Yogya, In Diversity

Oleh: Edith Weddel

Yogyakarta bagiku kota yang unik. Tiga bulan di kota ini benar-benar membuatku kerasan. Sungguh, aku mulai jatuh cinta dan menggilai setiap sudut yang ditawarkannya. Yogyakarta menyiratkan pesannya tersendiri; sebuah wadah keberagaman yang tidak pernah ada habis-habisnya. Semuanya hampir ada. Berbagai macam manusia – dan jika kamu berbicara tentang manusia berarti kamu akan membahas tentang kesukaannya, penampilannya, cara berpikirnya, sikap, profesi, pandangan hidup kepercayaan dan apapun yang bisa kamu temukan mengenai manusia mulai dari ubun-ubunnya hingga ke jempol kakinya – ada disini. Mulai dari para abdi keraton dan masyarakat yang mengagung-agungkan Show allSri Sultan hingga para seniman yang bebas mengekspresikan apa yang ada dalam pikirannya atau mengkritik – bahkan menskeptisi – sebuah jurang antara harapan dan realitas yang terjadi .

Dan aku berjalan di sekeliling mereka. Di antara para pengemis yang tidak pernah absen di jalanan Malioboro mengulurkan tangan keriputnya ataupun topi lusuhnya kepada orang-orang yangs edang berseliweran. Di antara para pengamen yang bernyanyi sekedarnya untuk mendapatkan recehan yang akan segera ditukarkannya ke angkringan terdekat untuk mengisi perut mereka. Dan aku duduk di salahs atu bangku di daerah sekitar Benteng lagi-lagi dengan disesaki oleh berbagai realitas yang membuat isi kepalaku terus menerus bekerja. Setidaknya mengamati dengan cermat. Para pemusik reggae jalanan yang tengah berlatih untuk bersiap konser dari satu lesehan ke lesehan yang lain. Kelompok skater dengan skateboard di lengan mereka plus kaos yang seragam seakan dengan bangga menunjukkan jati diri mereka. Anak-anak kecil yang berkeliaran di sepanjang jalan dengan pakaian lusuh dan tanpa sepatu mondar mandir dengan air muka mereka masing-masing. Terkadang aku menemukan mereka tengah tertawa lepas atau tidak jarang pandanganku mendapati mereka tengah duduk tertegun dengan murung atau sekedar tidur-tiduran di sebuah bangku taman dengan raut yang tanpa ekspresi – seakan pedalamannya sudah terlanjur mati rasa. Belum lagi pementasan seni tradisional yang selalu mewarnai malam minggu seiring dengan dentuman bas dan drum serta teriakan penyanyi dari band-band indie terdengar menimpali satu sama lain tanpa ada pretense untuk saling mengungguli. Semuanya punya tempat dan punya peminatnya sendiri-sendiri. Dan aku masih belum jenuh mengitari setiap penjurunya : karena dalam tiap-tiap sudutnya terhampar berbagai macam bentangan ketidakteraturannya.

Akhirnya! Festival Kesenian Yogyakarta. Ya, aku dan partner seringkali menghabiskan sore dengan melihat-lihat pameran yang ada. Seni lukis, benda rajutan, perkakas dari alumunium baik yang baru dan tua, stand tato permanent dan temporer, kesenian wayang, berbagai aneka aroma-therapy, pernak-pernik dan akseseoris bagi mereka ynang feminim dan maskulin, berbagai komunitas hobi; mulai dari pecinta barang-barang antik sampai para pemuja factory outlet, termasuk beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat yang ikut meramaikan festival. Hamper semuanya punya ruang untuk menunjukkan kediriannya masing-masing, entah individual ataupun institusi.

Ya, hampir semuanya. Di kota yang membiarkan sebentuk penghayatan rasa untuk dieksplorasi, aku masih merasa ruangku tiba-tiba menyempit dengan desakan mata yang tidak ramah yang seolah-olah tengah menginspeksi penampilanku dari ujung rambut hingga ujung sepatuku. Seolah-olah aku adalah manusia yang benar-benar berbeda dengan mereka. Tapi mengapa mereka mentolelir laki-laki gondrong dengan aksesoris serba mengkilat di leher dan pergelangannya plus tato yang berhamburan di sekujur tubuhnya? Apa karena penampilannya yang seperti itu yang mereka asosiasikan sebagai preman setempat sehingga raut mereka menjadi begitu diterima? Dan aku; perempuan yang merasakan kenyamanan tersendiri dengan gaya maskulinku tiba-tiba menjadi penganggu kesedapan mata mereka. Sudah memudarkah label kota budaya dalam tiap-tiap isi kepala orang-orang Jogja? Atau malah aku yang salah mengartikan keberagaman yang tengah terjadi sebagai hal yang sudah dengan sendirinya diterima oleh masyarakat? Atau malah keberadaanku sebenarnya tidak pernah mereka perhitungkan dalam bagian dari semesta pluralitas budaya?

