Hongkong - Perjalanan Menuju Impian

Oleh: Justine Ht

Aku dan kekasihku memutuskan untuk membangun impian kami di luar negeri. Dengan segala keterbatasan yang ada kami memilih ke Hongkong. Ini negara kedua perjalanan cinta kami. Sebuah kota transit dan dari sini kami akan terus berjalan ke negara impian kami.

Di negara inilah fase terberat dalam hidup kami. Bulan-bulan pertama aku berada dalam kondisi "Udah jatuh tertimpa tangga dan keduduk kotoran kebo." Kegetiran yang begitu dalam, tapi cinta tegarkan hatiku. Kekasihku selalu ada untukku. Doanya, kesabarannya, ketulusannya membuatku bangkit dari keterpurukan. Di sinilah aku menyadari betapa berharganya arti cinta. Cinta membuat segalanya menjadi mungkin dalam hidup ini. Perlahan badai itu berlalu...

Hongkong merupakan pusat bisnis di Asia. Tapi sejak 1 Juli 1997 saat dikembalikan ke pemerintah China, banyak investor yang angkat kaki dari sini. Hongkong juga merupakan pelabuhan bebas, jadi para importir dapat mengimpor barang dari berbagai sumber yang mereka kehendaki, artinya kita akan menemukan aneka model paling mutakhir yang diimpor langsung dari pabrik dan negara asalnya.

Bagi yang punya semboyan "Shopping is my first love, but you're a close second", Hongkong adalah tempat yang tempat untuk menguras tabungan. Hongkong memiliki pasar terbuka yang sangat terkenal, di sana kita bisa menemukan segala jenis barang dengan harga miring, antara lain Ladies Market di Tung Choi Street Mongkok, Temple Street Night Market Jordan, Marble Road Market di North Point dan Cross Street Market di Wan Chai. Mal bertebaran di mana mana. Saat pergantian musim atau liburan semua mal menggelar "Big Sale". Inilah saat yang tepat untuk berbelanja cerdik.

Hongkong kurang-lebih sama seperti Jakarta dengan lautan gedung dan manusia, pepohonan menjadi barang yang langka. Kelebihannya adalah kota Hongkong tertata rapi, rumah penduduk rata-rata berbentuk apartemen dan kemacetan adalah sesuatu yang asing. Kekurangannya di sini tidak ada bajaj, ojek, asongan ataupun pedagang kaki lima. Jadinya nggak seru...


foto oleh: Justine ht

Banyak hal baru yang kami temui di sini. Kota individualis. Kota yang bebas. Semua orang bebas mengekspresikan diri. Tidak ada orang yang peduli dengan apa pun yang kita lakukan.Tapi jangan takut, polisi akan siap membantu jika kita menghadapi masalah. Tidak ada orang yang mencibir ataupun menatap curiga saat kita berjalan bergandengan tangan ataupun bersikap mesra. Bahkan tak segan mereka memperkenalkan partnernya dengan sebutan “ngo loukung”(suamiku) atau ngo lobo (istriku)“.

Bukan hal yang mengherankan jika saat duduk di restoran di sebelah kita duduk sepasang gay yang bersikap mesra atau kita mendengar percakapan di antara remaja yang mengaku gay atau lesbian. Bahkan sejak 1989 diadakan Hongkong Lesbian and Gay Film Festival (HK LGFF) yang diputar di Broadway Cinematheque, Palace IFC dan AMC Festival Walk sekitar bulan Agustus - September.

Lesbian Indonesia? Wow... hari minggu di Victoria Park, Causeway Bay mereka berseliweran kayak bajaj di Jakarta. Biasanya mereka mengganti kata lesbian dengan TB (Tomboy). Sewaktu aku di Shenzen, China, aku mengenal seorang Butchy L-mom yang bercerita banyak tentang teman-teman lesbiannya dan kelesbianannya sendiri. Mereka biasanya membentuk kelompok tersendiri dan membuat acara-acara khusus yang terkesan "Just for Fun". Menurutku fenomena ini hanya semacam eforia dari suatu keadaan. Mengikuti tren yang ada.

Victoria Park di Causeway Bay merupakan tempat ngumpul orang Indonesia saat libur. Kalo dilihat dari atas seperti cendol dalam saringan, numplek semua di sana. Emang sih di sana lengkap banget. BCA, BNI, Bank Mandiri, Konsulat Jenderal Indonesia dan toko2 yang menyediakan semua keperluan orang Indonesia. Bahkan perpustakaannya menyediakan majalah dan koran Indonesia.

Aku dan kekasihku mengawali pagi ini dengan berkunjung ke rumahNya. ST.ANDREWS CHURCH in Tsim Sha Shui. Arsitekturnya mengingatkanku akan istana dalam dongeng HC Anderson, cantik dan unik. Ada rasa damai yang mengalir saat kami bersyukur untuk kasih karunia yang diberikanNya. Biasanya kami menghabiskan waktu dengan bersantai di Kowloon Park di Tsim Sha Shui atau Butterfly Beach di Tuen Mun. Tapi kali ini kami ingin belanja beberapa kebutuhan keponakan-keponakan kami di Indonesia.

Kami naik MTR (Mass Transit Railway / Kereta bawah tanah) ke Mongkok cuma sekitar 5 menit dengan ongkos $5.4. Di sini kita tidak perlu repot membawa uang recehan untuk naik kendaraan, cukup dengan menggunakan sejenis kartu yang disebut Patadong (Octopus Card) yang bisa diisi ulang. Kartu ini juga bisa digunakan untuk berbelanja di tempat-tempat tertentu.

Belum mulai belanja, debt collector di perut sudah menagih, kami memutuskan makan di Tradisional Chinese Noodle yang rasanya sesuai dengan selera kami yang Sumatra minded, pedas dan berempah. Hongkong bukan tempat yang asyik untuk wisata kuliner. Orang sini pun lebih senang makanan luar seperti Sushi (Jepang), Dim Sum (Korea), Curry (India) ataupun makanan Eropa. Biasanya di musim dingin mereka menikmati Ta Pin Lo (Hot Pot) yang merupakan makanan khas Hongkong.

Di negara inilah kami menemukan kehidupan dan cinta kami kembali. Tidak ada lagi pertanyaan yang menyudutkan. Tidak ada lagi kebohongan dan kepura-puraan dalam menghadapi masyarakat. Tidak ada lagi kebimbangan dalam menentukan pilihan hidup. Tapi terbersit nyeri di hati saat kerinduan menyapa. Kerinduan pada orang-orang terkasih dan sahabat-sahabat terbaik, juga pada keindahan Indonesia. Seakan tak ada kompromi dari perjalanan. Terasa sebagai nasib yang tidak berpihak.

Yah selalu ada harga yang harus dibayar untuk segala sesuatu yang ingin kita capai dalam hidup ini. Yang pasti hidup terus berjalan. Lakukan yang terbaik hari ini, esok akan terjawab dengan sendirinya.

@Justine Ht, SepociKopi, 2008

Tentang Justine Ht:
Perempuan yang menemukan cintanya pada diri seorang perempuan. Bersama partnernya berkeinginan keliling dunia untuk belajar banyak hal tentang kehidupan. Feminim tapi tidak suka dandan. Penggemar kopi, film Hollywood, dan musik jazz.
abcs