Streets of Melbourne

Oleh: Jaqoui


all photos by Jaqoui

Pertama kali aku datang ke Melbourne sebagai turis, terpukau melihat kondisi kotanya serta jalan-jalannya yang berbeda dengan di Jakarta. Wow, aku lihat perempatan di city pada hari kerja, orang-orang berbaju penguin alias suit berwarna gelap yang berbaris menunggu lampu hijau (hihi, aku menyebutnya the green man). Waktu lampu hijau menyala, mereka berbondong-bondong menyeberangi jalan. Nggak nyangka juga beberapa tahun kemudian aku jadi bagian dari the green man ini.

Mungkin kalau dilihat dari atas, mereka tampak seperti semut yang keluar dari sarang utamanya---di sini sarangnya berarti stasiun kereta---lalu menyebar ke berbagai arah, dan ngumpul sebentar di perempatan, kemudian semut-semut itu masuk ke sarang-sarang kecil alias kantor-kantor mereka. Pada jam makan siang semut-semut keluar lagi, mencari makan, lalu sorenya menyerbu sarang utama untuk pulang. Transportasi publik jadi pilihan utama di sini karena harga parkir yang selangit. Itulah setiap hari yang terjadi di kota ini. Dua tahun setelah jadi turis, aku pun kembali ke Melbourne dan tinggal menjadi semut di kota yang dianggap sebagai 2nd most livable city in the world setelah Vancouver.

Hm, beberapa kali aku ditanya, “Kenapa aku memutuskan untuk tinggal di sini? Apakah karena aku “kabur” ke kota ini karena kelesbiananku?” Alasan utama adalah aku merasa mentok di Jakarta, karierku kok rasanya jalan di tempat. Karena aku sudah mutusin tidak akan menikah (dengan laki-laki) dan kepingin pensiun dengan nyaman nanti, kupikir mulai sekarang aku harus punya tabungan sebanyak-banyaknya (mumpung masih kuat). Sebagai orang yang menyukai tantangan, akhirnya dengan modal yang lebih karena modal nekat, sendirian aku memulai hidup jadi mahasiswa (lagi) di Melbourne, meninggalkan kerabat dan teman-teman di Indonesia.

Dua tahun pertama kerja sambil kuliah benar-benar menguras energi otak dan fisik. Berbagai pekerjaan di bidang hospitality mulai dari jadi waitress di food court hingga membersihkan toilet dan segala yang “nyangkut” di sana sudah kulakukan. Duh, jangan tanya deh aku nemu apa aja di sana... Hingga akhirnya aku kembali ke habitat asal sebagai pekerja kantoran, sebagaimana yang sudah kutekuni selama bertahun-tahun di Jakarta.

photo by Jaqoui

Hidup sehari-hari di Melbourne berarti harus siap dengan temperatur udara yang semau-maunya. Saat terparah, bisa sampai 45 derajat Celsius dan dalam tempo beberapa jam turun drastis bahkan mencapai 25 derajat Celsius diiringi angin kencang yang bisa membuat orang jadi layangan. Kasihan orang-orang yang masih di luar dengan baju mini tiba-tiba disambar angin, hujan dan dingin. Apalagi sekarang (bulan Juli) saat musim dingin menggigit yang bikin menggigil.

Jalan-jalan di kota ini menyenangkan, dibuat cukup lebar untuk pejalan kaki. Tidak banyak mal seperti di Jakarta, dan toko-toko tutup jam enam sore, kecuali Kamis dan Jumat yang tutup jam sembilan sementara Sabtu dan Minggu tutup jam lima sore. Aku suka sekali berjalan-jalan di deretan toko di sepanjang jalan, apalagi dengan deretan kafe di gang-gang di antara gedung-gedung. Bagus banget buat difoto.

Mungkin melihat orang-orang (bule) di sini yang kerap memakai suit, memberikan kesan angkuh, tapi kenyataannya tidak. Sopan santun dan kepedulian mereka cukup tinggi. Ladies first, sorry, excuse me, thank you adalah kata-kata yang lazim dalam kehidupan sehari-hari. Cobalah tersenyum pada orang yang duduk di hadapanmu di kereta, hampir semuanya akan balas tersenyum. Dan orang-orang memberi jalan pada orang lain yang terburu-buru. Nggak seperti kota asalku, Jakarta, di mana orang-orangnya hobi nyerobot dan malas antre :).

Kota Melbourne dan orang-orangnya menyenangkan. Tapi tetap saja ada yang kurang. Kehidupan sosial yang berbeda membuatku kehilangan rasa guyub yang erat sebagaimana persahabatan dengan teman-teman di Indonesia. Sebelum tinggal di sana temanku pernah bilang, “lo mesti punya pacar, kalo mau tinggal di sini.” Dan sekarang aku ngerti betul kata-kata itu. Segala keindahan dan kebaikan kota ini jadi tak ada artinya jika tidak ada orang yang bisa diajak berbagi. Well, maybe someday she will come and share these beautiful moments in this beautiful city.

@Jaqoui, SepociKopi, 2007

Tentang Jaqoui: Gemar keliling kota tanpa tujuan. Nongkrong di pinggir sungai menikmati kopi hangat sambil melihat orang-orang lewat, apalagi jika bisa bareng hang out bersama teman-teman dekat dan ngobrol ngalor-ngidul yang ngocol. Suka pula menikmati bulan purnama saat malam berbintang yang cerah.

0 Responses
abcs