya, tapi lama kelamaan jadi ketagihan (dengan catatan, tidak berlebihan).

Di Bali, dengan tour dari resor, kami berjalan-jalan ke Ubud melihat-lihat galeri lukisan dan shopping tentunya; ke Uluwatu melihat monyet, pura, dan tari Kecak; menyusuri pantai Kuta saat matahari hampir terbenam; berbelanja kerajinan perak di Celuk yang buka 24 jam; hingga shopping sepanjang hari di Seminyak.

kura-kuraUntuk makan malam, makan di resto seafood di Jimbaran menjadi pilihan. Kami juga mencoba fine dining di Kura-Kura Restaurant, The Oberoi Hotel-Seminyak.

Suasananya romantis dan terkesan discreet karena di udara terbuka (dengan atap alang-alang), serta di keheningan malam sayup-sayup ada suara ombak. Makanannya juga lebih dari ekspektansi kami. Untuk makanan utama, Matsuzaka beef steak-nya menurutku sangat out of this world! Partnerku memilih menu ikan Cod yang juga sangat enak. Menu appetizers dan desserts-nya juga enak-enak.

Pilihan yang lebih casual namun tetap romantis adalah di Chandi restaurant di Seminyak yang menyediakan makanan organik yang enak-enak pula. Di Bali banyak makanan enak!!

ayana-spa-wine-treatment-2Hari terakhir di Bali, sebelum kembali ke dunia nyata, aku mengajak partner untuk ke spa lagi. Kali ini pilihanku jatuh pada The Ayana Spa di Jimbaran, karena dapat penghargaan No.1 menurut Conde Nast Traveller Readers' Spa Awards 2010.

Tidak kalah nekat seperti sebelumnya, aku mendaftarkan kami berdua untuk mengikuti "Blissful Love Treatment Spa Package". Gila, kelihatan tidak, kami lesbian dari judul paketnya? Entah karena parno atau bukan, kami pasrah karena dari awal ceritanya kepingin merasakan dunia coming out sedikit-sedikit.

Ternyata kami tidak menyesal, karena treatment-nya sangat membuat rileks. Kami dibawa ke sebuah vila khusus untuk dua orang. Dimulai dari mencuci kaki dengan bunga, pelumuran handuk hangat, terapi boreh, mandi bunga dan herbal, serta pijat anti-stress, semua terasa memuaskan. Terakhir adalah terapi facial menggunakan bahan-bahan natural, seperti masker telur dan madu (benar-benar raw telur dan madu), toner berupa lavender dan jeruk, dan scrub yang menggunakan jagung dan yoghurt. Saat dilumuri bahan-bahan tersebut, aku menahan diri untuk tidak menjilat mukaku sendiri! Hehehe.

Kesimpulan yang didapat dari pengalaman coming out kecil-kecilan ini adalah banyak sekali saat-saat menyenangkan, namun ada pula saat-saat deg-degan dan menegangkan. Ada hal-hal yang terasa di luar kontrol kita. Contoh yang menegangkan, untuk penderita sesak napas sepertiku, awalnya agak membikin batuk-batuk dan napas kecil-kecil pada saat mandi berdua di bath tub pakai bunga-bunga mawar saat spa (deg-degan gimana kalau ketahuan); atau pada saat orang tour nya mulai tanya-tanya detil urusan pribadi. Senjata kami adalah, pasang senyum dan mengalihkan pembicaraan, atau jawab sekedarnya. Senjata terakhir adalah, menikmati momen yang ada. Secara garis besar, orang-orang Bali sangat ramah dan cukup terbuka.

Saat-saat terakhir di bandara Ngurah Rai, partner melihatku yang bermuka sedih. Perjalanan yang menyenangkan itu harus berakhir. Namun ia memegang tanganku diam-diam sambil membisikiku, "Sayang, kita kerja keras lagi, biar bisa liburan lagi."

How i love her, Lord.

@Carmen, SepociKopi, 2010

www.desaseni.com

http://www.chandibali.com/

http://www.ayanaresort.com/en/spa/

Museum Jamu Semarang: Simpanan Kekayaan Obat Indonesia


Oleh: Rosallyn T.