Dan aku masih terus berjalan. Membiarkan kesadaranku dihujani terus oleh mereka yang tanpa ragu menunjukkan kekhasan mereka masing-masing. Yang membiarkan aura mimpi dan obsesi mereka lebur dalam udara yang terhirup sejuk olehku. Mungkin ini bagian dari pemberontakan mereka terhadap keseragaman atau teriakan sumbang mereka terhadap kondisi yang terlalu terstruktur. Dan aku? Aku tengah menggugat mereka yang dengan seenaknya melemparku ke pinggiran zaman dan memberikan cap minoritas di dahiku. Aku tengah mempertahankan ruangku sebagai manusia di saat mereka mengunci rapat gerbang keberagaman sehingga aku tidak bisa masuk ke dalamnya. Aku tengah menyuarakan isi kepala dan pedalamanku saat mereka sibuk dengan dunianya sendiri seolah-olah merekalah pemilik keberagaman sejati itu. Aku memang berbeda – seperti aku menghayati bahwa setiap manusia memang berbeda – tapi aku bukan seorang skizofrenik yang tidak mampu melewati tembok-tembok tinggi yang kubangun sendiri.

Dalam keheninganku – aku biasa mendapatinya ketika aku membiarkan diriku tenggelam dalam kedirianku – aku mempreteli setiap identitas yang melekat pada ke-aku-anku. Memberi kesempatan bagi kesadaran dan bawah sadarku untuk saling bertanya tanpa perlu mempedulikan siapa aku. Mempersilakan mereka untuk beropini tentang diriku. Kesadaranku berkata bahwa aku adalah Tanda Tanya abadi – sebuah keraguan yang tidak akan pernah terpuaskan di gorong-gorong semesta yang menawarkan makna yang terus menerus tertunda. Dan bahwa sadarku berbisik dengan suara pelannya yang tersamar namun tegas. Bahwa aku adalah kontradiksi – antara absurditas dan kerinduan teramat terhadap kepastian.

Aku terbangun dari penelusuran diri saat partner memegang tanganku. Sore hamper habis dan bersiap untuk menyerahkan tahta sementaranya pada malam. Festival Kesenian Yogyakarta semakin ramai didatangi. Dengan kerlap kerlip dan temaram lampu yang mewarnai suasana Benteng Vredeburg. Kontras. Antara kebaruan dan sisa-sisa sejarah yang misterius. Aku berjalan menuju pintu keluar festival dengan wajah yang kuangkat tinggi-tinggi, dengan tidak memberi sejenak pun celah untuk tertunduk menerawang petak-petak ubin batu, membiarkan setiap orang lewat untuk sekedar melihat selintas kepadaku atau menatap tajam dengan senyuman sinis atau tawa yang meledek.

Karena aku manusia yang sepatutnya berbeda, maka aku masih menggilai Yogyakarta sampai ke sudut terkumuhnya, bisikku dalam hati sambil membalas genggaman partner.

@Edith Weddel, SepociKopi, 2008
4 Responses
  1. Anonim Says:

    sedikit berbagi, edith. pertama kali datang ke jogja aku masih muda sekali, baru keluar dari SMU. disini aku ketemu macam2 orang yang sebagian besar jadi teman baikku. kami pernah menghabiskan waktu secara edan-edannan, sesuatu yang memberi keterikatan emosi luar biasa padaku. sekarang, banyak hal sudah berubah tapi kenangan2 masih tetap tinggal, seperti selalu. hehe. aku ketemu pacarku juga disini. banyak pintu2 kenangan di kota ini. pintu2 yang manis :p

  2. Yulia Dwi Andriyanti a.k.a Edith Says:

    yup, yup. Yogya memang tempat dimana berbagai energi melimpah ruah..hehhe. dan aku belum bosan-bosannya menggilai yogya :).

  3. Jo Says:

    Mampir ke Taman Sari ga? Ngebayangi aku jadi raja di lantai yang paling atas trus tinggal nunjuk selir2 yang mandi di kolam bawah, hehehehe

  4. Ligx Says:

    8 bulan yang lalu aku terakhir berkunjung ke jogja, ke anggunan yang tak kan pernah kulupakan, seni dan budaya, dan segala kreatifitas adalah hal yang sungguh melekat erat dalam otak begitu terdengar kota jogja, kenangan ku bersama partnerpun ada di jogja..

    jogja, indah nian..

abcs