Jamu, kata-kata itu mungkin sudah jarang terdengar di telinga kita. Tergusur dengan kehebatan paracetamol, amphetamine dan lainnya yang tersedia di apotek. Padahal jamu adalah obat tradisional asli Indonesia. Ramuannya terbuat dari bahan-bahan alami yang menyehatkan. Saking tradisionalnya, jamu identik dengan ”embok” gendong tua. Beberapa orang mengasosiasikannya dengan warung obat kuat yang menjual alat plus-plus. :)

Namun stigma itu berubah begitu saya mendatangi museum jamu. Tempat ini merupakan salah satu heritage Semarang. Banyak wisatawan domestik maupun mancanegara digiring untuk mengunjunginya. Meskipun pelayanannya tidak terlampau profesional tapi cukup menghibur pengunjungnya.

Pertama-tama rombongan diajak untuk memasuki lobby. Kesan yang saya tangkap adalah aroma bunga, rempah bercampur baur khas jamu. Sambutan hangat meja resepsionis melengkung dengan mbak penjaga tersenyum manis menyilahkan mengambil brosur. Para pengunjung bergantian mengambil semua kertas kecil yang ada. Isinya sejarah museum, jenis-jenis jamu, yang di sayangkan tidak dicetak dalam bahasa Inggris atau bahasa lainnya. Hanya bahasa Indonesia, tapi saya bersyukur minimal tidak tertulis dalam bahasa kawi (jawa kuno).

Penjelajahan selanjutnya ke ruang utama museum. Kita menaiki anak tangga berbahan dasar kayu yang cukup tinggi. Warna Kuning menjadi pilihan untuk pencahayaan. Lampu gantung ditambah cahaya dari luar jendela yang mengintip pelan-pelan membuat tampak artistik. Sehingga benda-benda di ruangan secara tidak sengaja terlihat eksotis.

Namun tetap kesan dingin dari rumah lama tidak bisa hilang begitu saja. Foto pendiri museum ini terpampang besar-besar. Beliau adalah seorang nyonya kelahiran Sidoarjo kemudian di boyong oleh suaminya ke Semarang. Orang-orang kerap memangilnya Meneer, karena terpengaruh ejaan Belanda. Padahal nama Meneer itu sebenarnya ”Menir” beras mungil di Jawa. Sebab sang nyonya ini pada waktu kecilnya hanya mau makan beras menir.

Namun ketika menjalani kehidupan rumah tangga beliau kemudian sakit. Di obati ke mana-mana tidak sembuh-sembuh juga. Dia mencoba mengingat-ingat cara membuat jamu yang pernah di ajar orangtuanya. Dan ternyata manjur.


Kabar kesembuhannya menyebar dari mulut ke mulut. Dari rumah ke rumah, banyak orang mulai berdatangan. Akhirnya jamu buatan nyonya Meneer ini terkenal. Mereka mulai mengkomersilkannya dengan membuat dalam kemasan. Agar tidak mudah dipalsukan, dipasang potret Sang Nyonya sedang tersenyum persis seperti yang tergantung di museum.

Selain foto bersejarah itu ada berbagai bungkusan jamu dari masa ke masa. Patung-patung dengan ukuran manusia sebenarnya membuat jamu tradisional. Sajian rempah-rempah yang dilengkapi nama latin sebagai bahan dasar pembuatan jamu.

Sesi selanjutnya kami diajak melihat pembuatan jamu dengan mata kepala sendiri. Kalau beruntung terkadang ada atraksi orang kerdil namun hari itu saya tidak sempat mengabadikannya. Untuk suguhannya tidak usah heran, tentu saja jamu kunyit asam yang segar.

Beberapa dari pengunjung termasuk saya membawa buah tangan dari museum yang dibangun 18 Januari 1984. Diantaranya adalah bedak dingin, lulur mangir, obat jerawat. Tenang-tenang, karena sekarang sudah modern, jamu-jamu ini ada yang di kemas memakai pil dan kapsul. Tidak perlu lagi ingin muntah dengan seduhannya.

Percaya atau tidak setelah saya mencoba produk-produk tradisional itu, malas rasanya melirik produk kecantikan modern. Dari sisi harga tentu saja lebih murah, dan khasiatnya juga mantap. Namun jika membeli barang-barang ini, kudu pergi ke tempat yang benar, karena rawan pemalsuan.

Bagi yang mau mencoba tidak ada salahnya, saya sarankan lulur mangirnya. Yang ketika digosokan ke badan lebih mantap daripada bodyscrub di pasaran. Oh ya ada satu rahasia yang bisa diterapkan buat anda dan pasangan. Coba cari jamu sari rapet, kali ajah bisa membuat benar-benar ”rapat”. Dan hasilnya mmmm bisa share di sini.

Bagaimana, sudah siap untuk ”Njamu”?

@Rosallyn T., SepociKopi, 2010

Jalan-jalan di Bandung


Oleh: Dragon Fury

Bicara masalah traveling, mungkin aku sudah sering mengunjungi kota-kota di Indonesia namun akan beda rasanya kalau kita berjalan-jalan bersama partner. Inilah kunjunganku pertama kali bersama partner ke Bandung, walaupun sebenarnya kami hampir setiap bulan ke Bandung tapi belum pernah bersama-sama.

Liburan ke Bandung merupakan liburan penyegar bagi hubungan kami karena bulan kemarin aku keluar kota selama sebulan lebih untuk menyelesaikan bisnis keluarga. Akhirnya kami memulai perjalanan selama tiga hari di sana. Hari pertama sampai di Bandung, aku langsung mengajaknya ke Ciwalk. Di situ sebenarnya banyak kenangan dengan mantanku tapi itu masa lalu. Sekarang di pelukanku ada seseorang yang sayang padaku dan aku juga sedang belajar menyayanginya.

Balik lagi ke Bandung. Bicara tentang Bandung takkan lepas dari bicara soal kuliner. Kami yang sudah menjelajah hampir setiap pelosok jakarta dan beberapa kali mampir ke Bogor untuk memcicipi kuliner sudah mulai bosan. Harga makanan di Bandung jauh lebih murah dan tentu saja lebih enak dengan proporsi yang lebih banyak.

Tempat-tempat yang kami kunjungi dalam liburan singkat itu adalah:

Kantin NHI: berlokasi di daerah Setia Budi. Menawarkan berbagai menu surabi, colenak (tape dibakar), makanan Timur Tengah, nasi goreng, dan banyak makanan lainnya. Harga sangat terjangkau untuk mahasiswa dan porsi tentu saja cukup untuk perut yang keroncongan. Ini salah satu kantin yang wajib kukunjungi. Di kantin inilah aku biasa ngumpul bareng teman sekolahku dulu.

Warung Pasta: berlokasi di Dago (deket Kartika Sari Dago). Menu berbagai jenis pasta dan pizza. Kenapa akhirnya ke sini karena partner pecinta fettucini sejati. Harga jelas murah dan sebanding dengan kualitas masakan. Harus nyoba: pizza coklat keju (harga 9rb) tapi dapat dibagi bersama lima orang, dijamin kenyang semua.

Braga: di jalan Braga, aku menganjurkan untuk sarapan pagi. Di sana banyak menu yang menyediakan roti-roti khas Eropa. Nikmat ditemani segelas kopi, jadilah kita merasa seperti noni-noni Belanda. Ke sana belum mandi dan masih bau bantal karena aku dan partner terbiasa bangun siang, tapi demi menyicipi roti dan sarapan pagi di Braga, aku rela bangun dan keluar tanpa persiapan apa pun kecuali perut kosong.

Dago Pakar: banyak restoran dan cafe-cafe yang lezat dan menarik. Aku mengunjungi Lesung. Mungkin pas sehabis hujan, pemandangannya tertutup oleh kabut. Tidak bisa melihat apa-apa selain yang di dalam cafe. Tersedia berbagai makanan mulai dari masakan Eropa, Cina, Jepang, dan masakan khas Bandung. Harga di atas rata-rata mahasiswa tapi terbayar dengan tempat dan suasananya. Di Dago Pakar juga ada the View, Jack House, Bukit Bintang, dan lain-lain.

Yang tidak kesampaian adalah masuk k klub-klub lainnya dan ke Jack House hanya sekadar sekedar menyicipi wine . Tapi partner melarang keras karena dia tidak suka melihat aku minum di depan matanya. Nah, masih banyak kok tempat-tempat romantis yang bisa dikunjungi selama liburan ke Bandung dan untuk bermesra-mesraan tanpa perlu takut. Ada Kawah Putih, Paris van Java, atau hanya berjalan kaki sekitas Ciampelas.

Selamat berlibur kawan.

Tentang Dragon Fury:
Tinggal di Jakarta, bekerja sebagai seorang photografer freelance di beberapa surat kabar, pecinta traveling.
abcs